Kabut Tengger

Praboe Mas
Chapter #4

Bab IV Cinta Bersambut

Perjalanan menuju Ranupani melewati tiga kabupaten yaitu Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Sepanjang perjalanan, Bayu menemani Hilman menyetir sambil sesekali mengajaknya ngobrol ketika lalu-lintas sedang padat. Arus lalu lintas di kawasan tapal kuda memang tidak bisa diperkirakan. Terkadang, arus lalu lintas bisa sangat sepi sehingga tidak satu pun kendaraan yang melintas. Pun tak jarang, situasi lalu lintas menjadi sangat ramai sehingga kemacetan terjadi di sepanjang jalan.

Sementara Bayu menahan kantuk, Marina dan Fadri menghabiskan waktu perjalanan itu dengan tidur pulas. Keduanya sudah terlelap sejak kendaraan itu masuk wilayah Pasuruan.

Jam 5 sore mereka akhirnya sampai di Kota Lumajang. Di kota ini, Hilman beristirahat sambil mempersilahkan ketiga rekannya membeli perlengkapan di minimarket. Bayu membelikan Hilman minuman sementara Marina membeli sejumlah snack dan roti.

Mereka beristirahat di depan minimarket.

“Kamu ingat kota ini?” tanya Hilman kepada Bayu.

Bayu tersenyum. Ia seperti teringat sesuatu.

“Tentu aku ingat.”

“Gara-gara kalian, geger dunia persilatan.”

Fadri yang duduk di sebelah Marina tampak bingung dengan arah pembicaraan mereka.

“Dulu ada kejadian apa, Mas?”

Bayu menyela, “Pengin tahu saja!”

“Biarin...! hak asasiku untuk bertanya.”

Hilman meneguk air minumnya. Ia kemudian menceritakan kejadian tujuh tahun yang lalu.

“Dulu, temanmu ini pernah hilang di Argopuro,” ujar Hilman sambil menunjuk pada Bayu. “Waktu dibawa ke Malang, kita mampir di tempat ini. Di minimarket ini dulu ada penjual sate. Kami sempat memborong sate sebelum melanjutkan perjalanan.”

“Kok, bisa hilang, Mas?” tanya Fadri.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Hilman sambil mengangkat bahunya.

“Disembunyikan Dewi Rengganis,” kata Bayu sekenanya.

Setelah cukup beristirahat mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Solawat Tarhim mulai terdengar dari masjid-masjid yang berdiri di sepanjang jalan. Hilman memacu kencang kendaraannya melewati jalanan yang lumayan sepi. Di sepanjang jalan orang-orang tua terlihat berduyun-duyun mendatangi masjid untuk bersiap menjalankan ibadah sholat Maghrib. Langit semakin gelap dan lampu-lampu jalan mulai berpendar.

Ketika azan maghrib berkumandang , Hilman menghentikan kendaraannya dan mengikuti sholat berjamaah di sebuah masjid. Bayu ikut sholat sementara Fadri dan Marina menunggu keduanya di mobil. Setelah ibadah sholat maghrib selesai mereka kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.

Tiba di Desa Senduro mereka disambut dengan arus lalu lintas yang lumayan padat. Bus-bus bernopol Bali berjejalan di pinggir jalan membuat arus lalu-lintas sedikit macet.

“Mereka dari Bali , ya?” tanya Bayu penasaran. Matanya menatap tajam bus-bus yang sedang parkir. Semua bus-bus itu bernopol DK.

“Iya. Mereka mungkin hendak bersembahyang di Pura. Ini masih tergolong sepi. Terkadang pada waktu-waktu tertentu desa terpencil ini bisa macet.”

“Bukannya di Bali itu sudah ada pura?” tanya Fadri tidak mengerti.

“Keberadaan umat Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Gunung Semeru. Gunung Semeru masih dianggap sebagai pecahan Gunung Meru di India dan menjadi persemayaman Dewa Syiwa. Oleh karena itu umat Hindu di Bali masih sering bersembahyang di tempat ini.”

“Nama puranya apa, Man?” tanya Bayu.

“Mandara Giri Semeru Agung.”

“Jauh nggak?”

Enggak sudah dekat kok. Di depan ada pertigaan. Kalau belok ke kiri ke Ranupani, kalau lurus ke Pura,” jawab Hilman memberi penjelasan. Tangannya menunjuk plang yang berdiri di kiri jalan.

“Boleh nggak kita mampir dulu , Mas ?” pinta Marina tiba-tiba.

“Boleh. Sambil nyari makan , ya? Di sana ada warung sate kambing yang enak.”

“Ide bagus,” seru Bayu yang diamini oleh Fadri.

Dari pertigaan, Hilman mengarahkan kendaraannya naik ke sebuah tanjakan yang sebelah kirinya berdiri sebuah pura. Sampai di sebuah rumah makan ia kemudian menghentikan kendaraannya. Satu persatu mereka turun dari kendaraan. Hilman dan Fadri langsung bergegas masuk ke dalam warung sementara Bayu menunggu Marina keluar kendaraan.

“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Bayu.

“Tidak,” jawab Marina sambil menggelengkan kepala. ”Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Kulihat sedari tadi kamu jarang ngomong.”

“Ah...itu karena capek saja.”

“Atau nanti Fadri kusuruh duduk di depan saja, bagaimana?”

“Nggak usah. Aku tidak apa-apa.”

“Jangan bohong...!”

“Enggak. Sumpah.”

Bayu dengan wajah tidak berdosa kemudian melontarkan leluconnya.

“Kamu cemburu karena aku duduk di samping Hilman?”

“Apaan...sih!” seru Marina sambil mencubit perut Bayu. Mereka kemudian sama-sama tertawa dan masuk ke dalam rumah makan.

***

Setelah memegang jabatan sebagai Ketua Senat hidupku langsung berubah. Aku jadi sering ke kampus untuk memeriksa berbagai dokumen dan menandatangani lembar korespondensi antar organisasi. Tidak hanya proposal , aku juga menanda-tangani surat-menyurat kepada semua Ketua HMJ dan UKM. Aku juga sering diundang oleh HMJ dan UKM untuk memberi sambutan dalam acara internal mereka. Bahkan, aku juga sering diundang oleh rektorat dalam berbagai acara resmi. Dalam suatu kesempatan, aku bahkan semobil dengan Pembantu Rektor III. Itu terjadi ketika kami akan mengikuti acara peletakan batu pertama pembangunan Kampus II di Tasikmadu. Entah kenapa, aku merasakan kenikmatan yang luar ketika sedang menggenggam kekuasaan. Aku merasa menjadi mahasiswa terhormat. Semua mahasiswa yang bertemu muka kebanyakan menyapa meski aku tidak mengenal mereka.

Tapi jujur, bukan itu yang membuatku sangat puas. Pencapaianku sebagai Ketua Senat menjadi sangat berharga ketika aku berhasil merebut Dian dari tangan Ridwan.

Memang, mimpi itu terdengar mustahil ketika dulu aku masih menjadi Ketua HMJ. Bagaimanapun Mapala adalah organisasi yang lumayan ditakuti. Anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang perilakunya lebih mirip preman ketimbang seorang mahasiswa. Kecuali Hilman , semua anggota Mapala menurutku adalah orang-orang yang tidak bermasa depan. Mereka lebih mengandalkan otot ketimbang otak. Ketika masih menjadi Ketua HMJ, aku sangat inferior dengan organisasi itu. Mapala adalah organisasi tertua di kampus yang beberapa anggotanya bahkan kini bekerja sebagai dosen.

Kini, setelah menjadi Ketua Senat aku seolah memiliki keberanian untuk menantang dominasi mereka. Kekalahan Ridwan di dalam pemilihan setidaknya telah menaikkan daya tawarku di depan rektorat. Suaraku kini lebih didengar oleh Pembantu Rektor III.

Jatuhnya Dian ke pelukanku dimulai ketika aku diperintah oleh rektorat untuk menyusun formatur kepengurusan. Formatur ini kami perlukan untuk bisa mencairkan dana kemahasiswaan khusus yang nilainya lumayan lebih besar dari dana kemahasiswaan di HMJ maupun UKM. Dalam penyusunan itu masing-masing HMJ dan UKM aku surati untuk mengirim delegasinya. Seolah ketiban durian runtuh, UKM Teater justru mengirim Dian sebagai delegasinya. Aku langsung menunjuknya sebagai seorang sekretaris.

Sebagai sekretaris kami berhubungan cukup intensif. Tidak hanya di kampus, kami sering bertemu di tempat lain seperti di Balai Kota dan instansi pemerintahan lainnya. Dengan vespa bututku dia sering kuajak keliling kota dengan alasan mengurus proposal atau membeli alat-alat kesekretariatan.

Suatu hari, sehabis mengurus sebuah proposal di Pabrik Gula kami kehujanan. Di pertigaan Bululawang kami terpaksa berbelok ke gerai bakso. Sambil menunggu hujan kami memesan bakso dan berbincang akrab.

“Aku sebenarnya tidak enak sama kamu,” kataku sambil melepaskan jaketku.

“Kenapa?”

“Seharusnya aku tadi mengajak Arif. Sebelum berangkat aku sebenarnya sudah ragu dengan keadaan cuaca. Kulihat awan hitam bergulung ketika kita meninggalkan kampus.”

Ah...aku juga sedang tidak ada kelas.”

Seorang pegawai gerai kemudian datang sambil membawa pesanan kami. Dia meletakkan dua mangkuk bakso panas itu di atas meja. Tidak lupa dua minuman jahe hangat juga ia letakkan sambil mengucap selamat makan. Pegawai berusia muda itu langsung pergi ketika Dian mengucap terima kasih.

“Nanti kalau sudah sampai di kampus kuantar kamu ke sekretariat Mapala, ya?”

“Untuk apa?”

“Biar tidak terjadi salah paham saja. Aku takut Ridwan mengartikan lain.”

Ndak usah,” jawab Dian sedikit ketus. ”Ridwan mana peduli aku sekarang ada di mana. Dia lebih mementingkan Mapala dan gunung ketimbang pacarnya.”

Lihat selengkapnya