Benang merah terkadang menghubungkan kita dengan seseorang yang tak disangka-sangka. Kalau bicara jodoh maka tak akan ada habis-habisnya, tak jarang muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tak biasa. Seseorang yang sudah kita yakini akan berjodoh dengan kita bisa saja menjadi milik orang lain pada akhirnya. Yang dicintai belum tentu mencintai dan yang mencintai belum tentu dengan cinta yang sebenarnya.
Cinta seringkali menjadi suatu yang abstrak dan salah diartikan. Cinta pada hakikatnya ialah menjaga bukan malah nya merusak namun malah diartikan hanya pada sebatas rasa dorongan di hati untuk bisa memiliki. Oleh karenanya cinta seringkali dijadikan kambing hitam untuk memuluskan rencana nya melakukan sesuatu yang sebenarnya masih terlarang bagi nya. Kesalahan mengartikan antara nafsu dan cinta.
Hal itulah yang menjadi pelajaran bagi Joni setelah kejadian yang menimpa nya. Gadis yang cantik tentu akan membuat pria tertarik, namun ketertarikan tersebut tidak bisa serta-merta diartikan sebagai cinta.
“Sudah Jon, Sudah... kembali lah ke dirimu yang dulu” gumam nya.
Tampak dia menatap ke arah langit-langit kamar nya dengan tatapan menerawang jauh mengingat masalalunya. Semua game yang dimiliki nya terasa hambar dan tidak bisa mengembalikan gairah nya. Lagu yang biasanya berulang kali diputar di ponsel nya pun tak dapat menghilangkan kegalauan nya. Sebenarnya hal tersebut dapat dimaklumi, memang nya lelaki mana yang bisa langsung pulih setelah ditolak beberapa waktu sebelumnya? Kalaupun ada berarti ia sudah memiliki mental yang sangat kuat dan tahan banting.
Dalam hati dia sangat bersyukur karena memiliki sahabat seperti Rahmat dan Buyung yang tetap berusaha membuatnya tertawa beberapa saat setelah penolakan tersebut. Sahabat yang benar-benar baik dan tanpa motif sedikitpun.
“Sekarang apa? Akan kah semua teman sekelas sudah mengetahui nya?” gumam Joni.
Bagaimanapun jika isu mengenai penolakan yang dialami nya beredar maka sedikit banyaknya akan membuat harga diri Joni sebagai laki-laki tercoreng.
“Ditolak ya? Jomblo yang ditolak?”
“Setidaknya dirimu lah yang akan menutupi mata ku yang berkaca-kaca akan hinaan mereka” ujar Joni sambil menatap lekat pada kacamata hitam miliknya. Sebuah kacamata hitam yang sudah dipakai nya semenjak masuk SMA dan terus setia melindungi nya dari insiden bertatapan dengan lawan jenis. Jika tidak mungkin masa SMA nya akan menjadi lebih kelam. Dan tak terbayang lagi berapa banyak hinaan yang akan diterima nya.
Seorang pria yang akan selalu menyatakan perasaan pada setiap wanita yang bertatapan dengan nya. Seorang pria yang akan selalu mendapatkan penolakan dari wanita yang bertatapan dengan nya. Seorang pria yang akan membuat wanita yang ditembak nya akan menyatakan isi hatinya yang sesungguhnya jika mereka tak bertatapan sebelumnya. Dan juga seorang pria dengan kacamata hitam nya.
Tiba-tiba saja ponsel milik Joni berdering dan terlihat ada pesan masuk dari Shinta. Joni sendiri tak terlalu berharap ada hal baik dari pesan tersebut dan pemikiran nya memang benar adanya. Pesan tersebut hanya berisi ancaman Shinta agar tidak membeberkan apa yang ia katakan tadi atau dia akan menyebarkan kabar bahwa Joni sudah ditolak oleh nya.
“Cih, setan betina” maki Joni yang sudah pernah terjebak oleh pesona luar Shinta sebelumnya. Cewek mata duitan yang mengincar lelaki yang menurut nya bisa diperas untuk memenuhi hasrat pribadi nya. Atau kebanyakan orang menyebut nya sebagai cewek matre. Ada sebuah kata-kata mutiara dikalangkan para remaja yang menyebutkan bahwa “Untuk menghadapi cewek matre maka jadilah penjahat kelamin”. Sayangnya Joni bukanlah pria tak bermoral sebagaimana disampaikan dalam kata-kata tersebut.
“Lupakan!! Lupakan!! Ini tidak pernah terjadi!”
“Lagian dia tidak akan bilang siapa-siapa” ujar Joni berusaha memberikan semangat pada dirinya sendiri agar bisa melewati masa-masa suram ini.
Tiba-tiba saja ponsel nya berbunyi untuk kedua kalinya. Kali ini bukan pesan melainkan panggilan telepon lah yang diterima nya. Berpikir bahwa si penelpon adalah Shinta, maka tanpa melihat nomor yang tertera terlebih dahulu dia langsung saja mengangkat nya.
“Iya, aku tak akan bilang siapa-siapa!” ujar Joni dengan nada tinggi setelah mengangkat telepon tersebut.
“Tidak bilang siapa-siapa?” terdengar suara si penelpon yang heran dengan pernyataan Joni barusan dan suara tersebut bukanlah suara Shinta.
“Eh?”’
“Halo Joni, ini aku Irina” ujar nya karena mendengar reaksi keheranan dari Joni.
“A,a ah ya, ada apa?”
“Begini, aku ingin besok kita rapat untuk menentukan perangkat-perangkat kelas” jelas Irina.
“Ah, ya.. oke!! Sip!” jawab Joni asal.
Suasana menjadi canggung karena ulah nya barusan yang langsung bicara dengan nada tinggi tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menelpon. Irina pun kelihatannya menjadi agak canggung dan langsung memutuskan telpon sesaat setelah ia menyampaikan info tersebut.
“Sial!!” maki nya.
Sepertinya beban pikiran yang dimiliki nya malah membuat Joni bertingkah ceroboh dan menambah masalah baru. Bisa saja Irina merasa tersinggung karena perlakuan nya tadi dan dia harus segera menjelaskan kesalahpahaman tersebut pada Irina.
Saat ini Joni hanya bisa berpasrah sambil berusaha menutup kedua mata nya dan mencoba untuk terlelap. Konon katanya tidur adalah cara terbaik untuk menghilangkan beban pikiran sementara, walaupun setelah bangun beban pikiran tersebut akan muncul kembali. Sehingga tidur di malam tersebut sungguh terasa menyiksa bagi nya.
***
Pagi telah datang menjelang dan Joni segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Selama diperjalanan rasa was-was dan curiga dengan lingkungan sekitar tergambar jelas di wajahnya. Sepertinya ia belum sepenuhnya percaya bahwa Shinta tidak akan menceritakan masalah tersebut pada seorangpun. Belum lagi rasa gelisah akan seseorang yang mengetahui perihal penolakan yang dialami nya. Rasa takut diejek oleh teman-teman nya beserta bermacam ketakutan lainnya.
Namun untunglah, sepertinya kabar tersebut memang tidak beredar dikalangan teman-teman nya. Buktinya semua terlihat biasa-biasa saja saat ia memasuki kelas. Tak ada tanda-tanda teman-teman nya berniat untuk mengejek ataupun membulli nya. Di kelas tersebut sepertinya masih belum terlalu banyak murid yang datang. Sepertinya Shinta sudah datang lebih dahulu dan hanya menatap cuek kepada Joni seolah tak mengenal nya. Beberapa yang belum datang diantaranya adalah Rahmat dan Buyung.
Berbeda dengan Rahmat, Buyung sendiri sebenarnya sudah menjadi langganan guru BK dikarenakan terlalu sering terlambat datang ke sekolah. Berbagai macam alasan dapat diberikan nya agar terbebas dari hukuman yang tak jarang membuat guru BK yang memanggil nya hanya geleng-geleng kepala.
“Ah..” ujar Joni tertahan saat melihat Irina memasuki kelas dan tak sengaja mereka bertatapan. Untung saja Ia sudah memakai pelindung setia nya yaitu kacamata hitam yang selalu dipakai nya. Jika tidak maka bisa dipastikan akan terjadi sebuah penolakan baru di kelas mereka.
Tampak Joni mematung sejenak seraya berpikir apa yang harus dilakukan setelahnya. Bagaimana ia harus segera menjelaskan permasalahan yang kemarin pada Irina agar tidak terjadi kesalahpahaman yang semakin berlarut--larut. Sebenarnya bagi sebagian orang melakukan hal tersebut tentu sangat lah mudah, namun bagi Joni yang trauma nya terhadap wanita kembali terbuka jelas lah hal tersebut menjadi sesuatu yang sulit dan juga momok menakutkan bagi nya. Butuh waktu cukup lama bagi nya untuk mengumpulkan keberanian, bahkan setelah Irina sampai dibangku nya dan duduk disana barulah keberanian Joni terkumpul sepenuhnya.
“I, irina...” Sepertinya karena grogi yang dimiliki nya membuat suara Joni tidak keluar seutuhnya sehingga suara yang dihasilkan terlalu kecil dan tidak didengar oleh Irina.
“Irina!!”
“Y,Ya?”
Ujar Irina yang terkejut dengan panggilan Joni yang cukup keras pada nya. Sepertinya kontrol Joni terhadap suara nya masih belum pas dan malah membuat suara yang dikeluarkan menjadi cukup keras seolah dia tengah marah pada Irina.
“Ma,maaf... hehe” ujar Joni salah tingkah karena tindakan nya barusan.
Seperti biasa, tampak ia mengacak-acak rambut nya yang selalu dilakukan nya disaat rasa grogi mulai menyelimuti pikiran nya. Hal tersebut memang akan membuat kesan tidak sopan bagi nya saat tengah berbicara, namun semua orang juga punya metode menghilangkan grogi nya masing-masing dan tidak ada yang bisa melarang nya. Dan cara paling ampuh bagi Joni saat grogi ialah mengacak-acak rambut nya dengan sedikit gerakan menggaruk. Bahkan hal tersebut sudah menjadi refleks tanpa disadari nya dan sudah menjadi kebiasaan yang sudah sulit untuk diubah oleh nya.
“Ya?” ulang Irina kembali sambil sedikit memiringkan kepala nya karena tidak paham apa maksud Joni memanggilnya barusan. Berbeda dengan Joni yang sepertinya terlalu membesar-besarkan masalah saat menerima telpon kemarin, Irina sendiri sepertinya tidak terlalu mempermasalahkan sikap Joni kemarin karena ia tahu hal tersebut bukanlah dimaksudkan padanya.
“Maaf tentang yang kemarin” ujar Joni akhirnya yang sudah bisa bicara normal kembali.
“Oooohhh...” ujar Irina yang sepertinya sudah paham maksud dan tujuan Joni yang tiba-tiba datang ketempat duduknya.
“Tidak ada, jangan pikirkan” lanjut Irina.
Jawaban Irina tersebut tentu membuat Joni senang, karena satu masalah yang ditimbulkannya kemarin sepertinya sudah teratasi dengan cukup mudah. Karena maksudnya cuma untuk minta maaf dan tujuan tersebut sudah tersampaikan, kini Joni langsung beranjak dari tempat tersebut setelah mengucapkan terima kasih pada Irina. Sepertinya ia masih belum tahan berlama-lama untuk berbicara dengan laan jenisnya.
“Oii Jon!!”
“Wah, Yung. Tumben datang cepat!!”
“Ck, aku cuma terlambat dua kali seminggu! Tidak sesering itu!!” ujar Buyung yang sepertinya berpendapat terlambat dua kali seminggu itu masih dalam taraf normal dan biasa saja. Padahal jika dilihat dengan seksama itu artinya sebanyak tiga puluh persen dari total hari sekolah dia pasti akan terlambat. Atau bisa dibilang dia terus menerus terlambat selama sepertiga semester apabila jumlahnya digabungkan.
“Rahmat Mana?”
“Mungkin telat, soalnya dia nonton bola tadi malam!!”
“Ooohh, dia punya tv di kamar kosnya?”
“Bukan, dia nonton di kedai kopi yang tak jauh dari tempatnya” terang Buyung.
Bagi anak perantauan yang hidupnya di kos-kosan tentulah tempat-tempat seperti warung ataupun kedai kopi selalu dijadikan tempat tongkrongan untuk menonton bola jika tak ingin keluar kuota untuk menontonnya menggunakan smartphone.
“Kenapa gak nonton online saja?”
“Katanya untuk menjalin silaturahmi dengan warga sekitar!!” terang Buyung.
Tak lama setelah dibicarakan, tampak Rahmat sudah muncul didepan pintu kelas. Kantung matanya terlihat menghitam kerena kurang tidur, belum lagi rambutnya yang acak-acakan tanpa minyak rambut. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung tahu kalau ia tidak mandi sebelum berangkat ke sekolah. Muka ngantuk, dan rambut acak-acakan tanpa ada tanda-tanda tersentuh oleh air sudah menjadi tanda yang cukup umum untuk mengetahui apakah orang tersebut sudah mandi atau belum.
“Kamu gak mandi ya?” tanya Joni.
“Enak aja kau Jon!! Aku udah mandi!” elak Rahmat yang tidak setuju dengan ‘penistaan’ yang dilakukan Joni barusan.
“Kapan?”
“Sejam sebelum nonton bola!!”
“Bolanya mulai jam berapa Yung?”
“Jam satu malam!!”