Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #4

3. Melompat Lebih Jauh

Belum juga pulih dari drama terjedot pintu dan kepenatan pasca-upacara bendera, pelajaran Penjas menambah denyut di kepala Monita. Ada banyak hal yang harus diantisipasi. Hari ini ada praktik lompat jauh. Guru penjas memanggil mereka sesuai urutan daftar hadir dan sekarang giliran Monita yang diuji lompatannya.

Setelah namanya dipanggil, Monita segera mengambil posisi beberapa meter dari garis tolakan. Sebisa mungkin dia menjaga pandangannya hanya mengarah ke bak pasir. Matanya pun sengaja dibuat semakin menyipit, bukan karena sengatan matahari, tapi untuk menghindari Aceng yang sedari tadi berdiri di samping bak pasir.

Sejak awal guru menunjuk Aceng sebagai tukang ukur jarak lompatan. Cowok itu setia menunggu di dekat bak pasir sambil memegang meteran. Kehadiran Aceng yang seharusnya hal normal malah memperbesar gelembung kekhawatiran di kepala Monita. Bagaimana jika sejak tadi pagi Aceng sudah tahu kalau dia berbohong? Bagaimana jika Aceng berencana membongkar semuanya? Atau, bagaimana jika ternyata Aceng ingin menggunakan rahasia itu untuk mengancamnya?

Monita ingin segera berlari, melompat, dan pergi dari lapangan. Namun, entah kenapa bunyi peluit tidak kunjung terdengar. Atau jangan-jangan dia yang tidak mendengarnya?

"Moni!"

Monita menajamkan pendengarannya. Itu bukan suara guru Penjas. Nadanya nyaring, tapi tetap terdengar empuk, persis seperti suara yang dia dengar tadi pagi setelah menabrak pintu kelas. Mata Monita membulat. Untuk apa Aceng memanggilnya? Atau dia hanya berkhayal karena terlalu panik?

Tidak berselang lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Hingga sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu kiri Monita.

"Moni, tali sepatu. Diikat dulu."

Kali ini Monita tidak bisa mengelak berpapasan pandang dengan Aceng. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar terperangkap dalam sorot mata kecil dan awas itu. Rasanya seperti tertangkap basah. Bagaimana ini? Monita telah mengembalikan kacamata Kana. Sekarang matanya tidak terlindungi apa pun. Apakah sekarang dia ketahuan?

Tali sepatu. Diikat dulu.

Kalimat itu bergema di kepalanya. Buru-buru Monita memeriksa ke bawah. Ternyata tali sepatunya terurai sebelah.

"Mon, lo sakit juga?" Tidak jauh dari sebelah kanannya, Jhoni bertanya dengan tampang khawatir bercampur bingung. Monita hanya membalas dengan gelengan cepat, lalu segera mengikat tali sepatunya.

Setelah semua terikat kencang, dia kembali mengambil ancang-ancang. Aceng juga kembali ke posisinya semula, tetapi sebelum berbalik, dia sempat mengucapkan hal yang Monita tidak mengerti. "Triknya: jangan jinjit waktu lompat."

Belum sempat Monita memahami tips kilat itu, guru penjas menyalakan peluit. Monita refleks mulai berlari. Tidak kencang, tidak pelan. Semampu yang dia bisa. Sebelum mencapai garis tolakan, dia bisa menangkap sosok Aceng meski agak kabur, lalu saran dadakan itu kembali terngiang.

Jangan jinjit waktu lompat.

Bukannya melompat harus jinjit? Perasaan tidak setuju mulai muncul tepat saat Monita menginjak garis tolakan, membuatnya gugup dan sibuk menimbang: harus jinjit atau tidak. Alhasil tawa lepas terdengar dari barisan penonton ketika dia melompat dan mendarat di pasir.

"Sembilan puluh lima senti," kata Aceng kepada guru penjas setelah mengukur.

Tidak terlalu buruk, pikir Monita. Dari tadi ada beberapa pelompat yang jarak lompatannya sama bahkan lebih pendek dari itu. Lantas, kenapa orang-orang tertawa?

"Monita, selanjutnya ingat dasar-dasar lompatan. Salah satunya: jangan lompat dengan dua kaki," ucap guru setelah menuliskan nilai di catatannya.

"Mon, Mon ..., tadi itu lompat jauh atau lompat kodok?"

Cibiran salah satu teman sekelasnya membuat penonton semakin berisik. Monita cuma membalas dengan lirikan sebal dan segera kembali ke tempat di mana dia bisa menenangkan diri.

Di sudut lapangan, dekat pohon tua yang membentuk bayangan teduh, beberapa murid menyambutnya dengan beragam ekspresi. Pada umumnya tersenyum iba bercampur terhibur. Monita tidak tersinggung. Olahraga memang bukan keahliannya. Dia hanya berpikir, kalau saja Aceng tidak memberinya saran, mungkin dia tidak akan kebingungan.

"Percuma tinggi, jaraknya cuma dapat segitu. Kana dong, kecil-kecil lompatnya jauh."

Lihat selengkapnya