London. 20 Mei 2025.
Kemilau Laluna
Malam di London selalu dingin.
Pukul 22.00. Perutku terasa sangat sakit. Pasti karena terlalu banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan sampai aku lupa untuk mengisi perut.
"My Bubub Lalaaa, nih buat lo. Kerja keras boleh, tapi makan itu tetep wajib." Aku menoleh dan langsung mendapati sahabatku meletakkan sebungkus pie daging di atas mejaku. Cengiranku keluar begitu saja menatap wajah Zanitha yang terlihat muak dengan kebiasaanku yang selalu melupakan makan.
"Thank you, Baby ... Kamu memang terbaik!" Aku mengabaikan layar laptop sejenak, segera tertarik dengan makanan yang di bawanya.
"Ya ... ya ... Aku memang terbaik." Zanitha terlihat mengangguk-ngangguk kecil, menyanjung dirinya sendiri.
"Lo ngapain sih, kerja kebut-kebutan kayak gini? Sampai lupa makan, deadline juga masih lusa loh?" tanyanya dengan separuh duduk di meja kerjaku.
"Besok aku mau cuti. Mau pulang ke Indonesia." Aku menjawab dengan mulut sibuk mengunyah.
Pekerjaan kami adalah wartawan yang selalu dituntut untuk berkejaran dengan waktu. Apalagi aku sedang mengusahakan artikelku agar berhasil mendapatkan halaman utama minggu ini.
"Hah? Pulang? Kayak yang punya rumah aja, lo?" Jawabannya sungguh membuatku tak bisa menahan cengiran. Ucapan Zanitha sangatlah benar. Istilah pulang benar-benar tidak cocok untukku. Aku asli Indonesia, namun seingatku, aku tak memiliki rumah disana.
"Emang lo mau ngapain ke Indo?" tanyanya lagi dan kini menarik kursi milik rekan kerja, berpindah duduk di sampingku. Sembari menyilangkan kaki dan memperhatikan kukunya sendiri yang ia warnai dengan warna silver, warna yang terlalu nyentrik berpadu dengan kulit putihnya.
"Axel ngajakin liburan di sana, sekalian menghadiri undangan pemateri seminar kepenulisan." Zanitha hanya ber-oh panjang mendengar jawabanku.
Dan tepat sekali, setelah menyebut nama kekasihku, layar handphoneku menyala menampilkan nama Axel di atasnya.
"Hallo, sayang?" Suaranya bergema di telepon yang kubalas gumaman panjang karena mulutku belum selesai mengunyah.
"Tiketnya sudah aku beli. Barang-barang kamu juga udah di siapin sama Bibi, aku yang nyuruh tadi." Aku hampir tersedak mendengar ucapannya.
"Yaampun, aku bisa berkemas sendiri, Axel." Kudengar tawa renyahnya di seberang sana karena mendengar ucapanku.
"Besok pesawat take off jam 08.00, liat sekarang jam berapa? Jam 10! Dan kamu belum pulang dari kantor, Lala." Aku menggaruk pipiku yang tak gatal mendengar ucapannya yang setengah mengejek itu. Tabiatku yang selalu langsung tidur ketika pulang dari lembur di kantor pasti sangat dihafalnya. Bisa-bisa besok kami ketinggalan pesawat jika mengandalkan diriku sendiri.
"Oh iya, pienya sudah di makan?"
"Hah?" Aku sontak menatap pie daging di tanganku dan beralih menatap Zenitha yang masih sibuk dengan kukunya, berpura-pura tak memperhatikan. Spontan aku terkekeh dan menggeleng-geleng kecil.
"Udah, kok. Ini aku lagi makan. Makasih, Sayang."
"Your welcome. Aku tutup ya, kamu cepet pulang. Love you, Honey. "
"Love you more."
Aku meletakkan ponselku dan kembali menatap Zanitha dengan senyum datar yang kupaksakan.
"Ternyata kamu bukan yang terbaik," ucapku bersedekap dada, membuat Zanitha mengabaikan kukunya dan tertawa cekikikan menatapku.
"Pie itu mahal. Gue terlalu miskin buat beliin lo secara cuma-cuma, sayang duit gue mah." Dia menjulurkan lidahnya menyebalkan dan bangkit dari duduk, ngeluyur pergi dengan suara cekikikannya yang masih terdengar meskipun orangnya sudah tak terlihat.