Kacamata Monita

Kopa Iota
Chapter #32

27. Kado yang Hilang

Ada huru-hara yang meriah di kelas Monita siang ini. Bel pulang baru saja berbunyi, murid-murid mulai mempersiapkan diri. Dua hari ke depan tanggal merah, dan berhubung sebentar lagi masa ujian kenaikan kelas, banyak yang memanfaatkan akhir pekan agak panjang ini untuk bersantai sejenak bersama teman sekelas, mengobrolkan rencana liburan, berkumpul dengan anggota ekskul, atau siap-siap berangkat ke kafe atau spot nongkrong lain. Monita tidak termasuk di antaranya. Dia tidak bisa bersantai saat ini. Begitu guru melangkah ke luar kelas, dengan gesit dia mengumpulkan semua alat tulis ke dalam tas.

"Mon, serius nggak ikut?" Di depannya, Risma masih berusaha membujuk.

Hari ini Risma, Fara, Kana, dan Jhoni sepakat akan pergi ke J-Fest bersama Delia dan Priska. Sebenarnya awalnya mereka tidak punya rencana kumpul bersama selain menonton pertandingan final kejuaraan pencak silat di hari Minggu. Namun, postingan suasana J-Fest di hari pertama di sosial media berhasil menggugah minat mereka. Sayang untuk dilewatkan.

"Tahun depan belum tentu bisa ke sana," bujuk Priska waktu pertama kali mencetuskan ide ini di obrolan grup.

Semua setuju, kecuali Monita. Dia punya rencana lain yang tidak bisa diganggu-gugat. "Sorry guys, nyokap gue udah nunggu di depan," katanya sambil beranjak dari kursi dan melangkah keluar kelas sebelum Risma menahannya lebih lama.

Di sepanjang koridor, Monita berjalan dengan langkah besar. Wajah-wajah berseri Anak Raja lalu-lalang di kiri-kanannya. Beberapa ada yang menyapa singkat, dan Monita membalas dengan anggukan cepat. Kevin juga sempat tersenyum dan melambaikan tangan padanya dari depan pintu kelas.

"Happy weekend, Vin!" Monita sempat berseru ringan saat melewatinya.

Saat di persimpangan koridor, dia sempat melirik ke arah kios fotokopi. Berbeda dengan hiruk-pikuk di sekeliling lapangan, kios itu tampak sepi dan lengang. Tempat itu memang cocok dinobatkan sebagai sudut terdamai di Raya Jaya. Spontan Monita tersenyum kecil. Besok-besok harus ke sana lagi, janjinya dalam hati, sebelum kios itu tampak semakin mengecil dari pandangannya.

"Whoops, Mon, mau ke mana? Buru-buru amat."

Di depan jalur keluar menuju gerbang, Monita berpapasan dengan Bendahara OSIS yang baru keluar dari ruang guru. Dia sempat memeriksa sekeliling Monita.

"Nggak bareng Delia? Katanya mau ke JFest?"

Entah bagaimana kabar itu sampai ke telinga Bendahara OSIS, Monita menahan diri untuk tidak mempermasalahkannya. Dia mengembangkan senyum formalitas dan menjawab cuek, "Kepo banget, kayak akun gosip," kemudian meninggalkan Bendahara OSIS yang masih tercengang di tempat.

Di luar, suasananya sama ramainya. Beberapa kendaraan parkir di pinggir jalan. Monita memeriksa kembali ponselnya. Ibunya bilang, dia menunggu di bawah pohon besar tepat di seberang kafe. Jam di ponsel sudah menunjukkan hampir setengah tiga. Monita bergegas.

"Kak Moni!"

Belum lagi melewati gerbang, hambatan kembali datang. Monita berbalik. Mauren setengah berlari menghampirinya, sambil tersenyum lebar. Terlalu ceria untuk diabaikan. Monita pun menyempatkan diri untuk meladeninya.

"Hei," sapanya seramah mungkin.

"Kebetulan ketemu Kakak di sini. Mauren mau kasih ini ke Kakak." Mauren membuka tas dan mencari-cari sesuatu dari dalam. Kertas berwarna putih bercorak pita kuning. Dia menyerahkan kertas itu dengan sungguh-sungguh.

"Apa ini?" Monita membaca sekilas. Ternyata undangan.

"Adik Mauren ulang tahun minggu depan. Dia bilang, mau undang Kak Moni. Kalau Kakak ada waktu—"

"Pasti dong ada waktu," jawab Monita optimis. "Gue pasti datang."

Mauren tersenyum lega.

"Tapi, boleh bawa teman, kan?" tanya Monita kemudian, sebenarnya itu hanya ide yang tiba-tiba muncul. Mungkin karena saat ini kepalanya penuh dengan orang itu.

"Oh. Boleh. Boleh, kok Kak."

"Sip kalau gitu. Makasih ya undangannya." Monita keluar gerbang dengan langkah ringan. Saat melewati Pak Satpam yang tersenyum padanya, dia membalas tanpa terpaksa.

Saat Monita masuk ke dalam mobil, ibunya langsung menyalakan mesin. "Ayo, pasang seatbelt," katanya sambil memeriksa spion kanan. Tak butuh waktu lama, mobil meluncur dengan kecepatan pasti.

🕶️

Gelanggang olahraga yang Monita kunjungi tidak terlalu besar, tapi jalur masuknya sedikit membingungkan. Jika tidak dibantu petugas, dia bisa saja tersesat ke area asrama atlet. Begitu masuk ke gelanggang, sayup-sayup pengumuman menyambutnya.

"Babak kedua dimulai."

Di dalam tidak terlalu ramai, tapi penyebaran penonton terkesan acak-acakan. Bukan hanya tribun, orang-orang di arena tanding juga tampak berkelompok-kelompok. Ada modul-modul matras yang membagi lantai menjadi tiga arena. Di setiap sisi arena dilengkapi meja dan kursi untuk juri. Monita mendekat ke barisan depan tribun sambil memeriksa ponsel, memastikan balasan pesan dari Amel yang diterimanya beberapa menit lalu.

Kita di barisan tiga paling depan, pas banget berhadapan dengan spanduk yang ada gambar walikota. Cari aja yang topi tosca.

Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat jelas gambar jumbo walikota yang tergantung di tribun seberang. Monita memeriksa tribun di kanan. Hanya beberapa barisan depan yang terisi penuh. Sementara dari tengah ke belakang hanya diisi dua-tiga pengunjung.

Monita maju, mencari topi tosca yang dimaksud Amel.

"Moni! Di sini!"

Seorang perempuan berambut panjang melambaikan tangan dari tribun di kanan. Itu Yuna, tapi kali ini tidak pakai bando silver. Amel yang duduk paling kiri juga ikut memberi sinyal. Di tengah-tengah, antara Yuna dan Amel, ada seseorang bertopi tosca. Monita ingat cara duduknya. Dia orang yang sama dengan yang memakai hoodie di perayaan ulang tahun Amel tempo hari.

"Tepat waktu lo, Mon. Udah mau giliran Aceng, nih," kata Yuna.

"Ayo, sini duduk." Amel menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. Monita menurut.

Suara gong dan pengumuman, "Babak kedua selesai," membuat mereka berlima kembali memandang ke depan. Monita baru menyadari di arena bertanding, ada tiga pertandingan yang berjalan sekaligus. Di lingkaran tengah, dua perempuan sedang saling adu serangan. Di ujung ada dua laki-laki yang juga sedang duel. Sementara di arena paling dekat dengan mereka, kedua peserta sedang beristirahat di sudutnya masing-masing.

"Yang merah itu anak Merpati Putih juga. Satu kelompok latihan sama Aceng," kata Amel.

"Oh ya? Anak Raja juga?" Wajah peserta bersabuk merah yang Amel maksud itu terlihat asing. Monita tidak yakin pernah melihatnya di sekolah. Namun, di sudut itu, dia mengenal satu di antara dua pendamping. Dia alumni Raya Jaya sekaligus pelatih ekskul Merpati Putih.

"Bukan. Bukan dari sekolah. Kelompok latihan umum yang di pusat. Tapi, itu yang jadi pelatihnya alumni Raya Jaya. Kebetulan mereka satu kelompok latihan juga di luar."

Ada beberapa sekelompok orang berseragam Merpati Putih tanpa pelindung tubuh di tribun kiri yang menghadap mereka, tepat di sudut dekat dengan jalur keluar masuk pesilat yang akan dan habis bertanding. Dari kejauhan, usia mereka tampak beragam. Ada yang sepantaran Monita, ada yang lebih muda, ada juga yang lebih dewasa. Ketika gong berbunyi tanda babak ketiga dimulai, mereka saling bersorak memberikan dukungan.

Sementara itu, di tribun sudut sebelahnya, anggota ekskul Merpati Putih Raya Jaya memadati barisan paling depan. Satu dari mereka berbincang dengan beberapa peserta yang menunggu di sudut arena. Monita baru sadar, Aceng ada di sana. Dia memandang serius pertandingan yang tengah berlangsung, sesekali menanggapi teman di sebelahnya.

Monita mencoba ikut menyimak pertandingan itu. Di tengah arena, kedua peserta berhadapan, saling mengitari lawan, mencari celah untuk menyerang. Wasit mengikuti gerak mereka, terkadang mengangkat tangan, seperti memberi tanda.

Lihat selengkapnya