Kevin mendekatiku dengan langkah hati-hati, sementara sinar matahari pagi yang hangat menyertai pertemuan kami. Dia, siswa pindahan dari Jakarta, berdiri di hadapanku. Sebagai ketua kelas, aku merasa punya tanggung jawab untuk membantunya beradaptasi dengan sekolah ini. Maka tadi, aku menjanjikannya tur singkat saat istirahat. Meskipun percakapan kami masih canggung dan minim, aku mencoba untuk meladeninya.
Saat berkeliling, aku dengan antusias menjelaskan segala hal kepada Kevin, mulai dari ruang guru hingga lokasi toilet. Aku berusaha menyampaikan penjelasan secara singkat agar tidak membosankan. Namun, Kevin tetap diam. Wajahnya ditekuk, seakan kehilangan minat. Rasa canggung membuatku merasa tidak nyaman, ingin kabur rasanya. Itulah yang kemudian mendorongku untuk segera membawa Kevin ke tempat terakhir, Aula. Aku berjalan cepat mendahuluinya, memberi petunjuk arah.
Untungnya, Aula pada saat itu sedang kosong. Aku segera masuk ke dalam dan di saat bersamaan mendengar derap langkahku menggema. Namun, ada yang aneh. Aku hanya mendengar langkahku saja, sedangkan punya Kevin ditelan bumi. Segera aku membalikkan pandangan ke belakang. Dan memang benar, dia tidak ada di sana. Aku memicingkan mata, mencari keberadaannya. Pencarianku terhenti ketika melihat Kevin di depan aula, terpaku.
Kevin berdiri di sana, terpesona oleh keindahan aula sekolah ini. Wajahnya memancarkan kekaguman yang sulit untuk disembunyikan. Setiap detail yang indah berhasil menarik perhatiannya, mulai dari lengkungan atap bergaya kuno hingga ukiran halus yang menghiasi jendela-jendela. Pandangannya menyapu desain yang rumit, seolah-olah dia tenggelam dalam dunianya sendiri. Tanpa sadar, jemarinya meraih salah satu ukiran, mengikuti setiap lekuk juga guratan yang ada.
Melihatnya seperti itu, aku merasa kalau ini saat yang tepat untuk memecahkan keheningan, mendapatkan perhatian dari orang yang sedari tadi mendiamkanku. Aku mendekatinya perlahan, dengan ekspresi yang penuh rasa ingin tahu. "Kev, lagi ngapain?" sapaku, mencoba bersikap santai.
Kevin tidak langsung menjawab, ia masih terpesona, suaranya terdengar hampir tidak percaya. "Wah, gue ga nyangka kalo sekolah ini sebagus ini."
Aku memberikan pukulan ringan di bahunya sambil tersenyum lebar, perhatiannya kini tertuju padaku. "Keren, kan? Oh iya, jangan sering-sering pake 'lo-gue'. Nanti dianggap ga sopan sama orang sini," celetukku, aku tahu sulit mengubah kebiasaan, tapi tidak semua orang bisa memakluminya.
Kevin menoleh ke arahku dan menjawab nasihatku dengan gurauan. "Terus, pakai 'aku-kamu' aja nih? Jangan bilang kalo lu suka sama gue ya?" Ejeknya sembari menutup mulutnya, seolah sedang kaget.