Bayu bernafas lega. Tanggal 14 Agustus akhirnya tiba. Sesuai rencana, ia dan kawan-kawannya akan memulai sebuah perjalanan bersejarah ke Gunung Semeru. Baginya ini adalah perjalanan yang ketiga sementara bagi Fadri dan Marina ini adalah perjalanan pertama mereka. Walau pernah ke Semeru, perjalanan ini begitu penting. Biasanya, ia melakukan pendakian gunung bersama dengan teman-teman sekosan atau anggota himpunan. Kini, ia akan melakukan perjalanan bersama Marina yang sebentar lagi menjadi istrinya. Ini akan menjadi perjalanan paling monumental yang tak terlupakan.
Pagi-pagi sekali, ia membangunkan Fadri dan menyuruhnya untuk segera bersiap-siap. Perjalanan dari Tanjung Balai Karimun ke Surabaya adalah perjalanan yang tidak mudah. Mereka harus transit ke Batam dengan menaiki kapal motor yang menghabiskan waktu perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam. Yang paling menakutkan adalah faktor cuaca. Dalam sekejap, cuaca yang tidak menentu bisa menggagalkan rencana perjalanan mereka. Bayu cukup trauma dengan cuaca. Untuk mengantisipasi hal itu, ia memutuskan untuk naik kapal di jadwal paling awal.
Jam 5 pagi mereka berangkat dari mess. Pak Fatur yang kebetulan sedang lari pagi kemudian menawarkan diri untuk mengantarkan mereka ke pelabuhan. Awalnya Bayu menolak. Ia merasa tidak enak. Pak Fatur terus mendesak sehingga Bayu akhirnya luluh dan menerima tawaran orang PLN itu. Dengan menggunakan kendaraan proyek, Pak Fatur menyopiri kedua karyawan kontraktor itu ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan Bayu mengucap ribuan terima kasih kepada orang PLN yang terkenal baik hati itu.
Setelah Pak Fatur pergi, Marina tiba di pelabuhan. Ia diantar oleh adiknya. Bayu menyambut kedatangan pacarnya itu dengan wajah sumringah.
Marina terlihat sangat cantik. Dia memakai celana berbahan jeans yang dipadu dengan kaos berwarna putih. Marina tampak sporty dengan sneakers dan topi yang juga berwarna putih. Marina memang dianugerahi dengan kelebihan fisik. Selain berkulit putih, dia juga mempunyai wajah yang menarik. Pakaian apa pun akan terlihat pas di tubuhnya. Sama seperti kedua rekannya, Marina juga membawa tas Daypack.
Setelah menunggu kurang lebih lima menit mereka akhirnya diperbolehkan masuk. Berbagai portal pemeriksaan mereka lewati mulai pemeriksaan tiket hingga pemeriksaan inframerah. Semua berjalan lancar tanpa hambatan.
Sesampai di ruang tunggu mereka ternyata bertemu dengan Pak Ari. Begitu melihat konsultan pengawas itu, Bayu langsung menyalami dan duduk di sampingnya. Mereka kemudian berbincang hangat. Fadri dan Marina ikut menyalami lalu duduk di belakang kedua orang itu.
Bayu dengan wajah bersungguh-sungguh kembali bertanya soal pernikahan telat konsultan pengawas itu.
“Apa benar, Pak Ari mengalami kegagalan sampai tujuh kali?”
“Sebenarnya tidak tepat tujuh kali.”
“Tapi benar kan gagal?”
“Iya benar.”
Fadri yang duduk di belakang menyela.
“Apa yang gagal, Pak?” tanya Fadri kepada Pak Ari.
Pak Ari belum sempat menjawab ketika Bayu langsung menceritakan pembicaraan mereka beberapa minggu yang lalu.
“Enggak. Pak Ari pernah bercerita kalau beliau pernah gagal menikah sampai berkali-kali.”
“Kok bisa?”
Pak Ari tidak menjawab.Ia hanya menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum. Ia kemudian memberi kode kepada Bayu untuk menjawab pertanyaan Fadri.
“Jadi kayak ada yang menghalang-halangi, Dri.”
“Itu namanya kurang ruwat, Pak.”
Pak Ari menggeleng.
“Bukan,” kata Pak Ari sambil tersenyum. “Yang kualami bukan hal supranatural.”
“Lantas, kalau bukan karena mistik terus apa, dong?” tanya Fadri.
“Karena kurang 3-an.”
“Apa itu, Pak?”
“Kurang tampan, kurang mapan dan kurang jantan,” jawab Pak Ari berseloroh. Sontak jawabannya itu membuat Bayu dan Fadri tertawa. Tawa mereka lalu menyatu dengan keramaian ruang tunggu itu.
Area tunggu itu lumayan ramai. Calon penumpang berjejalan di bangku-bangku yang sudah disediakan. Tidak hanya duduk, para penumpang juga tampak berdiri di sekitar pilar-pilar pelabuhan.
Marina membeli sebungkus besar kwaci di sebuah kios. Ia kemudian membagikan kwaci itu kepada Pak Ari dan dua rekannya. Sambil membunuh waktu, mereka menikmati makanan ringan yang diimpor langsung dari Malaysia itu.
Tidak lama, pengeras suara mengeluarkan sebuah pengumuman. Kapal jurusan Batam sudah siap. Pintu menuju dermaga kemudian terbuka dan para petugas dermaga mulai bersiap-siap. Pak Ari kemudian mengajak Bayu dan kawan-kawannya untuk masuk.
“Ayo, kapal kita sudah siap!”
Kerumunan penumpang mulai menyemut di pintu masuk. Bayu dan rekan-rekannya berdesak-desakan. Para petugas dengan telaten memeriksa tiket kapal. Bayu dan rekan-rekannya lolos dari pemeriksaan. Mereka kemudian berjalan menuju dermaga. Dari dermaga mereka kemudian masuk ke dalam kapal. Bayu menggandeng Marina memasuki ruang penumpang.
Karena masih kosong ia leluasa mencari tempat duduk. Setelah mencoba beberapa tempat duduk ia akhirnya menemukan tempat yang enak. Bayu menyimpan tasnya dan mengajak Marina untuk duduk di tempat itu. Sementara keduanya sudah memilih tempat duduk, Fadri dan Pak Ari justru mencari tempat di buritan.
Di luar, petugas armada tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan kapal. Mereka membantu para penumpang untuk menyimpan barang bawaannya. Koper dan barang-barang berukuran besar mereka ikat kuat di dek khusus barang.
Satu-persatu penumpang mulai memasuki kapal.
***
Namanya adalah Dian. Ia mahasiswi Arsitektur yang namanya sangat terkenal. Dian adalah pemain teater yang memiliki jam terbang tinggi. UKM teater yang membesarkan namanya sudah sering melakukan road show di berbagai universitas di Kota Malang. Dian sangat menjiwai perannya. Ia bisa membawakan berbagai peran mulai wanita idealis, romantis, manja bahkan seorang pria.
Walau satu kampus, aku awalnya tidak mengenal sosoknya. Aku baru mengenalnya ketika menonton salah satu pertunjukannya. Waktu itu aku menemani pacarku yang bernama Medina. Dia memintaku untuk menemaninya menonton pertunjukan drama di kampusnya. Drama itu berjudul Sri Tanjung.
“Aku malas melihat pertunjukan seni, Din,” ujarku kepada Medina.
“Eh, tetapi ini lain. Pertunjukannya sangat menarik.”
“Apa menariknya? Masih mending kita menonton film. Kemarin, kulihat ada film bagus yang sedang tayang.”
“Bosen, ah. Aku pingin yang lain.”
“Rame nggak pertunjukannya?”
Wanita bertubuh mungil itu tersenyum.
“Jangan salah. Dibanding bioskop, penonton pertunjukan teater ini lebih ramai. Kamu pasti menyukai jalan ceritanya. Teater ini menyuguhkan cerita-cerita berbau politik”
“Masa, sih?” tanyaku mulai tertarik.
“Sudah, kita lihat saja nanti!”
Walau kuliah di jurusan Teknik Sipil, aku menyukai politik. Rasa sukaku dimulai sejak bapakku rajin membeli koran. Dari koran itu aku mulai mengenal tokoh-tokoh politik Indonesia. Ketika melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah aku bahkan berteman dengan aktivis-aktivis yang menjadi motor pergerakan mahasiswa di Kota Malang. Dari temanku itu aku belajar dunia pergerakan dan politik di Indonesia.
Semester lima aku mencalonkan diri menjadi Ketua Himpunan Teknik Sipil. Alhamdulillah, aku terpilih dan menjadi ketua untuk satu periode kepengurusan. Aku kemudian menjalin persahabatan dengan anggota BEM.
BEM adalah organisasi mahasiswa yang cukup disegani. Selain berada di tingkat perguruan tinggi, BEM juga dikenal kritis dan radikal. Tidak jarang aku ikut demo bersama mereka di Gedung Walikota.
Siang itu, sehabis mengikuti perkuliahan aku langsung menggenjot vespaku ke Dinoyo dan menjemput Medina di kosnya. Medina dengan rambut terurai langsung menyambutku dengan senyumannya yang khas. Dari kosannya, kami kemudian balik ke Sumbersari dan berkendara menuju UNMER. Tiba di lokasi kami langsung bergegas menuju Aula tempat drama dipentaskan. Sebuah baliho raksasa terpampang di depan Aula. Baliho itu memuat sesosok wanita yang wajahnya sangat cantik dan rupawan.
“Itu anak ITN. Namanya Dian. Kamu pasti mengenalnya. Dia anak teater,” ujar Medina sambil menunjuk ke arah baliho.
“Di kampus, aku kok tidak pernah melihatnya?”
“Kamu jarang kuliah, sih.”
“He...he...iya.”
***