Berlin, Jerman 2012
Asing adalah kata pertama yang tercetus di dalam otakku. Bahasanya yang terdengar parak di rungunya. Aku merasa semuanya jauh berbeda dari yang kupelajari pada awalnya. Segala halnya terasa mulai mengawang-ngawang di atas kepalaku. Aku tidak tahu apa saja yang harus aku lakukan, rencana-rencana yang sudah tersusun rapi mendadak tak kasat mata. Kaki ini berpijak kuat pada daratan bandara asing yang tak pernah kukenal. Aku mematung di antara langkah-langkah cepat di sekitarku. Sorotku jatuh pada jalanan bandara, orang-orang terlihat mengenal baik apa yang mereka lakukan, sementara aku merasa asing atas rencana-rencana terdahuluku. Merasa takut dengan apa yang terjadi selanjutnya, selepas diriku benar-benar keluar dari hiruk-piruk bandara ini, aku akan berjuang sendirian di negara ini. Jerman, negara impiannku untuk mengejar asa-asa dalam hidup. Tentu saja asa pertama adalah untuk pergi sejauh mungkin dari rumah, mencari sang tenang yang sudah lama tak bertamu ke dalam jiwanya. Hanya cemas yang betah menetap di dalamnya.
Negara ini adalah negara yang kuusahakan, aku hanya berharap kecewa tak benar-benar menjatuhkanku ke dalam jurang. Dalam perjalanan yang masih ayal ini, aku memperhatikan bangunan-bangunan di sekitarku, gedung-gedung modern berpadu dengan bagunan-bangunan bersejarah yang terlihat diasuh dengan baik. Pohon-pohon sebagai penyempurna lukisan-lukisan Tuhan ini. Kendaraan berlalu-lalang ditemani kendaraan umum yang belum pernah kulihat secara langsung, trem dengan jalur relnya yang bertetap pada jalanan, membelah kota dengan indahnya. Rasa-rasa khawatir yang tadinya berkuasa di dalam jiwa ini tanpa niat untuk berehat akhirnya hanyut sedikit dengan sedikit, digantikan kagum dan antusias.
Aku tutup pintu jiwaku untuk sejenak, aku butuh tenang untuk menjernihkan isi kepalaku yang teraduk-aduk jadi satu. Sekarang, tindakan pertama yang harus aku langsungkan adalah menghampiri rumah temanku untuk beristirahat sejenak sembari mencari-cari tempat lain untuk berteduh. Aku harus mendapatkannya sebelum masa magang di rumah sakit di mulai .
Tempat untuk berteduh memang terlalu sulit untuk didapatkan, apalagi yang pas di kantong. Keluargaku memang berada, tetapi mengirim anak ke negara pemilik mata uang yang kuat, membuat mereka memperhitungkan baik-baik biayanya. Hal ini tak lepas dari orang tuaku yang tampaknya mulai kesulitan membayar hutang-hutang sisa usahanya. Papi yang juga sudah mendekati masa pensiunnya. Ekonomi keluarga memang mulai menurun sejak beberapa waktu lalu walaupun tak begitu terlihat, papi dan mami juga tak ada niat untuk membahasnya kepadaku. Aku yang dari awal tidak pernah berbincang dengan mereka, hanya dapat menganggap semuanya baik saja, meskipun pada akhirnya semuanya benar-benar terlihat jelas di mataku bahwa keluarga ini perlahan-lahan turun dari singgasananya.
Awalnya keputusan untuk mundur sempat hadir di sela-sela pemikiranku, apalagi biaya yang mahal untuk mengambil pendidikan di Jerman, tetapi kehendak papi yang tahu-tahu semangat mendorongku untuk tetap pergi. Ketidaktahuanku atas segala sesuatu yang terjadi terkadang membuatku merasa bodoh, merasa durhaka, sebab tetap memaksa untuk pergi. Aku kira segala dukungan itu didasari oleh pemikiran realistis yang sudah diperhitungkan baik-baik. Aku salah dan kesalahan itu adalah awal dari puluhan kail yang menantiku di luar sana.
***
Aku memulai pencarian tempat tinggal beberapa kali melalui teman-temanku yang sudah bepergian lebih dulu, aku tetap tak bertemu yang cocok dari harganya. Untuk beberapa saat aku menetap tempat temanku, tidak lama karena aku pun tak enak hati memberatkannya. Temanku hanya tinggal di sebuah indekos dengan satu kamar berisi dua orang. Hadirnya aku di sini merepotkan temanku, Milla dan teman sekamarnya yang berasal dari Vietnam. Teman sekamarnya juga terlihat tidak nyaman dengan kehadiranku karena memang ruangan yang tidak begitu besar ini sudah sesak diisi dua orang mau tak mau ditambahkan lagi oleh kehadiranku. Terbayangkan betapa sesaknya..
Tiga hari setelah tiba di Jerman akhirnya aku mendapatkan tempat terlelap yang memiliki harga yang tidak menggerus dompetku. Tempat yang kudapatkan dari salah satu mahasiswa Indonesia yang aku sendiri tidak tahu namanya. Informasinya tersebar dari mulut ke mulut mahasiswa Indonesia yang sama-sama sedang mengejar asanya di sini.
“Aku ada tempat dari temanku. Dia baru aja nawarin tadi. Harganya murah dan pasti bisalah masuk di kantong kamu,” cetus Milla.
Aku sepintas menimbang-nimbang, tetapi masa magang yang semakin dekat mencekik akalku dan membuatku tergopoh-gopoh dalam mengambil keputusan.
“Aku gak perlu lihat. Langsung aku ambil. Pasti yang mau banyak, jadi aku gak mau banyak mikir. Tolong kasih tahu teman kamu ya kalau aku ambil tawarannya,” ujarku pada akhirnya.
Milla mengangguk dan tepat saat itu langsung mengabari temannya
Aku bertemu dengan tiga pria yang kuketahui akan satu rumah bersamaku. Beberapa jam lalu, usai Milla mengabari temannya dan setuju dengan jumlah uang yang dibayarkan, aku bergegas bersiap-siap untuk menetap di tempat tinggal yang baru. Aku sudah tahu sejak awal bahwa teman serumahku adalah tiga pria ini, tetapi aku tidak peduli lagi. Hanya harap-harap bahwa mereka semua adalah orang baik yang sama-sama berjuang di negara asing ini.
Aku mengulurkan tanganku yang terasa kebas dan dingin karena udara di luar sana. “Aku Eliza, panggil aja Liza. Thank you banget ya udah mau nerima aku jadi roommate kalian.”
Satu per satu dari mereka menyambut uluran tanganku dengan salaman hangat. Aku menghela napas tenang. Mereka dengan baik menerimaku sebagai kawan seperjuangan.
Salah satu dari mewakili lainnya untuk memperkenalkan diri kepadaku. “Aku Reno, Ini Fajar, dan satunya Nandyt,” sambutnya dengan senyum ramah.
“Semoga betah ya tinggal sama kita,” tambah Fajar yang berdiri di tengah dan lebih tinggi dari ketiganya.