Januari 2019
Arkael Luminus
Sebenarnya, sejak kecil aku sudah merasakan perlakuan berbeda ibuku terhadap kakakku.
Ibu selalu marah-marah setiap hari, kadang tanpa alasan yang jelas. Namun ia tak pernah sekalipun kasar terhadapku.
Berbeda lagi dengan kakakku. Kak Kemilau, hampir setiap hari dia mendapat perlakuan kasar dari ibu.
Sesepele telat membersihkan rumah, kakakku pasti mendapat kemarahan ibu. Atau apapun yang dilakukannya tidak sesuai dengan kemauan ibu, tongkat rotan bahkan bisa melayang ke lengan kakakku.
“Kamu itu sudah besar, Kemilau! Masak sup saja tidak ada rasa?! Dapur sampai berantakan seperti ini! Bersihkan!” Hari ini ayah belum pulang, kak Kemilau masih memakai seragam putih abunya. Langsung mendapat kemarahan ibu karena gagal memasak sesuai dengan keinginan lidah ibu. Mangkuk sup diatas meja menjadi pelampiasan, melayang dan jatuh mengenai kaki kak Kemilau. Pecah seketika.
“Kakak!!” Aku yang semula membisu di ambang pintu berlari panik ke arahnya, berlutut menatap kakinya yang lebam dan tergores. Kuah sup yang panas tentu sangat menyakitinya.
Namun kakakku hanya diam. Menangis tanpa suara sembari menatapku yang berusaha membersihkan kuah sup yang mengotori kakinya.
“Heh! Kamu anak kecil kenapa ikut-ikutan? Masuk kamar!” Ibuku beralih memarahiku.
“Gamau!!” Aku balik berteriak ke arah ibu, yang hanya dibalas tatapan lelah olehnya. Aku menatap ibu dengan heran, kenapa selalu seperti ini sikapnya terhadap Kak Kemilau.
“Sudah, Kael. Kakak bisa sendiri, nggak sakit, kok.” Dan kulihat, kakakku justru tersenyum kearahku.
Ia tak pernah sekalipun memberiku tatapan sedih. Ia selalu tersenyum bagaimanapun keadaan membuatnya kesakitan. Dan hal itu justru membuat hatiku sangat sakit melihatnya.
Aku tak pernah tahu, apa alasan ibuku bersikap berbeda terhadap dua anaknya.
Tak pernah tahu, sampai beberapa hari kemudian aku menemukan jawabannya.
Yaitu setelah datangnya hari terburuk bagi keluarga kami.
Setelah kematian ayah.
Ayah sangat berbeda dengan ibu. Ia sangat lembut kepada kami. Sejatinya ayah pasti juga lelah dengan sikap ibu yang pemarah dan sering menghabiskan uangnya hanya untuk melakukan hal haram seperti berjudi. Namun ayah memilih bertahan demi kami berdua. Ayah tak pernah melihat perlakuan kasar ibu terhadap Kak Kemilau karena ibu selalu melakukannya ketika ayah tidak berada di rumah. Namun ayah pasti tahu, dia selalu menangis jika mendapati luka di tubuh Kak Kemilau dan berakhir bertengkar dengan ibu.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian kuah sup, ayah libur kerja. Kak Kemilau memintanya untuk diajari motor.
Ayah tentu menuruti kemauannya dengan senang, karena kak kemilau sudah besar dan sebentar lagi pasti bisa memiliki kartu SIM.
Sore hari, aku ikut melihat ayah yang mengajari motor kak kemilau di jalan gang rumah kami.
Sampai Kak Kemilau bisa mengendarai sendiri tanpa pegangan dari ayah.
“Jangan sampe jalan raya dulu!!” beberapa saat kemudian, tiba-tiba ayah berteriak ketika Kak Kemilau tak bisa mengendalikan laju motor dan melaju keluar gang menuju jalan raya.
“Ayah!!! Ini gimana!!”
Ayah berlari panik, mengejar laju motor Kak kemilau yang tak terkendali. Aku ikut berlari panik di belakangnya.
“Rem, Mila! Rem!!!”
“Ayah!!!!!” Kak Kemilau serampangan menarik rem dan gas secara bersamaan. Jalanan cukup ramai saat itu, dan Kak Kemilau tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan, sedangkan ada sebuah mobil truk melaju kencang kearahnya.
“KAK MILAA!!!!” Aku berteriak dengan kencang.
“AYAAHHH!!!” Teriakan Kak Kemilau tak kalah kencang.
Sekian detik sebelum motor Kak Kemilau tertabrak truk, ayah datang mendorong kuat-kuat motor Kak Kemilau sampai jatuh di seberang jalan. Kak Kemilau berhasil selamat, meskipun kepalanya berdarah karena terbentur trotoar.
Namun sebagai gantinya, ayah merelakan tubuhnya terlindas truk demi menyelamatkan anak perempuannya.
Aku mematung beberapa saat, kehilangan suaraku sendiri. Mataku membelalak, tak ingin percaya kalau kejadian yang terjadi tepat di depan mataku ini adalah hal yang nyata.
Namun semuanya nyata. Kak Kemilau tak sadarkan diri, sedangkan aku seperti kehilangan diriku sendiri.
Ayah benar-benar meninggalkan kami saat itu juga.
Kami sangat terpukul. Ibu bahkan nyaris mencekik Kak Kemilau saat di rumah sakit, padahal Kak Kemilau baru sadar dari pingsan dan tertohok mengetahui ayah tak bisa di selamatkan.
Rumah kami sudah retak sedari dulu. Dan kepergian ayah membuat rumah kami menjadi hancur lebur.
Aku kira, kepergian ayah adalah puncak dari kesakitan kami. Ternyata, hari-hari setelah ayah pergi lebih menyakitkan lagi.