Namanya adalah Azam, kepanjangan namanya adalah Multazam. Dia merupakan seorang anak laki-laki dari keluarga biasa dan berekonomi biasa pula. Keluarganya terdiri dari Dirinya, Ayahnya, Ibunya dan kedua Adik Perempuannya. Mereka adalah keluarga bahagia. Sampai, bulan lalu adik bungsunya meninggalkan dunia untuk selamanya. Nama adiknya itu adalah Dea, yang biasa dipanggil Ia'. Ia' adalah anak perempuan yang luar biasa, ia memiliki perwatakkan yang ceria dan manis, berbanding terbalik dengan sang kakak sulung yang serius dan pendiam ataupun kakak keduanya yang tomboy dan pemarah. Ia' merupakan warna berbeda dalam keluarga Multazam, khususnya bagi hidup Multazam. Baginya adik bungsunya itu adalah sebuah kado terindah dalam hidupnya.
Setahun sudah kejadian yang menimpa keluarga Multazam itu berlalu. Kini semuanya telah normal kembali. Ya, setidaknya itulah yang dilihat oleh orang-orang.
Nyatanya kesedihan masih menari-nari indah di dalam hati dan pikiran setiap bagian keluarga kecil mereka. Sang ibu yang bernama Ani, menjadi sakit-sakitan semenjak Ia' meninggal. Bagi seorang ibu tentulah musibah yang menimpa putrinya yang baru menginjak umur 10 tahun itu berbekas dan meninggalkan luka yang begitu dalam di dalam jiwanya. Maka setelah enam bulan perginya Ia' sang Ibu kini mendekam dalam rawatan rumah sakit jiwa. Lalu sang ayah, Dia kini menjadi seorang direktur disebuah perusahaan makanan kaleng terbesar di Indonesia. Sang Ayah berusaha menghilangkan semua rasa sedih karena kehilangan putri kecilnya, dengan bekerja begitu giat hingga jarang pulang ke rumah. Lalu sang putri pertama, Laila. Kini ia menjadi gadis 15 tahun yang menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang dan tak serius dalam studi di SMA nya. Kemudian sang sulung, Multazam atau Azam, kini menjadi mahasiswa jurusan Hukum di salah satu Universitas Negri terbaik saat ini. Ia hidup dengan serius dan menghindari penyesalan. Dia juga yang mengunjungi ibunya setiap seminggu sekali di rumah sakit jiwanya.
Suatu hari tepat pada 12-Aguatus, Azam yang baru menyelesaikan kelasnya berjalan pulang ke kontrakannya. Keluarga Azam kini menjadi keluarga yang cukup berada dengan hasil uang dari pekerjaan ayahnya dan buku-buku yang ditulis oleh Azam. Ya, kini Azam telah menjadi novelis yang cukup tenar dikalangan pembacanya. Azam berjalan sendirian menuju ke kontrakannya karena kontrakannya dan kampus hanya berjarak setengah jam berjalan kaki, maka Azam lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan motor tua yang dimilikinya.
Di perjalanan pulangnya Azam melihat anak-anak pengamen yang bermain riang di sebuah taman. Mereka tertawa bergembira meski lusuh pakaiannya. Umur mereka sekitar sepuluh tahunan. Itu cukup untuk membuat Azam mengingat kembali tentang adiknya tercinta.
"Huh... Aku makan apa ya, hari ini?" Gumamnya dengan suara kecil yang cukup terdengar telinganya sendiri, berusaha membuang ingatan yang merembes menenggelamkannya. Tak jauh dari sana Azam melihat Warteg yang sudah jadi langganannya. Azam memutuskan untuk mengunjunginya dan membeli beberapa lauk-pauk yang akan jadi makan malamnya. Ketika Azam masuk ke dalam warteg tak terduga ada seorang gadis yang menyapanya.
"Azam!?" Suara itu datang dari seorang gadis muda sepantaran dengan Azam. Nama gadis itu adalah Putri. Putri berdiri tepat di belakang meja saji, dan lemari kaca Warteg itu.
"Loh, Putri kamu ngapain di sini?" Tanya Azam terkejut.