Kabut Tengger

Praboe Mas
Chapter #3

Bab III Senat Mahasiswa

Senat Mahasiswa adalah organisasi tingkat perguruan tinggi yang bubar pada tahun 80’an. Pecahan dari organisasi ini kemudian menjelma menjadi organisasi-organisasi kecil seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ dan Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM. Awal tahun 90’an, dibentuklah Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM yang aktivitasnya mirip dengan Senat Mahasiswa. Perbedaan yang paling menyolok adalah masuknya anggota-anggota organisasi ektra kampus ke dalam tubuh BEM. Keikutsertaan organisasi ekstra kampus ini kemudian mengubah wadah perjuangan mahasiswa yang sebelumnya bersifat ekslusif menjadi sedikit inklusif. Beberapa isu penting disuarakan oleh organisasi ini seperti kemiskinan, penegakan hukum hingga demokrasi.

“Untuk apa kita menghidupkan kembali Senat Mahasiswa? Bukankah BEM sudah mengakomodasi suara mahasiswa?” tanyaku kepada Arif.

Arif menggelengkan kepalanya. “Aku juga bingung dengan surat ini. Ketika kutanyakan kepada ketua BEM, mereka mengaku tidak diundang dan diberi tahu.”

“Aneh...!” ujarku sambil bersedekap.

“Dari desas-desus yang kudengar, pihak Rektorat mendapat tekanan karena aksi unjuk rasa teman-teman BEM. Mereka sepertinya mendapat perintah untuk mengendalikan BEM.”

“Siapa yang memberi perintah?”

“Itu yang menjadi misteri.”

“Kalau begitu sekarang kita ke sekretariat BEM,” ujarku sambil bangkit dari tempat tidur dan meraih jaket.

“Percuma.” Arif menggelengkan kepala. “Saat ini pengurus BEM sedang bersembunyi. Mereka kabarnya dibidik untuk dijadikan kambing hitam peristiwa kerusuhan beberapa waktu yang lalu. Sekretariat BEM juga dikirimi surat kaleng yang berisi ancaman.”

Aku kembali duduk.

“Jadi sekretariat BEM sekarang lowong?”

“Iya. Mereka memindahkan semua aktivitasnya ke kontrakan salah satu anggota di Sawojajar. Dari hasil pembicaraanku dengan Ketua BEM, telah terjadi serangan balik kepada para aktivis yang menolak pencalonan Suharto. Eskalasinya dari hari ke hari semakin meningkat.”

Aku menarik nafas panjang. Ingatanku kemudian kembali pada minggu-minggu awal di tahun 1997 ini. Koran-koran regional memberitakan peristiwa kerusuhan di berbagai kota. Kerusuhan-kerusuhan itu secara sistematis telah menyasar toko-toko milik orang Tionghoa. Siapa yang memulai? Hingga sekarang masih menjadi sebuah misteri.

“Kalau begitu, Senat Mahasiswa ini pasti akan menjadi semacam organisasi tandingan yang dipakai untuk membungkam teman-teman BEM.”

“Aku juga berpikir seperti itu. BEM kemungkinan besar akan dibubarkan oleh Rektorat dan diganti dengan Senat Mahasiswa. Organisasi Senat pasti akan diisi oleh organisasi-organisasi intra kampus yang lebih lunak dan netral pada isu politik.”

Aku membaca kembali surat undangan rapat itu. Di baris kepada, organisasi BEM jelas tidak diundang. Undangan justru ditujukan kepada Ketua HMJ dan UKM yang sebagian besar bukan anggota-anggota organisasi ekstra kampus.

“Benar juga perkiraanmu. Senat ini memang didirikan untuk melumpuhkan gerakan mahasiswa.”

Arif kemudian memperbaiki letak duduknya di kasur. “Nah...karena kemungkinan pembubaran BEM terbuka lebar maka Ketua BEM menyarankan agar kamu maju sebagai calon Ketua Senat.”

“Aku..?” ujarku terkejut.

“Ya. Kamu.”

“Kenapa harus aku?”

“Hanya kamu yang mempunyai hubungan baik dengan teman-teman BEM. Kamu juga lumayan terpandang di mata Rektorat. Jika BEM benar-benar dibubarkan, kamu hanya diminta oleh teman-teman BEM untuk mengakomodir anggota-anggota organisasi ekstra kampus.”

Aku langsung menolak permintaan itu.

“Tidak. Aku tidak bisa melakukannya.”

“Kenapa?”

“Ini adalah pemilihan tingkat Institut bukan lagi Fakultas apalagi Jurusan. Aku pasti kalah dengan calon-calon lain.”

Arif mengebaskan tangannya.

“Itu masalah gampang. Mereka punya caranya.”

“Caranya seperti apa?”

“Mereka akan mencarikan penantang yang pasti akan kalah. Teman-teman BEM sudah menyiapkan calon penantangmu yang sudah diprogram oleh mereka untuk kalah.”

“Mekanismenya?”

“Itu urusan mereka. Yang pasti kedatanganku ke sini tidak hanya menyerahkan surat itu saja. Aku ke sini juga menyampaikan pesan Ketua BEM. Kamu harus mengambil alih kepemimpinan dan menyelamatkan perjuangan dan independensi mahasiswa.”

Aku tidak langsung mengiyakan permintaan itu. Terus -terang aku masih mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang bisa menimpa diriku. Dengan menjadi Ketua Senat aku pasti semakin tidak fokus untuk mengurus kuliah. Kuliahku bisa keteteran dan aku bisa di DO oleh kampus. Dengan situasi politik yang tidak menentu, posisi ketua dalam organisasi kemahasiswaan akan menjadi incaran aparat keamanan. Aku bisa dijadikan kambing hitam dan difitnah kapan saja.

Untuk mengetahui lebih lanjut tujuan dari pendirian Senat Mahasiswa, aku meniatkan diri untuk mengikuti rapat yang diselenggarakan oleh Pembantu Rektor III. Arif menemaniku dan kami datang pada rapat yang dilakukan di aula itu. Selama rapat aku bersikap pasif. Aku masih mencoba menelusuri arah pembicaraan Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan itu. Setelah dua jam berlalu, barulah aku mengerti arah pembicaraannya yang terindikasi hendak mempreteli BEM. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta rapat yang kukenali sebagai Ketua HMJ Teknik Kimia menanyakan keberadaan BEM yang pasti akan berbenturan dengan fungsi Senat Mahasiswa. Aku sungguh mengharapkan Pembantu Rektor III mengeluarkan semacam blunder sehingga konsep organisasi ini urung dibentuk. Sayang, jawaban diplomatis telah menutup kemungkinan itu. Pembantu Rektor III menyatakan bahwa fungsi BEM dan Senat Mahasiswa berbeda. Senat Mahasiswa akan menjadi semacam pengawas yang mempunyai hak veto untuk membatalkan semua keputusan dan kebijakan BEM.

Pernyataan itu memang tidak secara jelas membatasi ruang gerak BEM dalam menyuarakan aspirasi mahasiswa. Namun , pendirian Senat Mahasiswa berpotensi mengurangi independensi BEM.

Rapat pendahuluan itu tidak menghasilkan satu keputusan. Pembantu Rektor III hanya menutup rapat itu dengan pemberitahuan rapat lanjutan yang akan digelar seminggu kemudian. Rapat itu ditutup dengan berjuta pertanyaan yang bersarang di kepalaku.

Pulang dari rapat aku langsung mendiskusikan rencana pembentukan Senat Mahasiswa itu dengan Hilman. Berbeda denganku, Hilman ternyata mendukung pendirian Senat Mahasiswa.

“Senat Mahasiswa itu penting, Yu. Selama ini BEM tidak lebih sebagai kepanjangan tangan organisasi ekstra kampus. Dengan adanya Senat Mahasiswa maka independensi organisasi intra kampus semakin terjaga.”

“Tetapi cara itu akan melemahkan aspirasi mahasiswa, Man. Mahasiswa adalah agen perubahan yang memiliki tanggung-jawab untuk mengoreksi Pemerintah. Hanya organisasi ekstra kampus saja yang mempunyai slot untuk memikirkan hal-hal itu. Mereka mempunyai jaringan yang kuat. Dengan jaringan itu suara kita tidak hanya menggema di kampus saja namun juga keluar hingga ke pusat kekuasaan.”

“Aku setuju dengan pemikiranmu itu. Namun, jangan sampai organisasi ekstra kampus itu memecah-belah solidaritas mahasiswa. Tahun 60 an , organisasi-organisasi ekstra kampus bersaing dan berlomba-lomba membesarkan pengaruhnya. Apa jadinya? Mahasiswa menjadi terpecah karena organisasi-organisasi itu berbeda-beda ideologinya.”

“Tetapi hari ini situasinya sangat berbeda, Man. Suharto tidak mempunyai sokongan kekuatan mahasiswa. Sokongan kepadanya hanya berasal dari ABRI dan Golkar. Berbeda dengan era Sukarno yang mempunyai dukungan dari kalangan mahasiswa.”

Hilman terdiam. Kata-kataku itu rupanya mengena di otaknya.

“Lalu menurutmu kita harus menggagalkan rencana ini?”

Lihat selengkapnya