Aku takut .... Aku akan dibunuh olehnya.
"Bodoh!"
Aku bukan anak yang bodoh.
"Kamu itu bodoh!"
Aku bodoh?
"Dasar bodoh!"
Apakah aku bodoh? Aku minta maaf.
"Begini aja kamu sakit? Dasar bodoh!"
Hentikan! Ini menyakitkan. Aku minta maaf. Aku bodoh.
Srek!
"Lihat! Luka sayatan ini bahkan tidak sebesar penderitaanku menahan pria psikopat itu."
Ah ... sakit! Aku minta maaf. Aku bodoh. Aku minta maaf. Hentikan! Tolong hentikan! Aku anak yang bodoh. Maafkan aku, Mama.
***
Butiran cair berwarna bening keluar deras dari pipi seorang anak lelaki. Kakinya menekuk. Tangannya menjalar memeluk dirinya sendiri yang menggeliat di lantai bak putri malu sedang menguncupkan daunnya. Tubuh mungilnya tak berhenti bergetar. Bagaikan mobil mogok yang dinyalakan di kala hujan, bergetar-getar, panas, dan tersapu dalam deraian air membasahi pinggiran kaca depan.
"Nael? Kamu kenapa? Kok kamu nangis?"
Seorang gadis kecil imut muncul di balik jendela gudang tempat Natanael terbaring. Sembari mengetuk-ngetuk jendela gudang, gadis kecil tersebut tak henti-henti memanggil nama Nael walau sekadar bertanya tentang keadaannya. Senyuman Nael mengembang, menghiasi kumpulan genangan air dengan sudut setengah lingkaran. Segera ia memakai kaosnya yang bercampur noda hitam pekat bekas lumuran darah.
“Laulie?” tanya Nael menghampirinya kemudian membuka jendela gudang besar berbentuk kaca dengan hiasan gorden berwarna abu-abu. Gadis kecil bernama Laulie itu tertawa, berlari sembari menarik tangan Nael keluar dari jendela kaca.
"Nael, kamu ingat, kan? hali ini kita main baleng, ya!"