Januari 2015
Arkael Luminus
Aku berlari sekencang mungkin.
Di belakangku seekor anjing milik tetangga mengejar buas, tak bisa kutahan teriakan panikku menghadapi hal mengerikan seperti ini. Dan parahnya, teman-temanku yang selamat dari kejaran anjing itu justru tertawa terbahak melihat penderitaanku.
"Kak!! Kakaaaaaak!!! Tolong!!" Aku berteriak-teriak memanggil kakakku, meskipun orangnya belum terlihat keberadaannya.
Anjing itu masih mengejar sampai ke depan rumahku.
"Syuuhhh! syuuhhh!!" Kak Kemilau membuka pintu besi, segera menarikku masuk dan mengunci kembali pintunya. Tangannya mengibas, mengusir anjing itu yang masih menggonggong di depan pintu gerbang rumah kami.
Saat itu umurku masih 7 tahun, kelas 1 SD. Menangis sesenggukan sembari memeluk Kak Kemilau erat-erat.
Kakakku hampir menyemburkan tawanya, namun karena tak tega melihatku yang sangat ketakutan ia balas memelukku dan mengusap kepalaku lembut.
"Udah dong ... Kan kamu cowok. Cowok itu harus berani, nggak boleh nangis. Nanti waktu besar siapa yang lindungin Kakak kalo kamu penakut kayak gini? " Demi mendengar ucapan kakakku, aku menghentikan tangis dan menatapnya penuh keyakinan.
"Aku nggak takut, kok." Kakakku akhirnya melepaskan tawanya. Apalagi melihat penampilan burukku. Mata sembab, baju berantakan, rambut kusut. Sungguh perpaduan yang sangat mengenaskan.
"Tapi nangis?" Kak Kemilau mencubit hidungku.
Aku segera menghapus bersih airmataku. Jiwa jagoanku sedikit tersentil menyadari aku baru saja menangis sesenggukan karena seekor anjing.
"Ini, udah nggak nangis. Aku pasti jadi cowok pemberani, Kak. Janji deh nggak nangis lagi, tadi kaget aja," Aku berucap yakin dengan tersendat-sendat, sok berani padahal rasa takutnya masih berasa sampai sekarang.
Kakakku terkekeh kecil, mengiyakan saja apapun yang kuucapkan.
Tangannya merangkulku masuk rumah, saat itulah terdengar suara Ibu yang sedang marah-marah. Hal yang hampir setiap hari terjadi di rumah ini.
"Kamu itu perempuan, Ana." Suara lembut ayah terdengar sedang berdebat dengan Ibu.
"Terus kenapa? Aku kayak gini kan biar kita kaya! Memangnya cuma laki-laki aja yang boleh judi? Ha??" Saat itu aku mengernyit tak paham mendengar ucapan Ibuku.
"Kamu nggak kasihan sama anak-anak? Cukup, Ana! Cukup menghabiskan uang untuk hal haram seperti ini."
Kurasakan tangan Kak Kemilau yang menggenggamku semakin mengerat.
"Ibu itu kenapa sih, Kak?" Aku masih kecil, dan tentu aku penasaran kenapa ibu dan ayah terlalu sering bertengkar. Kak Kemilau tidak menjawabku, dia justru bergegas menarik tanganku menuju kamar.
"Sekarang kamu mandi, ewww ini rambut udah lepek banget. Baru main bola, ya?" Kakakku menyentil ujung rambutku yang basah oleh keringat.
"Memangnya Ibu sama Ayah itu bahas apa sih, Kak? Kok aku nggak boleh denger?" Aku kesal. Meskipun aku masih kecil, aku tahu kakakku menarikku ke kamar agar tak mendengarkan percakapan kedua orang tua kami.
"Ssstttt." Kakakku tersenyum kecil.
"Kamu percaya aja, ya. Ini salah satu cara Kakak buat lindungin kamu. Nanti kalau udah besar, kamu pasti paham. Sekarang kamu nikmatin aja masa kanak-kanak kamu, nggak usah pikirin hal lain. Oke?" ucapnya lembut dan tersenyum sembari mengangkat jempolnya.
Aku tahu, sekarang bukan saatnya aku paham apa yang terjadi setiap hari di rumah kami antara Ayah dan Ibu. Jadi aku ikut tersenyum lebar, membalas ucapan Kak Kemilau dengan mengacungkan jempolku kearahnya.
"Dah, sana mandi. Bauuu."
"Enak ajaaa, aku wangi tauuuk."
Aku menjulurkan lidah sebal. Beranjak mengambil handuk dan ngeluyur pergi ke kamar mandi.
Saat itu, setelah aku menghilang di balik pintu kamar mandi, tanpa sepengetahuanku tubuh Kak Kemilau tak lagi berdiri tegak seperti saat di hadapanku. Ia terduduk bersandar di pintu, mendengarkan keributan yang terjadi di luar kamar dengan helaan napas lelah.