“Hahaha, te-tenang saja, aku akan membaca di sebelah sana, jadi aku tak akan mengganggumu. Se-selamat membaca,” lanjutku dengan senyum seadanya, kemudian segera menghampiri Aulia. Rasanya aku tidak ingin lagi berurusan dengan anak yang dingin dan mengerikan itu.
“Hei, kamu kemana saja? Lihatlah, aku menemukan beberapa buku sulap yang bagus,” kata Aulia begitu aku menghampirinya.
Aku mengulum senyum, lalu mengajaknya untuk memilih tempat di sudut perpustakaan untuk berdiskusi. Selain tidak mengganggu pengunjung lain, aku takut jika percakapan kami didengar orang luar.
“Apa kamu membawa buku silsilah itu?” tanyaku sembari menghempaskan badan pada kursi perpustakaan yang keras.
Aulia mengangguk, lalu duduk. Kemudian dia mengeluarkan buku tebal itu dari tasnya. “Dengar. Kupikir, semua ini—mulai dari buku silsilah ini, pesan di halaman paling belakang yang ditulis dengan bahasa Indonesia, sampai keberadaan cermin ajaib di lantai tiga rumahmu—berkaitan dengan orang berpraktek sihir.”
Mendengarnya, aku melongo. “Oh, Aul. Aku mengenalmu sebagai anak yang cerdas, berwawasan luas dan anti pada hal-hal yang berhubungan dengan fantasi ….”
Dia melengos, lalu melanjutkan, “Ya, biarpun aku tidak percaya dengan apa yang kuucapkan …. Tapi, sampai saat ini hanya itu yang dapat disimpulkan, bukan? Memangnya, menurutmu apa lagi?”
“Oh, astaga. Seharusnya—“
“Seharusnya, kamu lebih berhati-hati.”
Kontan, aku dan Aulia menengok ke arah sumber suara. Ibu perpustakaan tampak repot dengan buku-buku di pangkuannya, dengan gusar dia merapikan buku-buku itu pada rak paling bawah. Sementara, seorang anak laki-laki berdiri di sampingnya dengan wajah kesal.
“Sudahlah Bu, aku kan sudah meminta maaf,” katanya.
Aku berbicara pada Aulia dengan suara yang dipelankan, “Kamu kenal cowok itu?”
“Tidak. Aku baru melihat wajahnya di perpustakaan ini .... Mungkin, dia pengunjung baru.”