Hari Minggu kali ini adalah sejarah pertama bagi kompleks perumahan Sekar Tanah Merah. Lurah baru yang bertugas dua minggu lalu menyempatkan hadir salat Jumat pekan kemarin. Sebelumnya didaulat panitia masjid agar mengisi khotbah. Tetapi ia menolaknya, karena hal itu bukan keahliannya dan tak ingin menghalangi rejeki bagi mereka yang selama ini mencari penghasilan tambahan dari atas mimbar. Ia memberikan solusi lain setelah Jumatan. Sebuah pidato. Tepatnya sosialisasi program kelurahan.
Jemaat masjid tak ada yang berubah, semua berjalan sebagaimana biasanya. Jika para jemaat sudah berdiri dan menyusun syaf, maka tampak kalau jemaat tetap yang itu-itu saja. Rombongan Pak Lurah juga hanya berjumlah tiga orang. Ia sendiri, seorang staf dan bocah berusia sekitar tujuh tahun, anak ketiganya. Tadinya, ia hendak membawa istrinya, tetapi Pak RT menyampaikan kalau di masjid ini tak ada kebiasaan kaum perempuan ikut salat Jumat. Jadinya, niat itu ia batalkan karena tentu istrinya hanya akan menjadi tontonan di syaf belakang.
Dalam pidatonya usai salat Jumat yang hampir mirip dengan pidato Lurah sebelumnya. Ia menghimbau agar para warga selalu menjaga kebersihan lingkungan, ketertiban kompleks, dan yang wajib agar warga selalu ingat untuk membayar pajak tepat pada waktunya. Jika ada yang berubah, adalah tambaan pembahasan lainnya kalau dulu pernah bertugas di kelurahan ini dan itu. Serta sejumlah pengalamannya menjabat sebagai Lurah yang sudah 10 tahun lebih. Usianya memang sangat mudah, tetapi karirnya terus menanjak di dunia pemerintahan. Hal itu diakuinya karena bapaknya dulu seorang wakil bupati.
_
Memang tak seperti biasanya, penghuni kompleks tumpah ruah di jalan untuk sebuah program kebersihan lingkungan yang dikomandoi langsung oleh Pak Lurah yang baru. Semua sibuk membersihkan apa saja, mengorek air got yang dari dulu selalu tersumbat, membersihkan tempat bermain anak-anak, atau fasilitas umum lainnya, ada juga yang sibuk berfoto bareng dengan Bu Lurah yang kali ini turut serta.
Setelah satu jam aktifitas gotong royong, Pak Lurah kembali memberikan sambutan. Sebuah pidato yang juga hampir mirip dengan Lurah sebelumnya. Hal itu berlangsung di lapangan bulu tangkis yang merupakan satu-satunya area kosong di kompleks. Setelah meneguk minuman pelepas dahaga hasil kerja sejumlah ibu-ibu. Pak Lurah memberikan pujiannya atas keterlibatan ibu-ibu dalam program gotong royong yang baru pertama kali dilakukannya ini dalam periode ia menjadi Lurah baru di Kelurahan Tanah Merah. Persis mirip dengan pidato-pidato Lurah yang terdahulu. Sesudahnya, para ibu-ibu semringah dan bertepeuk tangan. Setelah semua usai, para warga kembali ke rumah masing-masing begitupun dengan Lurah baru itu.
_
Aku memilih bergabung dengan teman-teman di pos ronda untuk berbincang. Karena sangat ramai, aku memilih masuk saja ke rumah Rey, teman sekolah dari SD hingga SMA. Kuliahnya berbeda karena Rey memilih sekolah keperawatan, padahal ia penggemar novel Jhon Steinbeck. Ia juga heran kenapa aku memilih kuliah jurusan Sastra Indonesia. Sewaktu SMA ia selalu bilang agar aku jadi perwira militer saja, aku menebaknya kalau Rey tertipu dengan tinggi badan serta bobot tubuhku. Sama sekali aku tidak tertarik dengan dunia militer.
“Oh, tamu jauh baru datang?” Ejek Rey melihatku berjalan masuk di halaman rumahnya.
“Ibu, cepat kemari, kita kedatangan tamu dari seberang,” Rey belum berhenti.
Ibunya muncul juga, ia ikut penasaran karena ulah anak gadisnya yang dari dulu memang centil, dan menderita kalau mulutnya selalu diam.
“Siapa!!”
“Saya tante, bukan tamu jauh,” Aku tersenyum kecil