Suara teriakan pilu dari kamar mandi sebelah membuatku merasa takut. Ceklek! Aku membuka pintu dan segera lari menuju Aulia, Nafisah, Kharisa, dan Sher.
Tadi, kami memutuskan naik angkot, karena tak ada taksi lewat. Di angkot, hape Nafisah berbunyi terus. Padahal setelah dicek tidak ada telepon atau pesan yang masuk, tidak juga alarm. Saat angkot berbelok ke tempat pengisian bensin, kami berlima turun. Dan kau pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ya, ke toilet! Teriakan pilu tadi, kudengar saat aku di toilet. Asalnya dari kamar mandi di sebelahku.
Aku merasa lega karena sudah bebas dari suara teriakan pilu yang konyol itu. Kalau aku memikirkannya, pasti imajinasiku melesat jauh. Hiiiy.
“Haai! Gimana, nih? Ada kabar yang paling update tentang hape Nafisah enggak?” tanyaku.
“Belum. Sekarang malah diiringi getaran. Padahal, Nafisah enggak pernah mengaktifkan getaran kalau ada panggilan masuk,” jawab Kharisa.
“Terus, ada enggak nama penelepon atau pengirim SMS?”
Pandangan mata Nafisah yang semula menatap hape, kini beralih kepadaku. “Enggak ada,” jawabnya.
Drrrt! Hape Nafisah kembali bergetar, disusul ringtone lagu. Nafisah menatap hapenya, kemudian jarinya mengeklik layar. Nafisah agak menjauh dari kami berempat.
Beberapa menit kemudian, Nafisah kembali bergabung dengan kami. Bibirnya maju beberapa senti, mukanya ditekuk.
“Naf, kamu kenapa?” serbu Sher.
“Tadi, yang nelepon itu bundaku. Sekarang, Bunda dan Ayah pergi ke luar kota, membesuk Nenek. Kunci rumah dibawa Bunda,” jelas Nafisah.
“Yaah …!”
Rencananya, kami akan ke rumah Nafisah. Kalau kunci rumah dibawa bundanya, kami tak bisa masuk rumah. Gimana, dong?
“Kita bisa menginap di apartemen keluargaku. Mau enggak? Kebetulan dekat dari sini,” usul Nafisah.
Ucapan Nafisah membuat kami tersenyum.
“Naf, berarti yang tadi nelepon kamu berkali-kali, Bunda kamu?” Aulia membuka topik pembicaraan baru.
“Oh, iya. Aku baru inget. Pas tadi aku tanyakan, Bunda baru satu kali menelepon,” sahut Nafisah.
“Haah?!”
***
“Naf, kamar kamu di lantai berapa?”
Klik! Nafisah memencet tombol yang ada di pinggir lift. “Hmm … di lantai tiga belas,” jawab Nafisah.
Kami semua ber-ooh panjang.
Tak lama, pintu lift terbuka. Aku, Aulia, Nafisah, Kharisa, dan Sher langsung masuk. Untung saja lift kosong, jadi tidak berdesakan.
Sreeet! Pintu lift tertutup. Aku memencet angka 13. Lift naik sangat cepat.
“Aaaa …!” semua menjerit, gemanya memenuhi lift. Kami berlima sampai terduduk karena pusing. Tepat saat kami duduk, lift kembali normal. Namun, lampu lift mati. Spontan, kami saling berpegangan tangan. Keringat dingin bercucuran dari pelipisku.
Ini benar-benar gelap, batinku.
Lampu menyala lagi. Namun, kali ini lampu lift redup, tidak seterang tadi.
“Kagome ... kagome … kago no naka …,” terdengar suara nyanyian Aulia.
Bersamaan dengan itu, lampu kembali mati.
“Aulia, di ruangan gelap ini kamu masih sempat bernyanyi lagu seram itu? Konyol!” seruku kesal.
“Enggak, ih. Siapa lagi yang nyanyi,” jawab Aulia.
Saat Aulia menjawab, suara nyanyian itu masih terdengar, bahkan lebih keras lagi. Anehnya, suara itu mirip suara Aulia. Terdengar napas terengah-engah setelah nyanyian itu selesai. Lampu kembali menyala. Sekarang, sinar lampu benar-benar terang.
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan sebanyak tiga kali. Kami berlima berdiri, lalu melihat sekeliling.