Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #20

19. Mencari Jawaban

Bukannya mendapat kejelasan, semua terasa semakin simpang siur. Setelah menyadari pertanyaan Dirga tidak selaras dengan persepsinya, Monita hanya memberi jawaban samar, lalu segera mencari-cari pengalihan. Untung saja saat itu dia menangkap sesuatu di lapangan. Anggota Merpati Putih mulai kembali merapatkan barisan. Jadi, Monita mengajak Dirga untuk bergegas agar tidak ketinggalan.

Sisa hari itu berjalan begitu saja. Monita tidak terlalu memperhatikan demonstrasi Merpati Putih, dan tidak lagi memusingkan antusiasme berlebihan Delia. Pikirannya melayang-layang, membuat sekitarnya mengabur. Sekabur pemandangan di luar jendela mobil saat ini.

Satu hari telah berlalu, dan Monita harus kembali menghadapi hari lainnya untuk menemukan jalan keluar. Semalam dia mencoba menyambung petunjuk-petunjuk yang saling bersilangan. Kesimpulan sementara yang dia dapat agak mengkhawatirkan: orang yang bisa memberikan penjelasan hanyalah Aceng.

"Semalam Tante Yola ngabarin penerbangannya di-reschedule."

Monita menghela napas pelan. Untuk beberapa saat dia sempat berpikir jadwal kepulangan tantenya itu bukan hal penting. Namun, dia tidak bisa menyalahkan ibunya yang hanya berniat berbagi kabar. Monita pun berhenti memandangi jalanan yang sibuk dari jendela di sebelahnya dan bertanya, "Jadinya kapan, Mi?"

Ibunya tidak langsung menjawab karena sibuk mengatur jarak di lampu merah. Tinggal satu persimpangan lagi, mereka akan tiba di Raya Jaya.

"Hari Minggu depan. Kamu ikut Mami, ya, jemput ke bandara?"

Hari Minggu libur sekolah. Seharusnya Monita tidak keberatan. Namun, dia langsung teringat kado Dirga. Kedatangan tantenya bertepatan dengan hari yang pernah disebut Aceng. Meski Monita semakin tidak yakin akan mengetahui isi kado itu sebelum waktunya, tetapi dia harus tetap meluangkan waktu untuk berjaga-jaga.

Lampu merah sudah berubah hijau. Ibunya sempat menoleh ke arahnya sebelum kembali menjalankan mobil.

"Moni kayaknya udah ada janji ...," katanya ragu-ragu, "tapi masih belum pasti."

"Bareng Kana-Delia?"

Monita tidak mengangguk maupun menggeleng, hanya cepat-cepat menambahkan, "Tapi masih rencana aja, Mi. Nanti Moni pastiin lagi."

Ibunya mengangguk paham. "Atau kamu nanti nyusul aja ke rumahnya Tante Yola. Apa kita nginap aja, ya? Seninnya tanggal merah, kan? Biar kita bisa bantu-bantu di sana. Apalagi sekarang Sisy udah nggak di rumah ...."

Selanjutnya Monita hanya bisa menyimak rencana dadakan dan pengertian yang ibunya coba tanamkan. Karena tidak terlalu masalah dengan acara menginap semalam, dia hanya mengangguk-angguk setuju dan menyerahkan semuanya pada ibunya. Sesampainya di depan sekolah, dia langsung berpamitan seperti biasa tanpa berkomentar apa-apa. Namun, langkahnya melambat begitu hendak melewati gerbang. Tampak seorang perempuan memarkirkan sepeda motornya di dekat gerbang dan fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Karena merasa familiar, Monita sedikit memelankan langkah untuk memperhatikan lebih saksama.

Ternyata perempuan itu juga menyadari kehadiran Monita. Dia ikut menoleh dan tersenyum manis. "Hai! Moni, kan?"

Dia perempuan yang sering mengantar-jemput Aceng, yang juga pernah mengantarkan botol minum yang ketinggalan. Monita sempat memeriksa sekelilingnya sekilas untuk memastikan orang yang disapa memang dia. Mungkin saja ada Moni lain di Raya Jaya.

Namun, murid-murid lain hanya lewat begitu saja, tidak ada yang merasa terpanggil. Perempuan itu juga sudah beranjak dari sepeda motornya dan berjalan ke arah Monita.

"Moni, kan?" Dia masih mengulangi pertanyaannya. "Temannya Aceng."

Monita mengangguk ragu. Untuk pertanyaan pertama, dia tidak bisa membantah. Namun, untuk yang kedua—yang lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan, dia kurang yakin fakta itu masih berlaku atau tidak.

Tampaknya perempuan itu tidak terlalu memedulikan kecanggungan Monita. Sebelum sempat Monita bertanya, dia langsung mengutarakan maksudnya, "Boleh minta tolong, nggak?"

Suaranya terdengar terlalu ceria untuk orang yang membutuhkan bantuan. Meski begitu, Monita tidak mungkin menolak sebelum mengetahui permintaannya, dia juga yakin teman Aceng ini tidak akan meminta hal yang macam-macam, jadi Monita kembali mengangguk.

"Bisa hubungi Aceng?"

"Hah?"

"Kamu bisa telepon Aceng, nggak? Suruh dia ke sini. Punya nomornya, kan?"

"Oh. Iya ...." Monita mengangguk kikuk. Sesungguhnya dia tidak sepenuhnya mengerti tujuan perempuan itu. Jika ada keperluan penting, seharusnya langsung saja datangi Aceng di kelas, seperti saat botol minumnya ketinggalan. Lebih praktis. Tidak merepotkan orang lain.

Namun, Monita tetap mengeluarkan ponsel dari saku rok dan mencari kontak Aceng. Semua dilakukan dengan gerakan spontan. Hingga layar ponsel menampilkan nama Aceng, Monita sedikit menyesal. Dia baru teringat, mereka masih perang dingin. Apa yang harus diucapkan jika Aceng mengangkat panggilan itu? Bagaimana jika Aceng berpikir Monita ingin kembali mengganggu, dan malah memilih mengabaikannya?

Saat Monita melirik perempuan di hadapannya, berharap dia berubah pikiran, perempuan itu malah kembali melempar senyuman manis dan penuh harap. Jadi Monita tidak bisa mundur.

Nada dering terdengar agak lama sampai-sampai Monita yakin Aceng masih menghindar. Namun, pada akhirnya terdengar suara dari seberang.

"Halo?" Suara Aceng terdengar rendah dan ragu, membuat Monita semakin bimbang harus menjawab apa.

Seolah bisa memahami situasi, perempuan di depannya memberi instruksi, "Bilang: Amel nunggu di depan gerbang."

Jadi namanya Amel? Monita sempat tertegun sejenak, lalu mengulangi perintah yang diberikan kata demi kata, "Amel nunggu di depan gerbang."

Aceng diam beberapa saat hingga kembali membalas pendek, "Oke."

Saat panggilannya terputus, Monita mulai bernapas lega. Bukan hanya karena tugasnya jadi pengantar pesan sudah selesai, tetapi juga karena Aceng tidak menghindar. Sejujurnya, tidak saling sapa selama dua hari dengan Aceng ternyata cukup menyita pikirannya. Bahkan terasa lebih berat dibandingkan saat dia dan Delia saling silang pendapat. Meski panggilan barusan hanya berkisar sepuluh detik, dan meski hanya mendengar dua kata singkat dari Aceng, angin di Raya Jaya kini terasa lebih segar berkali-kali lipat.

Lihat selengkapnya