Aku tidak tahu pasti ada di mana. Gelap, sendirian .... Oh, hei, ini nyaman. Rasanya damai ….
Duk!
Dalam sekejap saja, perasaan damai itu digantikan dengan rasa sakit di kepala.
“Alan! Kamu ini … huh! Mengganggu saja!” Aku merutuk pada Alan yang kini terkikik, puas melihatku bangun tidur dengan cara konyol seperti itu. Menyebalkan sekali! Aku pun meringkuk di balik selimut.
“Ayolah Kak, cepat bangun! Sekarang sudah sore, lho.” Dia menarik selimutku. “Hari ini mama dinas keluar kota selama beberapa hari, dan papa ikut. Mereka berangkat sebentar lagi. Sedangkan acara ulang tahun Bhumi dimulai pada pukul tujuh.”
Acara ulang tahun Bhumi. Oh astaga, aku nyaris melupakan pertunjukkan sulap itu. Walaupun aku merasa sedikit cemas … ah, aku kan, sudah berlatih.
Setelah aku mandi dan bersiap-siap, kami turun ke ruang tamu menemui papa dan mama. Tampaknya mama sedang kerepotan saat ini, terlihat karena ia sibuk membereskan tumpukan kertas lalu memasukkannya dalam map seraya mengapit ponsel dengan bahunya.
“Wakarimashita. Arigatou gozaimasu ne, Yamashita-sensei. Hai, hai, yoroshiku onegaishimasu ….” Mama menatap kami setelah menutup telepon. “Halo, Sayang. Mama akan pergi untuk berkumpul dengan guru-guru bahasa asing tingkat provinsi selama tiga hari, dan kalian … hei, mau apa berpakaian rapi seperti itu?” Kedua tangannya memegang bahuku dan Alan.
“Ke pesta ulang tahun Bhumi, Ma,” jawab Alan riang. “Mama tahu tidak, nanti Kak Airi akan ….“
“Akan ikut! Bersama Aulia,” serobotku sebelum Alan melanjutkan perkataannya. Dengan tangan mencubit lengan Alan seperti ini, aku yakin dia tak akan berani mengatakan apapun.
Syukurlah, mama tidak menunjukkan wajah curiga sedikit pun. “Baiklah. Tapi ingat, ya, jangan pulang larut malam! Jangan merepotkan keluarga Bhumi di sana, maksimal pulanglah pukul sembilan.”
Kemudian, papa datang dengan dua koper besar di tangannya. “Ayo, Ma, kita berangkat!”
“Pak No tidak ikut?” tanyaku pada papa. Pak No adalah sopir pribadi keluarga kami.
Papa menjawab sambil meletakkan koper-kopernya di bagasi mobil. “Tentu tidak. Papa dan Mama akan berangkat berdua saja, dengan mobil. Hanya ke Jakarta, kok.” Dengan kedua tangan mengelus kepalaku dan Alan, papa mengulum senyum.
“Mama menyediakan banyak makanan kaleng untuk kalian, dan oh, untuk sarapan besok masih ada sup asparagus. Kalian bisa menghangatkannya. Ingat pesan Mama ya, jangan tidur terlalu larut!” Itulah pesan terakhir mama sebelum akhirnya mobil melaju. Aku dan Alan melambai pada mereka yang sudah pergi.
Kami berdua berpandangan.
Kompak, kami segera berlari ke dalam rumah, menaiki tangga hingga ke lantai tiga. Untunglah aku tidak terpeleset karena Alan tidak sabaran sekali.
Setelah membuka pintu rahasia, Alan bertanya, “Kita berangkat naik apa?”