Azan subuh terdengar mengalun licin di sisa keperkasaan malam. Tenang sekali, tak ada sehaluan angin yang menggoyang daun pohon ketapang yang satu-satunya tumbuh di belakang rumah. Usai salat subuh berjemaat di masjid kompleks yang berjarak seratus meter dari rumahnya yang merupakan aktifitasnya sejak ia sudah pandai melakukan gerakan salat. Setelahnya, pulang menjerang air untuk dipakai mandi dicampur dengan air dingin supaya menjadi hangat. Kota ini, meski padat dan pengap. Masih juga menyimpan hawa dingin di awal pagi.
Hari ini Arung sangat bahagia dan mulutnya terus terbuka tak mau terkatup, ada senyum yang tak mau lepas. Melekat untuk melewati hari ini. Jalanan macet yang sebentar dilalui bukan lagi masalah. Sebuah keputusan yang berani telah ia tetapkan setelah ia berkonsultasi dengan Ibunya yang intens dilakukan usai makan malam. Ia meyakinkan kalau gajinya serasa cukup untuk menyicil sebuah sepeda motor.
“Alhamdulilah, Nak, Tuhan sudah menyaksikanmu setiap hari di jalan berkelahi dengan waktu yang kau anggap selalu tak adil”.
“Ah, Ibu. Sebab-sebabnya sudah terpenuhi. Seorang teman sekolah dulu yang kini bekerja di dealer motor menawarkan cicilan terjangkau. Itu sudah lama, barulah hari ini aku menerima tawarannya.
“Kalau begitu Ibu jadi bingung,”
“Kenapa, Bu.”
“Ulang tahunmu nanti, Ibu kasih kado apa ya. Niat awal Ibu, sepeda motor. Tetapi kau sudah mendapatkannya,”
Arung tertawa mendengarnya.
“Tidak usahlah, Bu,. Saya sudah besar dan sudah bekerja, lagi pula, Ibu selalu membelikanku buku sejak dahulu.”
Ibunya juga tertawa kecil, dengan tampakan mata yang jauh menatap dalam wajah anaknya. Selalu begitu kalau mereka terlibat pembicaraan. Yang belakangan menjadi pengisi lamunan Arung.
_
Setelah manyantap nasi goreng, Arung pamitan lalu berangkat dengan sepeda motor barunya yang belum memiliki nomor polisi itu. Di tempat pemasangan plat nomor dipasangi tulisan “TES” yang menandakan kalau sepeda motor itu masih baru. Jalan kota yang selama ini dilalui dengan angkutan umum pete-pete[1] tak lagi menjadi bagian dari gerutunya. Arung memilih jalan tikus untuk menghindari macet, dan tentunya tiba lebih awal di tempatnya bekerja.
Arung gagal menjadi seorang jurnalis sebuah koran harian terbesar di kota Makassar setelah ia tak hadir pada hari penentuan dari seluruh rangkaian seleksi. Tepatnya ia tidak sempat, di awal pagi ia berangkat meninggalkan rumah untuk mengikuti tahapan seleksi terakhir itu. Di awal pagi itu pula ia mendengar teriakan minta tolong seorang tetangga. Arung berfikir keras. Tabung gas ukuran 3 Kg milik tetangganya itu meledak. Awal pagi yang betul-betul sunyi. Tak ada orang lain, apalagi pemuda yang hadir saat itu. Semuanya sudah berangkat kerja.
Semua tetangga sudah berkumpul melihat kobaran api yang hampir melahap seluruh rumah Bu Rasnih. Percaya tidak percaya, cuma Arung satu-satunya pemuda saat kejadian, jika ada anak laki-laki yang lain, semuanya masihlah kanak-kanak yang juga kaget sebelum bertepuk tangan karena mengira kebakaran itu merupakan kembang api besar. Tak lama berselang, pemadam kebakaran datang. Seperdua rumah habis, dan Fira, anak Bu Rasnih menderita luka bakar. Dengan motor tetangga, Arung meluncur ke Puskesmas terdekat. Kejadiannya begitu cepat berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 12 siang saat Bu Rasnih tiba di Puskesmas. Arung yang sejak tadi mendampingi Fira pamitan pulang, ia masih ingin ke kantor koran harian terbesar itu.
Ia mengebut motor milik tetangganya itu, segala cara diupayakan untuk segera tiba. Termasuk menerobos lampu merah beberapa kali. Ini kesempatan terakhir untuk melanjutkan kegemaran dan aktifitasnya selama ini. Dunia tulis menulis.
Ia membaca sejumlah latar belakang para sastrawan yang kokoh sebagai penulis dikarenakan pernah mengabdi sebagai kuli tinta. Di usia yang ke 21 ia menerimah kado ulang tahun kumpulan cerpen Seno Gumira Adji Darma, Iblis Tidak Pernah Mati. Lalu membalas pemberian Ibunya itu dengan sebuah cerpen yang dijuduli: Iblis, Salah Siapa, Dosa Siapa. Cerpen itu pernah ia kirimkan ke koran. Setelah dua bulan, Arung baru menerima balasan di kotak surelnya. Cerpen itu ditolak.
Kado buku yang lain, tetralogi buru maha karya Pramoedya Ananta Toer yang Arung terima di ulang tahunnya yang ke 16 tahun. Sebelum membaca novel-novel tebal itu, ia mencari tahu latar belakang sastrawan itu. Setelah tahu kalau Pram juga pernah bekerja di sebuah koran yang paling disegani pada masanya. Novel itu segera dibacanya.
Sekitar pukul dua siang ia tiba di halaman parkir kantor koran. Ia berdiri dan mendapati rekan sesama pelamar sudah menunggangi motornya untuk pulang. Tak peduli dengan itu. Arung tetap masuk dan mencari panitia seleksi. Ia akan bercerita hebat terkait alasannya di awal pagi sebelum berangkat ke kantor ini.
Ia diarahkan oleh Satpam untuk duduk di ruang tunggu. Arung sama sekali tak betah berlama-lama di kursi empuk itu. Ia berdiri dan kembali menghampiri Satpam. Arung cukup paham dengan aba-aba Satpam itu, dan kembali duduk. Kali ini agak lama. Ia mencoba sabar kalau orang yang ingin dijumpainya adalah orang ke tiga yang paling sibuk di kantor harian itu.
Ia tenggelam di sofa empuk itu sambil membaca koran sebagai hidangan para tamu yang datang berkunjung.