"Ikannya paling cuma kebetulan aja."
Pagi-pagi, begitu Kana tiba di kelas, Monita menunjukkan foto puisi anonim sambil mengira-ngira siapa penulisnya. Sesuai dugaan, Kana langsung menepis kecurigaannya.
"Lo bandingin baik-baik." Monita mengambil tempat pensil Kana, lalu mengeluarkan penggaris 15 cm. Di sisi kiri penggaris itu, tertempel stiker bergambar ikan yang sudah agak pudar. Segera dia sejajarkan dengan layar ponsel yang sedang menampilkan gambar serupa. "Mirip banget, kan?"
"Agak mirip, sih. Tapi, tetap aja, bisa jadi cuma kebetulan. Lo cari aja di internet, ada banyak gambar yang kayak gitu." Kana masih membantah.
"Bisa jadi kebetulan, bisa jadi benar. Gimana kalau semisalnya puisi itu beneran dari Kak Felix?"
Kana mendecak sebal. "Mulai deh, mulai ...."
Untuk urusan seperti ini, Kana memang seringkali sulit diajak berandai-andai. Dia juga jarang memberi sinyal positif pada setiap cowok yang mendekatinya, meskipun cowok itu terlihat serius atau bahkan tipe idaman Anak Raja, seperti Felix.
Sebenarnya Monita sudah pernah menyaksikan hal serupa saat mereka masih SMP. Waktu itu Kana dikirimi sekotak cokelat dan surat cinta dari salah satu cowok populer di angkatan mereka. Cowok itu anak paskibra, dan mereka kenalan saat Kana jadi panitia perlombaan 17 Agustus. Tanpa konsultasi ini-itu, atau coba pikir-pikir dulu, Kana langsung menolak cowok itu, tapi cokelatnya tetap dia terima untuk dibagi-bagikan ke teman-teman sekelasnya.
"Udahlah Mon, nggak perlu dipikirin .... Mending lo bantuin gue siapin PR Matematika. Nomor 5 susah banget. Lo udah selesai, belum? Nyontek, dong."
Monita menyerahkan bukunya dengan wajah menekuk. Meski tidak punya bukti kuat, dia tetap bersikeras percaya puisi itu memang ditulis untuk Kana. Namun, jika Kana tidak berminat mencari tahu siapa penulisnya dan apa tujuannya, dia tidak bisa memaksa. Lagian, urusannya sendiri saja masih seperti benang kusut. Bahkan semakin kusut. Ternyata Aceng sulit untuk diajak kerja sama. Entah berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk pikir-pikir. Entah teknik persuasi apa yang harus Monita lakukan. Bawain bekal? Jadi joki tugas? Kasih hadiah?
"Teman-teman ayo ayo, PR-nya udah bisa dikumpul ke depan. Yang belum siap, cepat-cepat disiapkan, masih ada lima menit lagi."
Tiba-tiba kelas jadi riuh setelah mendengar komando Jhoni. Dia baru saja datang dan langsung mengarah ke meja guru untuk mengisi ulang tinta spidol. Tidak lama kemudian, Aceng menyusul sambil membawa beberapa lembar kertas kuis yang telah dinilai. Sepertinya mereka berdua sempat singgah ke ruang guru.
"Woi, PR gue woi, udah sampe mana? Buruan!"
Risma tampak sibuk mencari-cari keberadaan bukunya. Sementara itu, Kana masih sibuk menyocokkan jawabannya dengan jawaban Monita. Di sisi lain, Aceng hendak mulai membagikan kertas kuis satu per satu.
Monita berpikir, apakah ini saat untuk bertindak?
Sebelum berubah pikiran, dia beranjak dari kursinya dan dengan mantap menghampiri Aceng. "Biar gue aja," katanya sambil secepat kilat mengambil alih kertas-kertas kuis. "Lo duduk santai aja, oke?"
Aceng terpaku mendadak, seperti anak kucing yang sedang menebak-nebak apakah dia hendak dikasih makan atau malah dibuang ke semak-semak.
Reaksi Aceng tidak seperti yang diharapkan Monita, tidak ada senyum terima kasih atau sekadar anggukan apresiatif. Lantas Monita mengeluarkan strategi lain. "Oh iya, soal lagu John Mayer, gue juga suka, loh. Selera lo bagus," katanya diikuti tawa kering. Niatnya ingin memuji agar terkesan semakin bersahabat, tapi kenyataannya malah terdengar seperti gombalan basi.
Daripada semakin canggung, Monita segera mulai membagikan kertas kuis itu. Masalahnya, baru nama pertama, dia menemukan hambatan. Monita kenal siapa pemiliknya, tapi dia tidak hafal tempat duduknya, dan dia tidak menemukan wajah orang itu di dalam kelas. Terpaksa dia kembali menghampiri Aceng yang masih berdiri dengan tampang berusaha memahami situasi.
"Yoga duduknya di mana, ya?"
Aceng tidak langsung menjawab, malah kembali merebut kertas-kertas dari tangan Monita. "Gue aja, biar cepat."
Tidak bisa membela diri dan tidak punya pilihan lain, Monita pun menurut. Misinya gagal. Apa Aceng tidak tergerak mendapatkan bantuan dari orang lain? Atau dia bisa mengendus niat asli Monita dan merasa itu semua hanya dibuat-buat?
Saat kembali ke kursinya, Kana dan Risma menatap penuh curiga. Bukannya mereka tadi sedang sibuk sendiri?
"Kenapa?" tanya Monita.
"Lo yang kenapa?" Kana balik bertanya sambil mengembalikan buku PR Matematika Monita.
"Tumben lo punya inisiatif bagi-bagi kertas kuis?" Risma menambahkan. "Gue merasa ada yang aneh ...."
"Aneh apanya? Nggak ada salahnya juga bantuin teman."
"Sejak kapan lo temenan sama Aceng?"
Pertanyaan Risma bagaikan serangan instan yang bikin Monita membayangkan kembali siapa dan seperti apa dirinya selama ini. Memangnya dari dulu dia tidak kelihatan berteman dengan Aceng?
"Semua orang di kelas ini teman gue," katanya tegas, seolah itu ada di daftar tata tertib kelas.
Mendengar itu, Risma bergidik ngeri, diiringi tepuk tangan dari Jhoni yang baru selesai mengisi ulang tinta spidol.
"Moni benar-benar cocok jadi panutan," kata Jhoni, dan itu malah membuat Risma semakin mengerang seakan sedang menahan muntah.
🕶️
Meskipun kerap beradu argumen atau sindir-sindiran halus, Monita dan Delia tidak pernah mogok interaksi sampai berminggu-minggu. Paling lama tiga hari, kemudian situasi kembali pulih seperti semestinya.
Sejak cekcok Kamis lalu, Monita memang agak menjaga jarak. Bahkan absen ke kantin agar tidak bertemu Delia. Sejujurnya, dia masih sedikit kesal dengan keingintahuan Delia yang melebihi batas wajar. Namun, setelah menginvestigasi video ulang tahunnya, dia yakin Delia adalah satu-satunya tersangka dengan motif terkuat. Untuk membuktikannya, jelas dia tidak bisa terus-terusan menjauh. Seperti kata pepatah, keep your friends close and your enemies closer.