Keesokan pagi, Monita izin bolos sekolah, yang segera disalahpahami oleh ibunya.
"Kamu lagi marahan sama si Aceng-Aceng itu?" tanya ibunya dari balik meja dapur.
"Bukan, Mi."
"Oh. Mami kira dari semalam kamu bad mood karena dia."
Tidak sepenuhnya salah, tapi Monita malas memperjelas masalahnya. Dia kembali membujuk agar ibunya mau menghubungi wali kelas. "Hari ini nggak ada tugas yang mesti dikumpul. Nggak ada jadwal kuis juga. Moni janji cuma kali ini aja," katanya.
Ibunya akhirnya setuju, dengan catatan tidak terus-terusan mendekam di dalam kamar. Jadi, seharian Monita mencoba menghibur diri dengan menonton drama serial di ruang tengah. Saat hendak memasuki episode keenam, suara berisik datang dari pintu rumahnya.
"Moniii .... Are you okay?"
Delia dan Priska berhamburan mengapitnya di sofa, Delia sebelah kanan, Priska sebelah kiri. Keduanya menatap Monita seolah sedang menjenguk teman yang sedang demam tinggi.
"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?"
Sebenarnya pertanyaan itu lebih cocok disampaikan pada ibunya, yang sekarang entah di mana. Bisa-bisanya dia membiarkan Delia dan Priska masuk begitu saja tanpa memberi Monita aba-aba. Monita memeriksa pintu depan, tidak ada siapa-siapa lagi.
"Kita udah coba hubungi lo dari pagi, tau! Tapi nomor lo nggak aktif" Delia meletakkan tiga cup minuman dingin berlogo kafe depan sekolah ke atas meja.
"Oh. Sorry. Lupa gue cas," kata Monita. Yang sebenarnya sengaja dimatikan.
Priska menambahkan, "Kita khawatir sama lo, Mon. Makanya langsung cus ke sini begitu pulang sekolah. Lo pasti butuh teman, kan?"
Jika Monita butuh teman, sejak pagi dia akan berangkat ke sekolah, atau bahkan dari semalam dia akan meladeni obrolan grup mereka. Sepertinya Priska dan Delia kurang paham konsep menyendiri untuk berpikir. Meski begitu, Monita tidak protes. Dia anggap kedua temannya sedang bermurah hati.
Monita beranjak, "Kita ngobrol di kamar aja."
Di dalam kamar, dia menyalakan ponsel. Ada puluhan pesan masuk, belasan panggilan tak terjawab, dan beberapa notifikasi media sosial. Tidak satu pun dari Kana.
"So ...," Delia bersandar pada meja rias, "gue sama Priska udah dengar penjelasan mereka di sekolah."
Sudah pasti "mereka" yang dimaksud adalah Kana dan Dirga. Monita menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, tidak mencegah Delia menjadi perantara pesan.
"Mereka memang best friends since primary school, tapi keluarga Dirga pindah ke Malang sebelum mereka masuk SMP. You know what? Waktu itu, Dirga janji bakal balik setelah 17 tahun. Biar bisa living alone with no guardians, katanya. Dia juga sengaja ikut competition biar punya alasan kuat."
Priska, yang duduk di kursi meja belajar, melanjutkan, "Sayangnya, pas Dirga balik, Kana malah berusaha menghindar. Dia nggak enak sama kita, terutama lo."
"Kenapa nggak enak sama gue?" Monita mengerutkan dahi, masih dalam posisi terlentang menatap langit-langit kamar.
"Lo ingat nggak waktu awal-awal Dirga masuk sekolah? Waktu itu lo antusias banget ajak dia kenalan. Kana pikir lo serius waktu itu."