Cewek berambut sebahu, tubuh yang mungil, serta senyuman manis yang selalu menghiasi wajahnya ketika diluar rumah. Jihan adalah cewek periang. meski begitu, Jihan tidak terlalu punya banyak teman. Hanya satu teman yang dekat dengannya, yaitu Vania. Mereka berteman sejak kelas dua SMP. Vania adalah murid pindahan dari kota Semarang. Cewek itu terpaksa harus pindah sekolah—mengikuti pekerjaan ayahnya yang juga harus pindah ke ibukota. Jihan dan Vania juga berada di satu sekolah dan juga kelas yang sama. Layaknya sepasang kekasih, mereka berdua selalu terlihat bersama. Jika satu tidak ada, pasti teman-teman sekolah yang lain akan bertanya. Ada yang kurang jika Jihan dan Vania tidak bersama.
Seragam putih abu-abu. Masa-masa indah anak SMK. Kata orang, di bangku SMK atau SMA ... kamu bisa mendapat teman, sahabat, dan bahkan musuh sejati. Semuanya sangat berkesan, tidak akan mudah dilupakan.
Jihan membuka pintu mobil, ia mengucapkan terima kasih kepada Vania sebelum kakinya melangkah turun. Hari ini Vano tidak menjemputnya, Jihan pun harus pulang bersama Vania karena sudah terlalu lama menunggu kakaknya yang tak kunjung datang. Jihan melambaikan tangan saat mobil yang biasa menjemput Vania itu berlalu dari hadapannya.
Senyuman dari mama menyambut Jihan. “Kok, terlambat?” mama bertanya.
Jihan mengerucutkan bibirnya, menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. “Kak Vano nggak jemput aku lagi, Ma.” Malas. Jihan sungguh malas membahas tentang kakaknya yang selalu terlambat menjemputnya. “Kak Vano juga nggak WA kalau telat atau nggak bisa jemput.” Imbuhnya.
Mama menggelengkan kepalanya. Putranya selalu saja seperti itu. Jika sudah begitu, dapat dipastikan ... akan ada keributan saat Vano pulang nanti. Sebuah protes dari Jihan, dan sebuah ejekan dari Vano. Tidak ada yang mau mengalah. Jika sudah seperti itu, mama akan masuk ke kamar, mendengarkan keributan kedua anaknya. Meski lelah dan kesal, mama bersyukur masih bisa mendengar candaan dan pertengkaran anak-anaknya. Rasa kasih sayang selalu memenuhi seisi rumah.
Menyambar tas, Jihan beranjak masuk ke kamarnya. Ia ingin tidur, melepaskan rasa lelahnya. Bukan lelah karena sekolah, tapi karena kakaknya, Vano!
***
Malam ini, rumah begitu tenang. Tidak ada teriakan dan tangisan Jihan. Vano belum pulang, sudah pasti rumah akan tenang. Hanya ada tiga orang yang duduk di meja makan. Papa, mama, dan Jihan. Rasanya, baru sekali ini suasana makan malam terasa begitu nikmat. Jihan menghabiskan makan malamnya, tidak seperti malam-malam sebelumnya—dimana ia akan meninggalkan meja makan sebelum makannya habis sebab Vano selalu saja mengganggu, dan mengejeknya.
“Vano nggak kasih kabar pulang jam berapa, Ma?” papa bertanya.
Mama menggeleng. Ia juga sudah mengirim pesan, namun Vano sama sekali tidak membalasnya. Jangankan membalas, dibaca saja tidak. “Kemarin dia pamitnya belajar sama temannya, Pa, tapi nggak minta izin kalau mau pulang malam.”
“Mending, nggak usah pulang sekalian!” sahut Jihan.
Mama dan papa kompak menggelengkan kepalanya. Tersenyum mendengar ucapan putri semata wayang mereka. “Nanti, kalau kakak kamu menikah dan pergi ... kamu baru tau rasanya sendirian di rumah.” Kata papa.
Jihan mengedikkan bahunya, kedua alisnya naik, ia tidak khawatir tentang itu. Ia malah merasa bahagia. Di rumah hanya dirinya yang akan berkuasa, mendapat semua kasih sayang mama dan papa. Ia akan hidup dengan damai.