Erlangen, Jerman 2023
Ada suatu kala segalanya menjadi sunyi. Suara-suara bising yang acap kali berkerumunan di dalam kepala, bisikan-bisikan yang merauk napas hingga mencekik mendadak lenyap. Segalanya terasa hening, semuanya terasa ringan, aku bisa bernapas layaknya manusia normal tanpa merasa asak. Oksigen yang seringkali kabur dari jangkauanku, sekarang mendekat, melebur di sekitarku. Sinar matahari yang berpendar menghangatkan, menenangkan. Sejauh mata bergulir, hanya nampak jalan setapak penuh batu bersama pohon-pohon di setiap sisinya. Hampir sepanjang jalan aku memijakkan kaki, pepohonan dan rerumputan terbentang menyelimuti tanah-tanah di bawahnya.
Berjalan menyusuri hutan di belakang rumah adalah satu-satunya yang dapat aku lakukan untuk kabur dari terjangan kebisingan di dalam kepalaku. Mencari sinar, melangkah hingga letih sampai otak ini tak sanggup untuk menarik sebuah pemikiran paling negatif untuk dicacah menjadi sebuah kemungkinan amat negatif yang belum tentu terjadi. Tidak pernah diriku ingin seperti ini, kadang kala otak ini bekerja di luar kekuasaan. Melalang buana terlalu jauh sampai-sampai aku sendiri tidak bisa menghentikannya dengan hanya berdiam diri. Aku harus berlari, berjalan, bergerak jauh hingga napas ini terengah-engah untuk bisa kembali menguasai isi pikiran ini.
Di dalam perjalanan langkah kaki yang menyusuri bebatuan dan tanah, ada kalanya aku tidak berhasil menahan pikiran-pikiran itu. Satu saat aku mengingat segala tragedi di dalam kehidupan yang sudah bergulir jauh dari sebelumnya. Perantauan lalu yang panjang, tak elok, tak aman, penuh oleh kail walaupun saat ini sudah baik. Namun, tragedi tetaplah tragedi, luka dari kail-kailnya masih membekas, membiru. Sebagian sudah membaik biarpun tak akan pernah seutuhnya sembuh.
Tragedi-tragedi itu berkelebat di dalam kepala seperti potongan film lawas, putih abu-abu dengan cepat, penuh tangis, gelak tawa, jeritan, luka, pilu, ketidakwarasan, nyaris mati, kegagalan, dan semua sentimen kehidupan yang bercampur menjadi satu kesatuan menciptakan diriku yang sekarang, yang lebih bijaksana, lebih baik dalam mengasihi diri sendiri. Tak jarang pula aku mengucap maaf pada diriku sendiri, sebab kengerian yang sudah aku lakukan pada diriku. Mengharapkan orang lain untuk meminta ampun hanyalah bualan semata, mereka akan meminta maaf jika mau dan tidak jika tak mau. Jadi, dari pada menunggu kenapa tak saja aku yang meminta maaf banyak-banyak kepada diriku sendiri karena terkadang tanpa sadar aku melukainya lebih kejam dari pada yang kukira.
Sudah cukup dengan bagaimana orang-orang terkasih, bahkan orang tua sendiri, melukaiku dengan bilah tajamnya yang tak kasat mata. Ucapan dan makian diatas namakan mendidik. Terima kasih atas segalanya. Lebih berat hidupku memikul sampah-sampah trauma yang dihasilkan oleh alasan paling suci, yaitu mendidik. Bukan menganggapnya salah. Namun, ketika mendidik tidak lagi didasari oleh rasa kasih, saling percaya, saling mendengar, dan saling berucap, maka apa itu sebenernya mendidik? Kala hanya satu orang menjadi korban ketidakpuasan orang tua atas hidup mereka, berangan-angan agar kelak besar nanti tidak hanya dapat membanggakan, tetapi menjadi sumber investasi orang tua.
Aku paham bahwa mereka sakit jiwanya atas trauma-trauma terdahulu yang tak disadari kehadirannya, jaman dulu, hidup dengan cukup saja sudah anugerah, tidak ada kesempatan untuk menelisik jiwa sendiri. Lambung kenyang, kantong gemuk, hati pun girang. Namun, aku pun sakit, aku pun sekali waktu tak tahan dengan kesadaranku atas penyakit jiwaku. Terlalu sadar katanya, berkelana terlampau jauh ke dalam jiwa. Sadar berarti harus mencari obatnya, mencari penyembuhnya. Itulah hal tersulit dari menyadari kehadiran si trauma karena butuh keberanian besar untuk menerima penyakit-penyakit tersebut, baru perlahan dapat penawarnya.
Jadi mari temani aku mengeksplorasi jiwa-jiwa terdalam. Masuk ke dalam alam bawah sadar dan berteman dengan masa lalu. Menjadi tabib untuk diri sendiri karena tidak ada satu pun makhluk hidup yang dapat masuk ke dalam jiwaku. Kutunjukkan kehidupanku di dalam potongan film putih abu-abu lawas dan perhatikan aku yang akan menemukan titik nyerinya. Akan kutunjukkan betapa luar biasanya penyakit-penyakit itu mempermak aku menjadi wanita elok jiwa dan raga seperti sekarang.
***
Jakarta, Indonesia 2011
Aku ingin pergi jauh, kabur dari perairan kawasanku terapung. Ingin menyelam ke perairan di belahan dunia lain di mana tiada seorang pun mengenalku, bahkan jika tidak menggunakan bahasa yang seragam denganku, aku akan lebih terbasuh hatinya dengan gembira. Dua pasang tangan yang selalu berusaha menggapaiku, tetapi kali ini tak bisa mereka menangkapku. Sudah kuputuskan bahwa inilah hidupku, kertas putih kosongku yang sudah sepantasnya digoreskan oleh diriku. Mungkin tak bisa hapus semua tinta-tinta kacau karya dua pasang tangan itu, tetapi akan kuciptakan karya indah di kertas putih lainnya, sebab kisahku belum usai.
Kabur yang jauh dari cengkraman orang tua, dari rumah yang tidak pernah memberikan rasa aman, hanya kekalutan yang disebarkan di segala penjuru rumah. Kuangkat kaki dari rumah ini, aku jauhkan diriku dari hiruk-pikuk destruktif yang terus disebarkan mami, segala kebencian yang tidak ada habisnya ditanamkan di dalam kepalaku, Teriakkan dan makian yang entah bagaimana terbentuknya. Tak ada maaf, tak ada hangat, tak ada sayang, tak ada senyum, tak ada pula riang, dan tak akan ku nanti sampai jiwa ini semakin melebur puing-puingnya.
Aku ingin memilih jalur akhir kehidupanku, menuliskan kisahku sendiri, bukan atas goresan siapa pun, hanya aku dan penaku. Ketenangan yang terka-terka keberadaannya, akan aku dapatkan dia. Bahagia yang pernah mampir ke dalam hidupku, akan aku jemput dia. Ingin kucari kausa-kausa nafasku di dunia ini, selain terkurung di dalam rumah yang retak pondasinya. Boleh jadi ada alasan lainnya.