Entah mengapa, rasa iba terus menyelimuti hatiku. Wajah Nitya membuatku ingin menghiburnya. Aku berusaha mencari cara agar dia bisa tenang. Aku melakukan segala hal yang bisa kuusahakan, seperti melompat-lompat, memasang wajah lucu, bahkan bernyanyi dengan suara sumbang. Namun, tak satupun dari semua itu berhasil. Tangisnya justru semakin keras, membuatku semakin bingung.
Ketika kebingunganku mencapai puncak, pandanganku tertuju pada sebuah pohon besar yang menjulang rindang di tepi sawah. Di sebelahnya mengalir sungai kecil yang senantiasa memberi padi-padi rembesan air segar. Tanpa ragu sedikit pun, naluriku segera mengambil alih kendali. Aku meraih tangan Nitya dan kami berlari melintasi lahan hijau menuju pohon raksasa itu.
Saat kami berlari, angin kencang tiba-tiba menerpa kami. Topi yang dipakainya tak mampu bertahan dan terhempas oleh angin liar, bergabung dengan jerigen penuh minyak tanah yang tergeletak di antara padi yang terhampar. Aku melirik wajahnya, ekspresi cemas dan takutnya menguar. Meski begitu, nampaknya itu membuatku sedikit tersenyum, sebab suara paraunya sudah berhenti menangis.
Dalam perjalanan menuju kesana, langkah kami semakin cepat. Setiap hembusan angin, dedaunan pohon bergerak seakan memberikan tepuk tangan semangat untuk melanjutkan langkah. Suara gemericik air dari kejauhan juga ikut menyertai perjalanan kami, memberikan ketenangan di tengah kekacauan yang ada di hatinya.
Saat berada di bawah naungan pohon rindang itu, aku bisa merasakan aura tenang yang memancar dari sekeliling. Daun-daun hijau yang melingkupi langit seakan memberikan pelukan hangat. Suara angin yang mengalun di antara dedaunan terdengar seperti melodi menenangkan. Aku memandang Nitya, wajahnya yang sebelumnya penuh kecemasan kini tampak lebih lega. Meski begitu, masih terpancar rasa sakit dari sorot matanya.
“Nit, kenapa kamu menangis? Ada apa?” tanyaku dengan lembut, sambil mengajaknya duduk tanpa alas.
Namun, dia hanya diam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Meski begitu, aku tidak menyerah. Dengan hati-hati, aku mengeluarkan es puter dari dalam kresek yang kubawa dan menawarkannya padanya.
“Nitya, coba deh makan es puter ini,” ujarku sambil berharap dia mau terbuka.
Mendengar kata ‘es puter,’ matanya langsung berbinar. Tanpa ragu, dia meraih es puter itu dari tanganku dan mulai memakannya dengan antusias. Setiap suapan yang dia ambil, senyum kecil mulai terlihat di wajahnya, mengikis perlahan kesedihan yang menghinggapinya. Aku pun turut serta menikmati es puter itu.
Ketika es yang kumakan hampir habis, aku mencoba mengajaknya berbicara lagi. “Nitya, tahu nggak, aku juga suka es puter. Rasanya seger banget. Kalau kamu mau cerita, kamu mungkin bisa merasa seger juga, seperti makan es ini.”
Nitya mulai membuka hatinya dan berbagi ceritanya dengan penuh kepercayaan. Dia mengungkapkan keadaan rumahnya yang tidak menyenangkan, dengan konflik antara ibu dan ayah tirinya yang sering terjadi. Dia juga mengungkapkan tentang pengalaman buruknya ketika mencoba melarikan diri dengan bermain bersama temannya, hanya untuk mendapat perlakuan kasar dan ejekan dengan sebutan ‘Nityatim’. Mereka membercandai ayahnya yang telah meninggal dalam kecelakaan setahun yang lalu. Semua penderitaan itu membawanya ke tempat ini.
Aku mendengarkannya dengan sepenuh hati, memahami betapa beratnya beban yang harus Nitya pikul. Hatiku terenyuh mendengar ceritanya yang dipenuhi dengan kesedihan dan kesepian. Tanpa ragu, aku memeluknya erat, berusaha memberikan dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan.