Hamparan tanah gersang dan tandus menjadi pemandangan di samping kiri dan kanan rel kereta api. Jajaran rumah-rumah pemukiman kecil dan padat penduduk, seakan menjadi isyarat tingginya angka ketidaksetaraan taraf hidup di kota itu. Sekarang, Jakarta telah ada di depan mata. Adi melangkahkan kakinya turun dari kereta api. Kedatangannya disambut oleh para calo sopir taksi yang berebut dan agak memaksa Adi untuk memakai jasa antar yang mereka tawarkan. Adi menghela napas panjang. Batinnya nelangsa. Baru hari pertama tiba di Jakarta saja, dia sudah harus menyaksikan pemandangan yang menunjukkan betapa sulitnya hidup di Jakarta. Apalagi, jika tidak memiliki bekal yang cukup. Orang-orang seolah berlomba-lomba mendapatkan nominal demi sesuap nasi dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi.
“Taksi, Mas. Mau ke mana?” tegur salah seorang calo.
“Tidak, Mas. Makasih,” jawab Adi singkat sembari mempercepat langkahnya.
“Naik taksi saya saja, Mas.” Calo yang lain menghampiri Adi.
“Tidak, Mas. Saya mau naik bus. Makasih.”
Adi tidak mau memanjakan diri dengan membiarkan uangnya habis termakan ongkos taksi. Prihatin dan hemat menjadi dua simbol utama yang membentengi hidupnya. Bekal uang saku yang dibawanya hanya sedikit. Mau tidak mau, dia harus merelakan diri berdesakan kembali di dalam bus kota yang akan membawanya ke tempat tujuan. Adi mengeluarkan kertas kecil dari kantong bajunya. Jalan Angkasa, Senen, Jakarta Pusat. Adi berusaha menghafal alamat yang tertulis di kertas itu. Alamat itu dia dapatkan dari seorang kenalannya, Mas Tirta. Mereka saling mengenal pada perjalanan pertama Adi ke Jakarta sebelumnya.
Niat Adi, dia akan menumpang tidur di rumah Mas Tirta untuk sementara waktu, sampai dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang memadai.
Adi berpegangan di kursinya kuat-kuat. Sopir bus yang ditumpanginya menjalankan kendaraannya dengan sembrono. Bisa dikatakan, sopir itu seperti orang yang sedang dilanda amarah. Lampu merah diterobos, bahkan tikungan pun dilewati dengan kecepatan tinggi. Bayangkan, apa jadinya jika ada orang atau mobil lain yang tiba-tiba melintas di tikungan itu dengan kecepatan tinggi pula. Pantas saja angka kecelakaan di kota ini sangat tinggi, hal ini erat kaitannya dengan perilaku pengemudi kendaraan bermotor itu sendiri. Adi bersyukur karena jarak Stasiun Gambir dengan alamat yang dituju tidak terlalu jauh. Sebentar lagi, Adi bisa terlepas dari maut yang seolah mengintainya selama masih berada di dalam bus itu.
Adi berjalan di bawah teriknya sinar mentari. Sangat menyengat. Berkali-kali Adi harus menyeka keringat yang mengalir di wajahnya. Debu jalanan dan asap hitam kendaraan bermotor, menjadi kosmetik alami yang melekat pada wajah dan tubuh Adi. Adi menghampiri beberapa orang untuk menanyakan alamat yang tertera di kertas kecilnya. Kebanyakan dari mereka hanya menggeleng. Entah karena mereka benar-benar tidak tahu atau karena enggan menanggapi Adi yang berpakaian lusuh dan hanya berjalan kaki. Adi sempat melihat orang yang sebelumnya Adi tanya menanggapi dengan semringah ketika ada seorang lelaki yang mengendarai mobil mengilap yang juga menanyakan alamat. Miris hati Adi. Diskriminasi yang kuat di Ibu Kota?
Akhirnya, Adi menemukan seseorang yang baik hati. Seorang lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai pedagang minuman ringan yang meletakkan barang dagangannya di bibir trotoar. Dengan lengkap lelaki itu memberikan petunjuk kepada Adi, arah jalan yang harus Adi lalui hingga sampai ke alamat itu.
Jalan Angkasa. Papan nama terpasang di depan sebuah gang kecil.
“Alhamdulillah,” gumam Adi, bicara kepada dirinya sendiri.
Adi masuk ke gang itu. Lengang dan sepi. Mungkin orang-orang sedang menikmati siang mereka di dalam rumah dengan mimpi di siang bolong. Mimpi manis yang tidak akan pernah terwujud dan hanya akan berakhir di balik tembok kamar ketika mereka membuka mata. Adi melewati sebuah tikungan dan menemukan alamat rumah yang dia cari. Adi terpana sesaat. Dipandanginya rumah itu. Sebuah rumah sederhana yang mungkin hanya cukup untuk satu keluarga tanpa anak. Niat Adi untuk menginap di rumah Mas Tirta sempat kandas.
“Ah.” Adi menepis pikiran itu. Tidak ada salahnya mencoba. Hati kecil Adi memberikan dorongan. Adi mengetuk pintu pelan-pelan, agar tidak mengejutkan penghuni rumah. Ketukan pertama dan kedua, Adi tidak mendengar tanda-tanda adanya seseorang yang akan membukakan pintu. Mungkin Mas Tirta sedang keluar rumah. Adi mencoba mengetuknya kembali. Pada ketukan ketiga, barulah terdengar suara orang melangkah dari dalam rumah, semakin mendekat. Pintu terbuka perlahan. Adi terkejut karena laki-laki yang membukakan pintu bukanlah Mas Tirta yang dia kenal. Adi menyangka telah salah alamat.
“Sore, Mas. Apa betul ini rumah Mas Tirta?” tanya Adi. Tersenyum dan membungkukkan sedikit punggungnya, tanda penghormatan. Adi berusaha menutupi rasa gelisahnya, meski perasaan takut kalau dia benar-benar salah alamat masih terus bersemayam dalam benaknya.
“Iya, betul. Saya Dimas, kakaknya Tirta. Maaf, Adik siapa, ya?” jawabnya, mengerutkan kening.
Lega hati Adi mendengarnya. Ternyata, Mas Tirta memang tinggal di rumah ini.
“Saya Adi, Mas. Temannya Mas Tirta. Mas Tirta ada?”
“Oh, ada. Mari, silakan masuk, Dik Adi. Sebentar, saya panggilkan Tirta.”
Adi melangkah masuk ke dalam rumah itu. Matanya terperangah. Dia tidak menyangka, penataan rumah itu cukup menawan. Matanya berkeliling menatap beberapa lukisan abstrak yang menghiasi dinding. Lukisan sederhana, tetapi bernilai seni tinggi. Di sudut ruangan, berdiri sebuah meja hitam yang di atasnya terpampang beberapa patung tokoh-tokoh terkemuka di dunia, seperti Abraham Lincoln, Bung Karno, Mahatma Gandhi, dan lain-lain. Ruang tamu diberi sekat sebuah lemari kaca dua pintu warna senada dengan meja sudut, di dalam lemari itu tersusun rapi buku-buku tebal, seperti sebuah perpustakaan mini. Adi kagum dan merasa bersalah atas perasaannya sebelum masuk ke rumah itu. Rumah yang dia kira sederhana dari luar, ternyata isinya menunjukkan kalau si pemilik rumah memiliki selera dan intelektualitas yang cukup tinggi.
“Ehm ....”