Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #12

11. Hari Bersamanya

Saat Monita mengikuti arah perginya Delia, dia menemukan dua fakta. Pertama, Aceng tidak menyusul—yang membuat dia berasumsi rencananya berantakan. Kerja sama yang dia nanti-nantikan tidak akan pernah terjadi. Yang kedua, meskipun sudah melangkah hampir ke parkiran kafe, batang hidung Delia tidak tampak sama sekali.

Apa mungkin Delia mendadak pulang? Monita menggeleng ragu. Rasanya kurang masuk akal mengingat bagaimana Delia bersikeras datang ke rumahnya hanya untuk memastikan dia tidak ikut-ikutan mangkir seperti Kana. Lagi pula acara live music belum dimulai. Dirga bahkan belum kelihatan. Mungkin dia sudah salah duga. Bisa jadi Delia sebenarnya memang kembali ke mejanya semula, hanya saja sempat salah belok atau lewat jalur yang berbeda.

Monita ingin memastikan. Namun, jika kembali bergabung ke meja Priska dan lainnya, apa yang akan dia lakukan dan katakan di sana? Bagaimana jika Delia sebenarnya mencarinya di toilet, tapi tidak menemukannya? Bagaimana dia menjelaskan dari mana saja dirinya sejak tadi? Dia juga tidak tahu harus bersikap senormal apa di depan Aceng.

Ketika mempertimbangkan langkah yang harus diambil selanjutnya, seseorang dengan wajah familiar berjalan terburu-buru dari area depan panggung yang dipenuhi beberapa bean bag menuju parkiran. Meskipun agak menunduk, tubuh jangkung dan kacamata tebal yang dia kenakan membuat Monita semakin mengenali siapa cowok itu.

"Kevin?"

Kevin mengangkat wajahnya, dan refleks mundur kemudian menoleh ke belakang, kanan, dan kiri. Seolah mencari-cari seseorang, atau mungkin memastikan tidak ada orang lain di dekatnya.

Karena Kevin tidak menjawab, monita kembali berkata, "Mau balik?"

Kevin mengangguk, masih tidak bersuara. Dia juga masih sesekali memeriksa sekitarnya. Monita tidak terlalu kenal tabiat Kevin, tapi dua kali bertemu dengannya, dia bisa menyadari ada yang tidak beres. Kevin sedang gelisah, bukan gugup seperti yang biasa terlihat.

Sebisa mungkin Monita bertanya santai, "Kok cepat banget? Udah jumpa sama Delia?" sambil menunjuk ke arah ujung kafe, tempat teman-temannya berkumpul.

Kevin kembali mengangguk, tapi kemudian menggeleng cepat. "Itu .... Aku ...."

Dugaannya semakin kuat. Bisa jadi Delia tadi menghilang untuk bertemu Kevin. Tapi, untuk apa? Dan bagaimana membuat Kevin bersuara tanpa terkesan memaksa?

Monita mengambil napas dalam dan memasang senyum ceria. "Oh iya, by the way, gue udah buka kado dari lo. Thanks, ya. Kapan-kapan kayaknya kita bisa ngobrol bareng. Lo temenan sama Delia, kan? Berarti lo teman gue juga," katanya sambil menepuk-nepuk pundak Kevin dengan ramah.

Meski sebenarnya dia belum membuka kado itu, perkataan manisnya tampak berhasil. Kevin balas tersenyum dengan canggung dan mengangguk malu.

"Moni? Kok di luar?"

Monita menoleh ke asal suara. Ternyata Risma baru datang bersama seorang lainnya. Setahu Monita, dia bendahara OSIS sekaligus teman Risma di klub olimpiade matematika.

"Oh, gue baru dari toilet tadi, terus tiba-tiba ada yang nelepon. Karena di dalam sinyalnya jelek, jadi gue ke sini." Alasan itu mengalir begitu saja, bahkan tanpa perlu berpikir keras. Monita sempat ngeri sendiri mendapati dirinya semakin mahir bersandiwara.

Kevin memanfaatkan kesempatan ini untuk undur diri, dan sementara Monita tidak punya alasan untuk ikutan angkat kaki, dia pun terpaksa mengikuti Risma masuk ke dalam kafe, kembali bergabung dengan Priska dan lainnya.

Di sana, dia mendapati Delia duduk santai sambil menikmati minumannya. Selain itu, Aceng juga sudah kembali ke kursinya semula. Tidak ada yang mempermasalahkan kepergiannya tadi, atau sebenarnya mereka tidak terlalu peduli?

Tidak lama setelah Monita mengambil tempat duduk di sebelah Delia, terdengar sapaan dari atas panggung.

Priska yang baru menyeruput milkshake cokelat memiringkan badannya agar bisa leluasa menyaksikan panggung mini dengan dekorasi mirip taman kecil di belakangnya. "Wah, udah mulai, nih. Semoga Dirga yang pertama tampil."

Monita ikut memantau. Di samping panggung, tampak Dirga sedang mengobrol serius dengan seorang wanita muda berkostum serba hitam. Meskipun riasannya terkesan gothic, perempuan itu tetap terlihat segar. Mungkin karena anting oranye mencolok di kedua telinganya, yang anehnya tetap tampak serasi dengan busana serba hitamnya.

Sehabis MC membuka acara live music dan memperkenalkan beberapa tamu yang akan tampil, Dirga naik ke panggung diiringi tepuk tangan antusias pengunjung.

Ini kedua kalinya Monita menyaksikan langsung penampilan Dirga. Anehnya api semangat di dalam dirinya seolah kehabisan sumbu. Bahkan dia tidak ikut-ikutan mengeluarkan ponsel untuk merekam dan memamerkan momen itu di media sosial. Monita mencoba memaknai perasaannya. Apakah Dirga tidak menarik lagi? Tidak. Cowok itu tetap terlihat menawan dan layak untuk diidolakan. Mungkin masalahnya ada pada dirinya. Seolah ada bayangan hitam yang sedang dia pelihara, yang semakin lama semakin membesar, dan bayangan itu malah membuat dirinya tampak semakin kerdil. Apakah ini yang namanya rasa bersalah? Sampai-sampai dia merasa tidak lagi layak untuk menyukai seseorang.

"Lagu ini buat teman gue." Dirga memulai kata-kata pembuka. Dia duduk di kursi tinggi di tengah panggung sambil memangku gitar terbaiknya. Jhoni dan beberapa anak cowok di meja sebelah mulai bersorak gembira. Dirga sempat membalas mereka dengan anggukan kecil.

"Gue harap semua yang terbaik buat lo dan hari-hari bersamanya," lanjut Dirga diikuti petikan intro lagu Hari Bersamanya dari Sheila on 7.

Sebelum bait pertama dinyanyikan, sebelum pengunjung ikut bernyanyi bersama, Monita bisa melihat dengan jelas Dirga sempat melontarkan senyum optimis ke arah Aceng.

Monita menoleh sekilas, memeriksa apakah ada reaksi berarti dari Aceng. Namun Aceng hanya mengangguk-angguk kecil mengikuti irama lagu sambil bersandar di kursi dan bersedekap dengan senyum datar. Jika teman yang dimaksud Dirga adalah Aceng, seharusnya ekspresinya lebih positif dari itu.

"Tantenya Dirga yang mana, ya?" Bendahara OSIS, yang duduk di ujung meja dekat meja para cowok, bertanya sambil melirik-lirik sekitar.

"Itu, yang baru masuk," jawab Jhoni sambil menunjuk ke arah wanita eksentrik berpenampilan hitam-oranye yang baru saja melewati pintu area indoor. Pantas saja sejak tadi Dirga terus mengikuti wanita itu.

"Dengar-dengar, keluarga tantenya itu orang penting di industri musik." Priska menambahkan.

"Wah, pantes nurun ke Dirga," balas Bendahara OSIS, lalu kembali menikmati lagu yang tersisa.

Dirga hanya membawakan satu lagu. Meskipun beberapa pengunjung meminta tambahan, dia segera turun tanpa kompromi. Sejenak Monita merasa Dirga sedang memburu waktu. Dan dugaannya terbukti karena tak lama setelah masuk ke area indoor, Dirga menghampiri mereka dengan raut menyesal.

"Guysthanks udah datang, tapi sorry banget gue nggak bisa temani kalian, mendadak ada yang mesti gue urus," katanya sambil melirik jam tangannya.

"What's up, Dir? Something bad happened? Lo baik-baik aja, kan?" Delia bertanya cemas.

"Gue baik-baik aja. Cuma ada yang perlu gue pastiin. Kalo cepat kelar, gue bakal balik ke sini, tapi gue nggak bisa janji."

"Ya udah, tenang aja, Dir. Kita ngerti, kok. Semoga urusan lo cepat kelar," ucap Jhoni diikuti anggukan dari teman-teman lainnya.

Lihat selengkapnya