Kabut Tengger

Praboe Mas
Chapter #5

Bab V Cinta Itu Buta

Waktu berlalu begitu cepatnya. Tak kusangka, obsesiku pada Dian akhirnya kesampaian. Setelah melewati berbagai rintangan hubungan kami sekarang resmi. Aku tidak lagi berhubungan dengan Medina sementara dia memutuskan hubungannya dengan Ridwan. Berbeda dengan hubunganku yang mengambang ia malah dengan tegas meminta putus pada Ridwan. Yang membuatku tidak habis pikir adalah keputusannya untuk menyampaikan permintaan itu sehari setelah peristiwa penting di gerai bakso.

Dari kabar yang kudengar, Ridwan langsung sakit keras begitu mendengar permintaannya. Dia bahkan menyerahkan kepemimpinan Mapala kepada Hilman. Di kosan aku diberondong sejumlah pertanyaan oleh Hilman. Di kamar kosku yang sempit, dia menginterogasiku seharian penuh.

“Tolong, jelaskan alasanmu merebut Dian dari tangan Ridwan!”

“Aku tidak merebutnya.”

“Tetapi saksinya sudah banyak. Seminggu yang lalu kamu berduaan dengannya. Kalian bermesraan di jalan.”

“Benar aku menjalin hubungan dengan Dian tetapi aku tidak merebutnya dari Ridwan.”

“Nah, kamu mengakui sendiri jika kamu menjalin hubungan dengan Dian. Hal itu sudah cukup menjadi bukti bahwa kamu telah merebut Dian dari tangannya.”

“Tetapi dia yang mau lebih dahulu.”

“Mana mungkin! Dia tidak mungkin jatuh cinta padamu. Pertama kali ke sini ia juga terlihat tidak terlalu tertarik padamu.”

“Ya.” Aku mengakui pernyataan Hilman. Pertama bertemu ia memang tidak sedikit pun terkesan padaku.

“Lalu kenapa sekarang dia jatuh cinta kepadamu?”

“Aku tidak tahu, Man,” kataku sambil menggeleng. “Kejadiannya sangat cepat. Aku melontarkan lelucon tetapi dia menanggapinya dengan serius. Coba pikirkan! Aku masih menjalin hubungan dengan Medina. Dia tahu itu. Tetapi dia sepertinya tidak peduli. Aku butuh seminggu untuk menutup hubunganku dengan Medina. Dia malah butuh sehari. Ini membuktikan jika dia sangat mencintaiku. Terus apa salahnya jika aku membalas cintanya?”

“Kamu salah!” kata Hilman keras. ”Kamu masih punya pacar sementara dia juga punya pacar. Seharusnya kamu mengatakan hal itu.”

“Faktanya, kami sekarang berpacaran, Man. Aku mencintainya dan ia mencintaiku. Kalau kamu bermaksud memisahkan kami maka lakukan sekarang dan kamu akan berhadapan denganku.”

Hilman terdiam. Walau emosinya meledak-ledak dia bukanlah tipe pria yang brutal. Dia hanya memandangku sebentar kemudian pergi ke kamarnya. Itu adalah awal pertikaianku dengannya. Sejak saat itu ia tidak lagi menganggapku ada.

Sikapnya yang berubah akhirnya membuatku tidak enak. Aku kemudian memutuskan untuk pindah kosan. Setelah mencari-cari akhirnya kutemukan kosan yang lumayan nyaman di Tasikmadu. Berandanya yang cukup luas sering kujadikan tempat untuk menghabiskan waktu bersama Dian sambil menunggu kelas.

Kos Tasikmadu cukup strategis karena berdekatan dengan rumah Dian di Karangploso. Setiap pagi, aku menjemputnya di rumah. Siangnya, terkadang ia kubawa ke kosan. Kalau masih ada jadwal kuliah ia biasanya kuantar kembali ke kampus melewati tembusan Dinoyo. Pulangnya, ia juga kujemput. Kalau malam aku bahkan sering mengajaknya makan malam di Batu.

Dibanding Medina, Dian adalah sosok wanita yang sangat cerdas dan energik. Gaya bicaranya sangat kusuka. Ia berwawasan luas dan selalu memberiku inspirasi. Banyak kebijakan senat yang kuambil dari hasil diskusiku dengannya.

“Indonesia adalah negara yang sangat besar. Sayang, kita tidak memiliki satu presiden pun yang memiliki pikiran dan jiwa yang besar,” ujarnya sambil menyedot minuman susu jahe.

“Kata siapa, Yan? Kita pernah memiliki Sukarno.”

“Sukarno memang punya pikiran yang besar. Sayang dia tidak memiliki jiwa yang besar,” kata Dian.

Aku menggaruk-garuk kepala

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Coba bayangkan, kenapa Sukarno mau menerima jabatan seumur hidup? Indonesia tidak sesempit pemikirannya. Indonesia itu luas dan pemikirannya juga beragam.”

Sebagai pengagum Bung Karno jelas aku tidak terima. Namun, melihat wajah Dian yang ayu keinginanku untuk mendebatnya kuurungkan. Aku mencari alasan-alasan diplomatis untuk mengimbangi pernyataannya yang sangat tajam.

“Tetapi Bung Karno tidak mengangkat dirinya sendiri. Ia diangkat oleh dewan.”

“Dewan yang ia ciptakan sendiri? Apa bedanya ia dengan Suharto? Kecuali, dewan yang mengangkatnya itu adalah dewan hasil pemilu 1955 mungkin kata diktator tidak tepat untuknya.”

Aku diam untuk berpikir. Seingatku, ide pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup muncul pasca demokrasi terpimpin dan pembubaran Partai Masyumi. Kata-kata Dian ada benarnya. Aku kembali mencari kata yang tepat untuk menangkis pernyataannya. Terus terang aku tidak ingin menyakitinya walau kami berbeda pandangan.

Aku berpikir lama.

Semakin kucari, alasan untuk menangkis pernyataannya tidak kutemukan. Pikiranku buntu sebuntu-buntunya. Sebagai pengagum Bung Karno dan pembenci Suharto, aku belum pernah menemukan manusia yang pemikirannya sangat berbeda. Dan Dian adalah wanita yang memiliki pemikiran berbeda.

“Aku tidak membenci Sukarno maupun Suharto. Yang kubenci adalah kekerdilan jiwa mereka. Dan aku yakin, jika rezim orde baru ini tumbang sifat itu akan diwariskan. Kita tidak akan banyak melakukan perubahan. Kita tidak akan berbeda dengan rezim yang kita jatuhkan. Rezim yang kita dirikan akan tetap merampas mimpi anak-anak Indonesia,” kata Dian dengan tatapan matanya yang tajam.

Aku tidak berkutik. Dian memang sosok yang sempurna. Selain berwajah cantik dia juga memiliki otak yang mengagumkan. Pantas, Ridwan langsung jatuh sakit begitu ditinggal olehnya.

***

Jam 6 pagi, Hilman membangunkan Bayu yang masih tertidur. Ia tampak sudah bersiap dan telah mandi. Sambil menyisir rambut Hilman menyuruh sahabatnya itu agar membangunkan Fadri dan Marina.

“Tolong bangunkan Fadri dan Marina! Aku menunggu kalian di depan. Jangan lupa bawa semua peralatan kalian!”

“Kamu sudah mandi?”

“Sudah.”

Bayu menguap sebentar. Setelah meregangkan otot ia kemudian meninggalkan tempat tidurnya. Yang dituju adalah kamar Marina dan Fadri. Dia membangunkan mereka dan menyuruh keduanya untuk lekas mandi dan bersiap-siap.

Jam tujuh tepat mereka akhirnya sudah bersiap. Mereka berkumpul di depan rumah. Hilman yang saat itu sedang berbincang dengan bapak penjaga rumah kemudian menyerahkan kunci rumah dan mobilnya. Setelah berpamitan ia kemudian mengajak ketiga rekannya untuk mencari warung makan.

Mereka bergegas meninggalkan homestay sambil membawa tasnya masing-masing.

Hari masih pagi. Para penduduk yang sebagian besar adalah peladang terlihat bergegas ke ladangnya masing-masing. Di lahan-lahan miring dan perbukitan para peladang itu tampak lihai berpindah dari petak satu ke petak yang lain. Mereka dengan tangkas berjalan sambil membawa sekarung pupuk tanpa sedikitpun merasa takut.

Fadri memandang para peladang itu dengan perasaan takut.

“Ngeri juga mereka. Lahan yang berbukit-bukit dilalui tanpa perasaan takut. Membawa sekarung pupuk lagi.”

“Mereka sudah terbiasa, Dri,” kata Hilman.

Dari pertigaan mereka berbelok ke sebuah warung.

Warung sederhana itu menyediakan berbagai macam menu. Menu andalannya adalah rawon dan soto daging. Kedua menu itu langsung dipesan oleh Hilman. Rawon dipesan untuk ketiga rekannya sementara dirinya memilih menu soto daging.

Tidak lama pemilik warung datang membawa pesanan mereka.

“Yang kamu makan itu namanya rawon, Rin,” ujar Hilman sambil menunjuk masakan yang kuahnya berwarna hitam. ”Rawon berisi daging sapi yang diberi kuah unik. Warna hitamnya dihasilkan dari bahan masakan bernama kluwek. Rawon bisa dimakan pagi, siang bahkan malam.”

Marina kemudian mencicipi kuah rawon miliknya dengan sendok. Lidahnya kemudian mengecap rasa rawon yang kaya akan rempah itu.

“Slurupp.” Marina mencicip kuah rawon itu berkali-kali. ”Enak, Mas. Rasanya sedikit pahit namun sangat terasa rempahnya.”

“Di cuaca yang sangat dingin ini, selain menjaga kehangatan tubuh pada pagi hari, rawon juga berguna untuk menghadapi suhu dingin di malam hari. Kalori daging yang kita makan tidak akan langsung menjadi energi namun diolah oleh tubuh sehingga pada malam hari kalori itu bisa kita gunakan untuk melawan hawa dingin,” kata Hilman.

“Ini ada semacam jahenya, ya?” ujar Marina lagi.

“Itu berguna agar tubuh kita tetap hangat,” kata Hilman sambil menyantap makanannya.

Mereka begitu lahap menghabiskan makanannya. Yang paling cepat adalah Fadri. Dengan kecepatan penuh ia menyantap makanannya seperti seekor macan yang kelaparan. Tidak peduli panas ia begitu menikmati sarapan rawon yang menyertakan sambal pedas itu. Tidak sampai lima menit makanan yang ada di piringnya langsung ludes tidak tersisa. Sebenarnya ia ingin nambah namun dilarang oleh Bayu karena ditakutkan kekenyangan dan tidak bisa jalan.

Selesai makan mereka tidak langsung meninggalkan warung makan itu. Mereka duduk-duduk sambil menikmati teh hangat. Mereka kemudian melepas pandangannya ke arah danau yang terlihat mengepulkan uap dingin. Mereka berbincang hangat dan membahas persiapan pendakian mereka menuju Ranukumbolo. Karena Marina dan Fadri tergolong awam maka Hilman dengan sangat terperinci memberi penjelasan kepada keduanya mulai masalah teknis perjalanan hingga aktivitas yang boleh mereka lakukan di Ranukumbolo. Tidak lupa, Hilman juga menasehati keduanya untuk tidak mencemari danau dan mengambil bunga edelweiss.

Ketika sedang asyik berbincang, rombongan pendaki datang dan masuk ke dalam warung. Sama seperti mereka, rombongan yang berjumlah tiga orang itu juga memesan makanan untuk sarapan. Mereka kemudian duduk di slot bangku yang kosong sambil bercerita.

“Aku yakin jejak yang kita lihat adalah jejak harimau. Mana ada jejak manusia seperti itu,” kata seorang pendaki yang wajahnya sedikit tirus.

“Tetapi apa mungkin ada harimau di Gunung Semeru?” ujar temannya yang berjenggot.

“Kemungkinannya iya. Di belakang tenda, aku juga melihat satu goresan pada pohon pinus yang mirip cakaran binatang buas,” jawab pendaki lain yang memakai penutup kepala.

Pendaki berwajah tirus kaget.

“Kenapa...kamu tidak bilang?”

Lihat selengkapnya