Di Tanjung Balai Karimun...
Ombak bergulung menghajar bibir pantai. Suaranya yang bergemuruh menggema di dinding-dinding bukit. Air laut terlihat begitu tenang. Permukaannya yang berkilau memantulkan warna langit dengan sempurna. Di pingggir pantai, batu karang berjajar bersebelahan dengan hutan bakau. Keduanya kompak membentengi pulau dari terjangan ombak.
Sedikit naik ke daratan terlihat bangunan besar. Bangunan itu bukan rumah penduduk karena ukurannya kelewat besar. Bangunan itu memanjang dari bibir pantai hingga dinding tebing. Bangunannya terpencar-pencar. Dari bentuknya, bangunan itu seperti instalasi sebuah pabrik. Pipa-pipa terpasang rapi menghubungkan satu bangunan dengan bangunan yang lain. Tangki-tangki juga berdiri di beberapa tempat.Yang paling mencolok adalah cerobong asapnya. Cerobong itu tingginya sekitar 40 meter. Semakin tinggi diameter cerobong itu semakin kecil. Cerobong itu letaknya di tengah-tengah dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain.
Suhu udara siang ini cukup panas. Matahari memanggang pulau ini dengan sangat ganas. Seharian penuh, panas matahari membuat gerah seisi pulau termasuk pekerja proyek di bangunan besar itu. Hanya staf-staf kantor yang tidak merasakan. Mereka berlindung di ruangan ber-AC yang suhunya sangat sejuk.
Di salah gedung, tiga orang berdiskusi membahas acara liburan. Mereka adalah Bayu, Fadri dan Marina.
“Liburan kali ini harus keren, Yu! Jangan seperti kemarin. Inginnya sedikit gaya malah biasa-biasa saja. Memang, Singapura tempatnya rapi dan teratur tetapi kota itu tidak jauh beda dengan Jakarta. Yang kita lihat ya itu-itu juga,” kata Fadri kepada Bayu.
“Iya, aku juga merasa hal yang sama,” sahut Marina mengeluh. ”Liburan kemarin membosankan. Aku tidak terlalu menikmatinya.”
Bayu memandangi mereka satu-persatu.
“Ya, aku setuju dengan kalian. Tetapi sampai saat ini , aku belum menemukan tempat yang pas untuk liburan kita. Terus terang aku kehabisan ide.”
“Cari tempat yang natural saja! Jangan ke kota. Liburan ke kota bikin kepala semakin pusing. Pilih tempat yang terpencil dengan hawa udara yang sejuk dan segar. Tempat yang pemandangannya bagus. Kita sekali-kali harus bertetirah ke tempat-tempat seperti itu,” kata Fadri.
Marina mencibir.
“Liburan kemarin kamu banyak tidurnya, Dri!”
“Daripada kamu, Rin. Belanja aja kerjaannya. Yang nungguin kamu sampai bosan. Seharian penuh isinya cuma belanja.”
“Aku kan cewek. Wajar dong kalau suka belanja,” ucap Marina membela diri.
Bayu membetulkan letak duduknya.
“Kalau ke pantai, kira-kira bagaimana?”
“Jangan ke pantai, Yu!” seru Marina tiba-tiba. Matanya melotot tidak setuju.
“Kenapa?” tanya Bayu.
“Tiap hari aku melihat pantai. Bosan ah. Cari yang lain!”
Fadri mencibir kepada Bayu. “Marina itu anak pantai. Setiap hari melihat laut. Jangan ajak ke pantai karena ia pasti bosan. Cari tempat yang lain tidak bisa, ya?”
Marina memang asli Tanjung Balai Karimun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya oriental. Sebagaimana penduduk pada umumnya, laut adalah tempat yang selalu dilihat sepanjang hari. Tidak ada tempat yang tidak dijangkau oleh laut karena jalan besar di pulau kecil ini mengelilingi garis pantai yang berbatasan langsung dengan samudera. Rumah Marina bahkan menghadap langsung ke arah laut. Jika malam, kerlap-kerlip lampu kapal terlihat jelas dari beranda rumahnya. Kerlap-kerlip itu sering dilihat oleh Bayu saat malam minggu.
Bayu dan Marina sudah bertunangan. Mereka jadian kurang lebih enam bulan yang lalu. Sebenarnya keduanya sudah berteman selama dua tahun. Selama dua tahun, Bayu sudah memendam rasa terhadap Marina. Bayu baru berani menyatakan cintanya setelah kebersamaan mereka menginjak bulan ke 20. Keduanya memang jarang bertemu di kantor. Bayu adalah orang lapangan yang hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di luar kantor.
Proyek yang mereka ikuti adalah proyek pembangunan PLTU. Proyek yang sudah memasuki fase commisioning itu sudah menurun dari segi beban pekerjaan. Tidak seperti satu tahun sebelumnya, pekerjaan karyawan konstruksi sudah mulai tumpang-tindih dengan Team Commisioning. Tim konstruksi sudah banyak menganggurnya ketimbang kerjanya. Bulan Agustus adalah jadwal cuti bagi mereka. Karena waktunya bersamaan, ketiganya sepakat untuk membuat acara liburan bersama.
“Kamu punya usul nggak, Dri?” tanya Bayu pusing.
Fadri berpikir sejenak. Ia kemudian membuang pandangannya keluar jendela. Ia melihat pohon bakau tumbuh subur dan terlihat rimbun. Batangnya menjalar memenuhi area samping proyek. Seekor monyet tertangkap tatapan matanya. Monyet itu bergelantungan masuk dan menghilang di lebatnya pohon bakau. Fadri menggaruk-garuk kepalanya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke dalam ruangan. Ia menatap satu-persatu rekan kerjanya. Lama sekali ia berpikir
Tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu.
“Bagaimana kalau kita ke Lembang?”
“Bandung?” tanya Bayu sambil menegakkan badannya. Ia sedikit tertarik dengan usul rekannya itu.
“Iya.” Fadri menganggukkan kepala.
Marina menolehkan kepalanya ke arah Fadri. “Tempatnya bagus nggak, Dri? Jangan-jangan sama seperti tempat kemarin.”
“Bagus, Rin.” Fadri mengacungkan jempolnya. ”Di sana tujuan wisatanya banyak. Ada Floating Market, Ciater dan Gunung Tangkuban Perahu. Udara di Lembang juga lumayan dingin dan segar.”
“Ada penginapan yang enak?” tanya Bayu.
“Ada,” jawab Fadri sambil mengangguk. ”Aku punya teman di sana. Dia temanku waktu kursus welding inspector di Bandung. Orang tuanya punya penginapan. Tempatnya bersih dan luas. Aku pernah menginap di sana sehari.”
“Dapat diskon, nggak?” tanya Bayu sambil tersenyum.
“Ah...kamu nggak modal” ujar Fadri mencibir.
Bayu tertawa ia kemudian melirik Marina.
“Bagaimana menurutmu, Rin?”
“Kamu sendiri?” Marina balik menanya.
“Aku setuju,” jawab Bayu.
“Kalau kamu setuju, aku juga setuju. Kebetulan aku belum pernah ke Pulau Jawa,” ujar Marina sambil mengurai rambutnya.
Fadri meneguk air minumnya. Ia kemudian memandangi rekannya itu satu-persatu.
“Bagaimana...kalian setuju?” tanyanya.
“Iya. Kami setuju,” sahut Bayu yang diikuti dengan anggukan kepala Marina.
***
Jam tiga siang, Bayu ke lapangan untuk mengikuti joint inspection. Pak Fatur dan Pak Ari mengajaknya ke lapangan untuk melakukan kegiatan inspeksi. Inspeksi itu mencakup area dermaga, cooling tower hingga demineralization plant. Pak Fatur adalah perwakilan PLN di proyek PLTU sementara Pak Ari adalah konsultan pengawasnya. Kegiatan joint inspection selesai pukul lima sore. Karena area yang di inspeksi cukup luas mereka bertiga kelelahan dan beristirahat di area water pond. Sembari istirahat, Bayu menanyakan dokumen engineering yang sudah ia submit dua minggu sebelumnya.
“Maaf, Pak. Untuk dokumen instrument dan kelistrikan, kira-kira saya harus menunggu berapa hari lagi?” tanya Bayu kepada Pak Fatur.
“Wah...kalau itu saya kurang tahu, Yu. Di tempat kami hanya ada dokumen sipil dan mekanikal. Mungkin Pak Ari lebih tahu?” jawab Pak Fatur sambil melayangkan mukanya ke arah Pak Ari.
Pak Ari yang ditanya langsung menjelaskan dokumen yang dimaksud.
“Dokumen yang kamu submit dua minggu yang lalu belum kami kirim ke PLN. Beberapa dokumen masih harus kami review.”
“Kira-kira sampai kapan, Pak?” tanya Bayu. Kini pandangannya beralih pada Pak Ari.
“Dua mingguan,” jawab Pak Ari mengira-ngira.
Bayu diam sejenak. Jari-jarinya kemudian bergerak-gerak. Ia seperti sedang menghitung sesuatu.
“Sebelum tanggal 17?”
“Kenapa? Kamu cuti?” tanya Pak Ari.
“Iya.”
Pak Ari tertawa.
“Saya juga cuti.”
“Bapak...juga cuti sebelum tanggal 17 Agustus?” tanya Bayu tidak percaya.
“Iya. Tenang saja, pasti selesai.”
“Kalau begitu saya merasa tenang, Pak.” Bayu bernafas lega.