Kagome-Kagome

Noura Publishing
Chapter #2

Kagome Kagome

Suasana seram menyeruak. Membuatku tak sabar ingin pergi dari vila tua ini sekarang juga. Aku, Aulia, Nafisah, Kharisa, dan Sher berkumpul di halaman belakang vila yang ditumbuhi banyak sekali rumput liar. Suasana agak temaram. Hanya remang-remang cahaya putih dari lampu neon ruang tengah yang menerangi halaman.

“Ayo, kita mulai sekarang. Kita tentukan dulu siapa yang jadi oni-nya,” tutur Kharisa.

Oni adalah pemain yang duduk di tengah-tengah. Pada saat lagu berhenti, oni harus menebak orang yang tepat berada di belakangnya. Begitulah permainan Kagome Kagome dari Jepang ini.

Kharisa mengedarkan pandangan. “Hmm, kayaknya kalau diundi lama lagi. Ya udah, aku aja yang memilih. Tang ting tung siapa yang beruntung!” Ketika mulut Kharisa berkata “tung”, jari telunjuk Kharisa menunjuk Aulia.

“Waaah, berarti Aulia yang jadi oni,” kata Nafisah.

“Oke, baiklah,” sahut Aulia sambil duduk di tengah-tengah.

Sher segera menutup mata Aulia dengan sehelai kain. Kami pun saling berpegangan tangan hingga membentuk sebuah lingkaran mengeliling Aulia.

“Sakura, kok, tangan kamu basah dan bergetar gitu, sih,” ucap Nafisah.

 

 

Aku menggigit bibirku dan menggeleng. Jujur, entah mengapa aku sangat takut. Kabarnya, kagome itu adalah lingkaran setan.

Tak lama, Kharisa memberi aba-aba. Tepat pada hitungan ketiga, kami bernyanyi sambil berputar.

Kagome Kagome

Kago no naka no tori wa

Itsu itsu deyaru yoake no ban ni

Tsuru to kame to subetta

Ushiro no shoumen dare

 

Selesai bernyanyi, kami berhenti. Aulia sang oni, beraksi. Dia mendesah dan menarik napas terlebih dahulu, sebelum menebak anak yang berada di belakangnya.

“Sher!” tebaknya.

Kami saling menatap. “Buka tutup matanya, Aulia. Nanti kamu tahu sendiri.”

Aulia segera membukanya. “Sakura rupanya! Aku salah!” ucap Aulia. “Lalu, kalau sang oni tak dapat menjawab dengan benar, bagaimana kelanjutannya?” sambung Aulia.

Kharisa menggeleng. “Aku tidak tahu.”

“Ka … kalau … hantu itu datang karena Aulia salah menebak gimana? Hiiy!” komentar Sher.

Aku semakin takut. Jantungku berdetak semakin cepat. “Tuh, kan. Apalagi … apalagi … kita tadi membentuk sebuah lingkaran seperti heksagram iluminati! Kita juga telah menyanyikan lagu misterius itu!” tambahku.

Tiba-tiba lampu redup di ruang tengah mati. Halaman menjadi benar-benar gelap. Seketika terdengar jeritan-jeritan anak kelas delapan SMP alias kami berlima.

Lihat selengkapnya