Seketika mataku perih, tetapi air mata serasa tersumbat. Perih. Aku hendak berlari dan berteriak sejadi-jadinya. Namun, yang di hadapanku seorang tua yang dua puluh tujuh tahun lalu membawaku ke kota ini. Kota yang terus tumbuh yang selalu memaksaku bergegas setiap pagi dan di sisa sore. Terkadang memberlakukan jam malam yang padat padaku.
Pantatku terpaku di sofa empuk yang minggu lalu sengaja dipesan oleh seorang yang juga tua. Matanya dihiasi pelapis kaca bergagang lentur berwarna hitam, kumisnya agak tebal bersambung ke janggutnya. Hal itu dilakukan bukan karena sofa yang dulu telah rusak. Ia beranggapan kalau renovasi rumah yang sudah selesai akan mubasir jika tidak ditopang dengan sofa baru. Sofa itu warnanya biru langit.
Aku terus saja membuka telinga selebar-lebarnya. Memperhatikan komat-kamit kata yang terus berhamburan dari mulutnya. Mungkin itu lebih baik, mengumpulkan alasan-alasan untuk suatu tindakan. Mencari tempat baru yang mungkin saja tak lagi membuatku bergegas menjalani hidup. Dan, yang terkesal. Tujuan hidup ini seolah cuma searah saja, sewarna saja, dan tak bercabang.
Sebagai anak, tentu ada rasa iba yang juga tak kalah dalamnya mendengar seorang Ibu menangis bicara lurus menahan sejuta kemungkinan. Di mana yang terfatal, jantungnya tiba-tiba saja beku, dan kejujuran-kejujurannya belum juga tuntas. Itu alasan yang kuyakini untuk menjadi pendengar yang baik. Meski kubiarkan darah dalam tubuh ini mendidih letih. Semuanya kutahan karena satu kata dan tindakanku bisa mencelakai seorang perempuan yang telah menampungku di perutnya.
Ibu menangis, sangat dalam dan pedih. Kurasakan dari gemetarnya kaki dan tanganku. Aku menebak kalau itu karena darah yang membubul dalam tubuh ini yang tak juga kutumpahkan. Tetapi pada siapa. Tebak pikiranku yang lain.
Ibu juga minta maaf. Sangat tulus dan berkali-kali. Kutebak dari sikap dan rasa sayang sejak aku mulai bisa meminta uang receh. Akumulasinya hingga aku berusia dua puluh tujuh tahun saat sekarang ini. Tebakan lainnya, mengapa Ibu baru mau jujur seperti ini. Hal itu kuanggap sebagai strategi Ibu yang brilian, sangat jitu, dan penyimpan rahasia yang paling sempurna di dunia ini. Ibu pasti sangat yakin kalau anaknya akan menerima segala penjelasannya. Meski sebenarnya tidak juga, tetapi aku mau mengabulkan pridiksinya itu. Aku menerimanya tanpa air mata setetes pun. Tak ada teriakan, apalagi amukan. Mungkin inilah jawaban doa Ibu yang selalu kudapati setiap malam bersujud begitu lama, termasuk saat ia menginap di rumah sakit selama sebulan lebih. Dalam ingatanku tak pernah kudapati Ibu alpa sama sekali.
Mungkin karena itu pula Ibu tak pernah membentakku sejak kecil. Selalu saja mampu menebak dengan benar apa-apa yang kuinginkan. Hal yang selalu kuingat, setiap ulang tahunku. Kado spesial yang selalu hadir adalah sebuah buku. Itu dimulai sewaktu usia sekolah dasar kelas empat, dan terus berlanjut di hari lahirku yang ke dua puluh tujuh yang minggu lalu Ibu kembali menghadihkan sebuah buku kumpulan cerpen. Aku harus jujur kalau Ibu yang pertama kali memuja sebait puisiku yang tidak mendapat juara pada lomba di sekolah sejak aku masih SMP. Puisi itu masih bergantungan di ruang tamu dengan bingkai warna putih.
“Semuanya harus diingat dan jangan dilupakan,” ujar Ibu saat itu.