Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #3

2. Tatapan Berbahaya

Setelah acara potong kue, Dirga mulai membawakan dua buah lagu; satu bertema ulang tahun, satu lagi berlirik romantis—yang kini masuk playlist favorit Monita.

Selama ini, Monita hanya pernah melihat penampilan Dirga melalui layar ponsel. Ternyata rasanya jauh berbeda saat menyaksikannya secara langsung. Dunia di sekitarnya mendadak buyar. Dia tidak lagi peduli dengan tamu lainnya. Perhatiannya hanya berpusat pada Dirga dan segala hal yang cowok itu tampilkan.

Meski hanya ditemani gitar dan mikrofon, penampilan Dirga membuat pesta Monita jadi tambah meriah, seolah sedang ada pertunjukan pensi tahunan. Momen itu berhasil direkam kemudian diunggah ke akun Instagram Monita, dan sampai sekarang nyaris mendapatkan seribu tayangan. Masalahnya, Monita tidak punya waktu untuk berbesar hati karena, tidak lama setelah mengunggah video itu, ada pesan masuk tak-terduga.


✉️ Dirga: Moni, gimana kadonya? Senin kita obrolin di sekolah, ya?


Monita pikir, Dirga akan memberinya barang yang sedang digemari cewek-cewek Raya Jaya, misalnya dompet mini yang hanya muat beberapa kartu dan foto idola, atau sepasang kaus kaki sebetis berwarna nyentrik. Jika dugaannya benar, untuk apa Dirga mengajaknya mengobrol? Tidak mungkin, kan, untuk menentukan hari apa Monita memakai kaus kaki atau membahas garansi dompet?

"Kamu masih bete sama kado yang hilang itu?" Dalam perjalanan menuju sekolah, dari balik kemudi, ibu Monita seakan menyadari kegundahannya.

"Moni cuma heran aja, Mi. Kenapa bisa hilang, dan kenapa harus kado itu yang hilang?"

"Apa Mami tanya lagi ke Tante Yola? Buat mastiin, mungkin memang terbawa sama mereka."

"Bukannya kemarin udah dicari, tapi nggak ketemu juga?"

"Iya, sih. Tapi Mami nggak yakin udah dicari benar-benar. Soalnya, kan, tantemu itu lagi sibuk nyiapin keperluan Sisy yang mau sekolah di Aussie."

"Yah, Mami .... Sama adek sendiri ragu."

Ibu Monita tertawa kecil sambil menepikan mobil di depan Raya Jaya. Dari balik jendela, Monita mencoba menakar seberapa banyak kemungkinan buruk yang tersimpan di balik gedung itu. Padahal masih ada lima belas menit lagi sebelum upacara dimulai, tapi entah kenapa Raya Jaya sudah sangat hidup. Tidak sejalan dengan energi tujuh belas tahunnya yang semakin redup.

"Ya udah. Kalau teman kamu tanya soal kado itu, kamu jujur aja. Dia yang nyanyi itu, kan?"

Monita mengangguk.

"Nah, Mami lihat, dia orangnya sopan. Pasti bisa maklum."

Tidak ada jawaban lain selain "Oke, Mi," yang bisa Monita berikan, dibumbui dengan senyuman lebar, agar ibunya percaya masalahnya memang tidak seribet yang ada di kepalanya.

Setelah berpamitan, Monita pun keluar dari mobil. Belum lagi mencapai gerbang, ponsel di saku roknya terasa bergetar singkat.


✉️ Dirga: Moni, nanti kita bisa ngobrol bentar? Gue sebenarnya nungguin balasan lo dari semalam. Tapi nggak papa, gue ngerti lo butuh waktu buat mikir-mikir.


Jadi, selain diobrolin, kado Dirga juga harus dipikir-pikir?

Monita semakin yakin, itu bukanlah kado biasa. Jika benar, berarti impiannya terkabul. Kado itu seharusnya bisa jadi kartu as untuk bikin Delia kalah telak.

Dua bulan lalu, untuk menutupi kesuraman akibat Dirga yang datang di menit-menit terakhir, Delia mengunggah video unboxing, memamerkan kado yang Dirga berikan. Isinya jam tangan dari brand yang sama dengan yang selalu digunakan Dirga. Di video itu, Delia bereaksi seolah-olah sedang diberi jam tangan couple. Padahal modelnya beda sekali, dan Monita tahu betul kalau jam tangan ala anak petualang tidak sesuai dengan selera blink-blink Delia.

Untuk mematahkan rasa bangga yang berlebihan itu, Monita segera menyusun rencana pesta ulang tahun balasan. Dia yakin Dirga akan memberinya kado yang lebih istimewa daripada penunjuk waktu.

Sialnya, kado itu hilang entah ke mana.

Rasanya Monita ingin menghindar dari Raya Jaya. Tebersit pemikiran, apa bolos saja? Sayangnya, satpam sekolah dan ibu piket sudah melihatnya. Pasti mencurigakan jika dia putar balik. Dengan langkah berat, Monita pun terpaksa masuk ke gerbang sekolah, yang sekarang lebih terasa seperti jalur masuk arena perang.

Lihat selengkapnya