Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #14

13. Lingkaran Bumerang

Pelajaran Penjas di jam pertama digunakan Monita untuk meredam amarah. Sebagai pemanasan, mereka diminta memutari lapangan sekolah tiga kali. Di putaran pertama, Monita sengaja dekat-dekat dengan gerombolan di depan demi menghindari teman-temannya, termasuk Kana. Sejak tadi mereka berusaha mendamaikan suasana, memintanya untuk tidak terpancing dan asal tuduh.

"Mon, sorry banget gue nggak bisa temanin lo kemarin. Gue juga ngerti lo marah banget ke Delia. Tapi, lo jangan cuekin gue juga, dong."

Tanpa benar-benar memalingkan wajah dan masih mempertahankan laju kakinya, Monita melirik ke sebelahnya. Kana ternyata berhasil menyusul dan belum menyerah membujuknya.

"Habisnya lo ngebelain mereka," balas Monita dingin.

"Gue nggak bela siapa-siapa. Gue cuma saranin, lo dengar penjelasan mereka dulu. Dibicarain baik-baik, biar ketemu jalan keluarnya."

"Iya. Mon. Sekarang mending fokus nyelesain masalahnya dulu aja. Kita bisa cari tau bareng-bareng siapa yang nyebarin gosip itu." Fara yang ada di belakang mereka menambahkan.

Risma di sebelah Fara pun mengangguk setuju. "Benar kata Fara. Lebih baik kita fokus perbaiki masalahnya dulu."

Monita mencebik. "Lo aja kemarin nggak nyoba berhentiin mereka."

"Ya gue minta maaf kalo gue kesannya nggak belain lo. Tapi gue cuma nggak mau ikut campur aja."

"Teman lo juga, Si Bendahara OSIS itu. Bisa jadi dia yang nyebarin. Dia kan banyak kenalan senior."

Risma menggeleng cepat. "Bukan. Dia orangnya memang kepo kebangetan, tapi gue bisa jamin, dia nggak bakal main kotor gitu."

Jika bukan Bendahara OSIS, lantas siapa lagi? Monita berusaha mengingat-ingat. Di kafe kemarin, mereka duduk cukup jauh dari gerombolan anak kelas XII. Aneh sekali jika obrolan mereka terdengar jelas hingga ke deretan meja di dekat panggung. Belum lagi ada penampilan live music yang membuat suasana semakin ramai.

Monita yakin ada yang membocorkannya dengan sengaja. Kemungkinan besar orang yang ikut duduk di dekat mereka. Namun, tidak ada yang mencurigakan selain Delia, Priska dan Bendahara OSIS. Mereka yang paling ngotot ingin tahu. Anak-anak cowok pun saat itu malah punya obrolannya sendiri, seolah tidak sadar dengan topik kado itu. Aceng memang mengaku mendengar sedikit, tapi bisa jadi karena dia duduk paling dekat dengan meja mereka.

Peluit berbunyi sekali, menandakan satu putaran sudah terlewati. Monita menoleh ke arah Kana, Risma, dan Fara, mencoba mengira-ngira berapa kecepatan yang harus dia tambah untuk menjauh dari mereka. Namun, dia malah mendapati raut khawatir di wajah ketiganya, seolah tengah menghujaninya dengan belas kasih meski ditolak mentah-mentah.

Apa dia layak mendapat semua perhatian itu? Sementara kesulitan yang dia hadapi saat ini datang akibat omong kosong ciptaannya sendiri. Jika saja dia tidak memamerkan sesuatu yang belum dia miliki ....

Namun, menyalahkan diri sendiri malah membuat gemuruh di dadanya semakin menusuk.

Monita kembali bersiap-siap mempercepat kakinya. "Gue butuh sendiri dulu," katanya sebelum meninggalkan Kana, Risma, dan Fara. Seolah mengerti, ketiganya tidak lagi berusaha mengejar, memberikan Monita waktu untuk menenangkan diri.

Monita berlari secepat yang dia bisa. Sekitarnya mengabur, deru napasnya semakin kejar-kejaran. Meski begitu, kepalanya lebih berisik. Sangat mengusik.

Apakah dia mesti klarifikasi? Jika dia membantah, orang-orang pasti akan memintanya menjelaskan apa sebenarnya isi kado spesial itu. Apa yang harus disampaikan? Mengakhiri sandiwaranya dan meminta Dirga mengatasi segalanya?

"Ini kan baru pemanasan, mending simpan tenaga buat nanti."

Monita memelankan kakinya dan mendapati dirinya baru saja melewati Aceng.

Aceng tidak berkomentar apa pun saat Monita menyeimbangkan kecepatan. Dia juga tidak menyinggung tentang rumor pagi tadi. Namun, Monita bisa merasakan sekali-sekali Aceng menoleh ke arahnya, mungkin untuk memastikan seberapa murung wajahnya sekarang.

Daripada orang lain yang memulai, Monita memutuskan mengasihani diri sendiri. "Lo nggak mau ngetawain gue?" katanya sambil terus menatap lurus. Dia berharap Aceng tidak mengingat betapa mirisnya dia tadi pagi karena sempat terlampau optimis. Ternyata harapan yang dia coba raih di gerbang sekolah hanya sekadar numpang lewat.

"Kenapa gitu?" Aceng balik bertanya.

"Sekarang gue kayak lagi senjata makan tuan, gitu."

Aceng tampak diam sebentar sebelum membalas, "Salah gue juga, sih."

Alis Monita terangkat. Dia jelas tidak setuju. Dari semua Anak Raja, Aceng adalah orang terakhir yang dapat disalahkan. Malahan, Monita merasa beruntung Aceng tidak pernah menjauh meski Monita menyeretnya masuk ke arus penuh drama. Meski tidak aktif memberi bantuan langsung, setidaknya itu membuat Monita merasa tidak sendirian.

"Menurut lo ini bakalan lama, nggak?"

"Tergantung," jawab Aceng. "Kalau ada berita heboh lain yang muncul beberapa hari ke depan, mungkin bisa tenggelam."

Lihat selengkapnya