Berlin, Jerman 2012
Air-air memenuhi ceruk hidungku, masuk lalu menjalar ke relung paru-paru. Nyeri, panas dan terbakar. Aku bergerak asal, berusaha menggapai daratan, berikhtiar untuk tetap bernyawa. Hanya ada permohonan pada Tuhan untuk tak mengenalkanku pada maut. Biarkan aku tetap bernapas, berbahagia. Segenap langgap kupentaskan pada air laut, tetapi dasar tak juga tercapai. Aku tak menjauh dari dasar, aku masih sama, berada dipertengahan antah berantah. Di antara hidup dan mati. Dasar bertalu-talu menarikku seakan memintaku untuk tetap di sana, mendesakku untuk jatuh ke dasar. Laut sepertinya terlampau menyukai kehadiranku sampai tidak ingin melepaskan. Perlahan-lahan tak ada lagi upaya diriku untuk menahan napas, kujauhkan segala gerakan dari tubuh ini. Seluruh oksigen sudah bersilih asinnya air laut. Aku sudah sampai pada akhir. Dingin, senyap, dan sendirian, bersemayam di antara hidup dan mati. Tubuhku melayang-layang bersama air-air. Kesunyian menentramkanku, panik-panik lambat laun lenyap. Aku mengambang tanpa berupaya. Pada kesempatan terakhirku untuk tetap menjaga kembar netra ini tak memejam, aku terbangun dari lelapku.
Aku termenung, mataku tak lepas dari awang-awang yang penuh asap. Kamarku lagi-lagi berasap. Apa yang dapat diharapkan dari kamar yang bersatu dengan dapur. Bulan-bulan sudah berlintas jauh dari sejak aku menginjakkan kaki di Jerman untuk pertama kali. Empat bulan sudah aku memulai magang di rumah sakit. Sama sekali tak ada yang berubah. Aku tetap serangga, tak terlihat, tak didengar, dan diacuhkan. Takut kian hari kian besar, mulut ini semakin tidak becus berbahasa Jerman. Aku gelisah bersentuhan dengan salah. Tak lagi-lagi dilihat seperti manusia dari planet lain kala pelafalan mudah menjadi salah ketika mulut dan lidah ini mulai bekerja.
Adakalanya aku hanya tak ingin melakukan apapun, aku tak ingin berangkat untuk magang, aku semata-mata ingin diam menatap langit-langit kamar yang sering berasap ini. Setiap hari sebelum berangkat magang, semuanya kuhabiskan untuk bersiap agar tidak tersayat kail teramat dalam.
Berkali-kali berucap, “Aku bisa. Aku bisa. Aku pasti bisa. Semuanya akan berlalu dan aku akan bahagia suatu saat nanti.” Semacam mantra yang kuteriakkan di dalam hati.
Dengan mantra itu, sekali tersayat, kail tak akan terlalu tajam, tak akan amat dalam lukanya dan masih bisa dipulihkan dengan lelap. Mimpi-mimpi yang berulang entah mengapa membuatku terlena dalam tidur, dalam dengkur. Mengambang di antara hidup dan mati di dalam air laut yang dinginnya membinasakan tubuh ini tanpa sadar menenangkan, menyamankan diri ini dari hidup.
“Liz! Mau ikut sarapan gak?” tanya Nandyt dari balik lemari.
Suara Nandyt menarikku jauh dari lamunan.
“Ikut!” jawabku, lantas bangkit dan menyembul dari balik lemari.
Fajar dan Reno sudah berangkat pagi-pagi tadi, menyisakanku dan Nandyt dengan santai menyantap makanan sisa tadi malam. Nasi, ayam, dan telur dadar menjadi santapan kami berdua dengan sekelumit gosong yang melukis sisi atas telurku dan Nandyt. Ayam yang kami santap tentu saja bukan hasil sukarela di antara kami untuk membelinya. Fajar membawanya sehabis ikut pesta perpisahan kawan sejawatnya yang berhasil menyelesaikan studi magister sekaligus mendapatkan pekerjaan yang lebih rupawan.
“Tadi asap-asap karena habis masak telur?” tanyaku pada Nandyt.
Nandyt tertawa kecil. “Iya tadi gosong karena beberapa kali ditinggal. Aku tadi sambil nugas jadi kurang fokus.”
Aku ikut tertawa kecil. Aku dan Nandyt sama-sama tak tahu mengapa hal sederhana ini terasa lucu untuk kami berdua. Terlampau penat membuat kami berdua kerap menertawakan hal-hal kecil, bahkan hal besar seperti masalah tetap kami tertawakan. Hidup saja sudah sulit jadi lebih baik ditertawakan sekalian agar tidak setengah-setengah dalam merasakan sebuah sentimen. Tragis yang ditertawakan dan bahagia yang ditangisi.
Aku menjalankan tugas yang sudah dibagikan tanpa banyak tanya, hanya harap tak ada yang salah dari yang kukerjakan. Mulai dari membantu lansia yang menyelesaikan urusannya di kamar mandi sampai mengganti seprai yang menguning karena air seni. Segala urusanku kulakukan, tidak banyak berbicara dengan anak magang lainnya, sebab aku tahu akan berujung ke mana. Aku akan dianggap tidak ada dan rasanya tidak menyenangkan. Sebaik mungkin aku berusaha menyendiri walau tak enak karena sifat dasarku yang memang suka berbincang-bincang. Namun, apa boleh buat, menjaga diri untuk tidak berpapasan dengan kail-kail itu lebih baik dari pada tiada hentinya tersayat.
Namun, sepertinya hari ini aku kurang beruntung. Seseorang mengajakku berbincang.