Aku menoleh ke belakang, mengikuti arah jari telunjuk Aulia. Benar saja, di dalam ruangan rahasia yang tak begitu luas ini, diletakkan sebuah cermin. Tidak besar, tidak kecil. Namun cukup untuk memuat pantulan dirimu dari kepala hingga kaki.
“Wow.” Alan terpana. “Ayo, coba kita lihat.”
Kami bertiga berjalan mendekat, seperti terhipnotis. Entah mengapa, cermin misterius itu seakan berkata, “Ayo, dekati aku. Temanilah aku, kalian akan kuajak untuk bersenang-senang.” Aku bahkan tidak bisa menarik tanganku sendiri untuk tidak menyentuh benda tersebut.
Namun, tiba-tiba ….
“Hei!” Sebuah suara yang mengagetkan, membuat kami menengok. “Kalian sedang apa di sana?”
Aku menghembuskan napas yang dari tadi kutahan saking tegangnya. Kupikir siapa.
“Bhumi?” Alan heran. “Sedang apa kamu di sini?”
Laki-laki yang kukenal sebagai teman sekelas Alan itu mengibaskan tangannya, lalu berjalan mendekat. “Tadi aku menanyakan pertanyaan yang sama padamu, Lan,” katanya. “Sedang apa kamu, kakakmu, dan … hei, kamu punya dua kakak perempuan?”
“Oh, maksudmu yang memakai rok terusan? Dia Kak Aulia, teman kakakku,” jelas Alan, memperkenalkan keduanya. Kemudian dia melanjutkan, “Oh ya, tak usah khawatir jika kamu tidak bisa membedakan mana Kak Aulia dan kakakku. Kak Aulia kan sudah jelas, yang memakai rok terusan dan berambut panjang. Kalau kakakku, perempuan atau laki-laki saja tidak jelas begitu penampilannya."
Aku akan membunuhnya nanti.
“Hei, sudahlah.” Aulia menenangkan. “Aku sudah tidak sabar melihat cermin itu, apakah yang ditulis di dalam buku silsilah keluarga Kagami itu benar atau tidak, aku penasaran!”
A-apa katanya?
“Silsilah keluarga Kagami?” ulang Bhumi, tampak penasaran. Aku pun meringis dengan gemas. “Memangnya, apa yang tertulis di situ, Kak?”
“Di situ tertulis bahwa di loteng tempat tinggal keluarga Kagami, terdapat sebuah cermin berkekuatan ajaib,” jawab Aulia antusias.
“Benarkah? Aku mau lihat!”
Bagus. Sekarang, dua orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi ada di sebuah ruangan rahasia di lotengku, yang bahkan aku baru menyadari keberadaannya!
Alan yang melihatku menghela napas panjang seperti orang frustasi, terkikik. “Sudahlah, Kak. Kamu juga pasti penasaran!”
Eh, dia benar juga sih.
Sementara Aulia dan Bhumi yang memperhatikan cermin itu seperti anak kecil yang baru pertama kali mengunjungi kebun binatang, aku lebih was-was dalam memperhatikan. Cermin ini … terlihat antik. Kaca berbentuk bundar dengan bingkai bundar pula, berhiaskan relief sulur tanaman. Walaupun ukurannya tidak begitu besar seperti cermin-cermin di film misteri yang pernah kutonton, namun aku tetap merasa … takut? Atau cemas?
Aku bahkan tidak berani menatap bayangan diriku pada cermin itu.