Stasiun Gubeng
“Kereta api kelas ekonomi jurusan Jakarta telah tiba. Para penumpang yang telah memiliki tiket, harap segera masuk ke dalam kereta api dengan tertib.”
Informasi itu membuat Adi tersadar dari lamunan. Subuh ini, dia duduk di salah satu peron, mengenakan pakaian sederhana dengan motif batik yang sering melekat di tubuhnya. Adi adalah lelaki berperawakan sedang, kulit agak kecokelatan, dan memiliki rambut hitam dengan gaya poni miring yang khas. Punggungnya dia bebani dengan satu ransel besar. Matanya menatap lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Terselip perasaan berat di relung hatinya yang paling dalam. Kenangan menghantuinya, membuatnya bimbang sesaat. Entah kenapa, perasaannya menjadi tidak menentu ketika keberangkatannya ke Jakarta tinggal hitungan menit saja.
Dia berjuang keras menepis rasa yang berkecamuk di dadanya dan terus berusaha melawan batin yang seolah sedang berperang hebat menentukan pilihan antara pergi ke Jakarta atau kembali ke rumah. Terbayang wajah Ibu yang sangat dia cintai. Hati kecilnya berkata, Ibu tentu sangat sedih ketika mengetahui kepergiannya dan menemukan surat yang sengaja dia selipkan di dalam lemari pakaiannya sendiri.
Para penumpang berdesakan masuk ke dalam kereta api. Adi harus cepat membuat keputusan, sebelum masinis membawa kereta api itu ke Jakarta. Adi memaksakan dirinya bangkit dari kursi peron, kemudian berlari-lari kecil menuju pintu kereta api yang sudah semakin ramai. Baru saja Adi duduk, seorang perempuan berusia senja masuk ke dalam kereta api dan berdiri tepat di samping tempat duduk Adi. Merasa iba, Adi berdiri dan menyilakan perempuan tua itu duduk di kursinya.
Adi merasakan roda kereta api mulai berputar, melaju perlahan hingga semakin kencang. Tatapan Adi lurus ke depan, seakan menembus dinding baja kereta api. Tidak pernah sedikit pun Adi mengalihkan pandangannya. Hingga Adi menyadari, bayangan Kota Surabaya sedikit demi sedikit telah hilang dari pandangannya, seiring dengan telah hilangnya perasaan berkecamuk dalam dadanya yang sempat muncul karena cintanya yang besar kepada sang ibunda.
Adi memejamkan mata sejenak. Peristiwa kegagalan yang harus dihadapinya masih terpahat di dalam batinnya. Kegagalan itu juga yang mendorong Adi nekat kabur ke Jakarta. Untuk mengurangi perasaan bersalah kepada ibunya, Adi berusaha meyakinkan dirinya bahwa kepergiannya hanyalah sementara, demi tercapainya cita-cita, masa depan yang akan dia perjuangkan.
Adi memang tidak tahu, apa yang akan dia hadapi nanti di Jakarta. Namun, dia mencoba terus meyakinkan dirinya bahwa kelak dia akan berhasil dan sekaligus juga bisa membahagiakan ibunya.
Mata Adi melirik ke arah perempuan tua yang duduk di kursi Adi. Adi mengembuskan napas panjang. Wajah orang-orang yang dicintainya terbayang dan seolah melekat erat pada bola matanya. Wajah ibunya dalam kebaya merah muda dan wajah Ari, saudara kembarnya yang mengenakan kaus putih yang sama-sama mereka punya. Terbayang pula kegiatan sarapan terakhir Adi bersama Ibu dan Ari sebelum berangkat ke Jakarta.
Langit biru berhias cahaya mentari pagi berwarna kuning keemasan. Pagi yang cerah dan hangat. Ari Witjaksono, kembaran Adi yang memiliki postur tubuh sedikit lebih tinggi, kulit yang lebih kecokelatan dan perawakan sedikit lebih besar telah siap untuk berangkat ke kampusnya. Adi sedang menyapu lantai dan Bu Martinah sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Adi, Ari, ayo makan dulu,” ajak Bu Martinah.
Bu Martinah adalah sosok ibu yang sangat bijaksana, wanita yang paling dibanggakan dalam hidup Adi, dan selalu menjadi pendorong Adi dalam segala hal. Beliau pendengar dan sekaligus pemberi nasihat yang luar biasa. Ibu adalah tempat Adi mencurahkan segala isi hatinya dalam keadaan apa pun, termasuk saat Adi gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Bima Sakti kemarin.
Sementara, di mata Adi, Ari adalah sosok yang selalu menjadi motivator baginya. Adi dan Ari selalu berlomba dalam menggapai prestasi di sekolah. Meski demikian, Adi tidak pernah menganggap Ari sebagai saingan, begitu pula sebaliknya. Prestasi yang sama-sama mereka kejar justru menjadi bagian dari kekompakan mereka yang tak pernah pudar, sejak masa kanak-kanak sampai sekarang setelah mereka remaja.
Kekecewaan Adi tidak dapat dibendung tatkala dia dinyatakan tidak lulus ujian SIPENMARU Fakultas Kedokteran Universitas Bima Sakti Surabaya. Pernyataan itu diumumkan lewat sebuah surat yang diterima Adi melalui pos beberapa minggu yang lalu. Padahal, menjadi dokter adalah cita-cita Adi, begitu pula dengan Ari. Adi tidak habis pikir, mengingat nilai-nilainya di sekolah selalu hampir sama dengan Ari. Kenyataannya, Ari bisa lulus, sementara dia tidak.
Meskipun demikian, dia tetap berusaha untuk tegar dan menyembunyikan kepedihannya atas kegagalan itu. Di hadapan ibunya, Ari, dan siapa pun, Adi tetap tersenyum dan bersikap ramah. Adi tetap Adi yang seperti biasanya, senang bernyanyi dan bersenda gurau.
Adi mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari mencuci baju, mengepel lantai, mencuci piring dan sebagainya, agar dia semakin tidak merasa menjadi anak yang tidak berguna. Namun, naluri seorang ibu tidak dapat dipungkiri. Bu Martinah tahu benar sifat dan isi hati Adi sehingga dia selalu berusaha untuk menghibur dan memberikan dorongan kepada Adi agar mau mencoba kembali mengikuti ujian SIPENMARU, seleksi penerimaan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran tahun depan.
“Ari, gimana kuliahmu? Pasti sudah punya banyak teman baru, ya?”