Kail Ikan

Risa Chamdiah
Chapter #3

KAIL 2


Erlangen, Jerman 2023

Setelah jantung berhenti berdetak, otak akan aktif selama tujuh sampai sepuluh menit. Itu yang aku dengar dari orang-orang sekitarku. Pada menit-menit terakhir, kita akan menyaksikan sebuah film terbaik di dalam hidup kita, yaitu kilas balik hidup yang telah dilintasi. Namun, tidak semua momen dalam hidup akan ikut dalam potongan-potongan film ini, hanya perjalanan istimewa yang akan hadir. Momen terbahagia, memori masa kecil di mana segalanya terasa ringan, kenangan kecil yang menyenangkan hingga duka dan kenestapaan. Dan pada akhirnya kita akan sampai pada penghujung film, kita akan melihat pencapaian terbaik kita. 

Aku akan menciptakan film dengan pencapaian terbaik yang paling indah. Belum tepat waktunya untuk mati, sering kali terlintas harap untuk mati, tetapi tidak. Aku masih tidak ingin menyerah atas jiwa yang telat diberikan Tuhan, akan kuciptakan film terindah, aku akan mati sembari menyaksikan pencapaian terbaikku tanpa penyesalan, tanpa perandaian. Semua akan menjadi nyata pada saatnya kala semesta dan Tuhan percaya atas kesiapanku mendapatkan adegan terbaik di dalam film. 

Kail-kail akan ku izinkan untuk hadir sebagai bagian dari tempaan bagi diriku yang belum rampung ujiannya. Belum seelok sekarang, belum ahli dalam menganyam benang hidup. Menyerah bukan jawaban untuk diriku. Akan mati diriku pada akhirnya, pada waktunya dan akan kuciptakan film terhebat. 

***

Jakarta, Indonesia 2011

Jerman tak benar-benar mudah untuk dicapai, memang tak ada yang murah. Butuh pengorbanan atas segala sesuatunya. Tak ada cuma-cuma, hanya ada harga-harga. Dengan keyakinan terakhir, didasari hasrat dan iktikad, aku memulai perjalanan panjangku sebelum mengarungi lautan menuju Jerman, entah kail keberapa, tak peduli, hanya ingin pergi bagaimanapun caranya. 

Kisahku dimulai dengan mengikuti studiekolleg sebagai langkah untuk penyetaraan sebelum kuliah bersama dengan mempelajari bahasa Jerman. Satu tahun dijalani dengan ambisi yang tak habis walaupun mami masih menentang, aku tidak lagi peduli, tak lagi memasang telinga. Apapun jadinya, aku akan tetap angkat kaki dari tanah air. 

“Gimana? Masih kesulitan belajar bahasa Jerman?” tanya Sonya dari seberang telpon sana. 

Aku menghela napas lembut lalu berujar, “Ya begitu. Kalau dibilang susah ya sangat susah, namanya juga belajar bahasa baru, tapi gak apa-apa. Aku nyaman bisa jauh-jauh dari orang tua untuk sementara.

Sebab lokasinya yang jauh dari rumah, aku memutuskan untuk tinggal sementara di kos dekat studiekolleg. Niatnya memang agar lebih dekat saja dan tentu untuk menjauh dari rumah.

“Aku tahu kamu pasti bisa kok, Liz.” Sonya memang selalu percaya dengan seluruh mimpi-mimpiku, tidak pernah merendahkan, hanya terus membuatku semakin percaya diri dengan segala pilihan yang sudah ditetapkan olehku. 

Aku tidak bisa menahan kedua sudut bibirku yang spontan tertarik dan membentuk senyuman paling melegakan. “Thank you for always believing in me.”

Always.”

Lihat selengkapnya