Cuaca panas siang ini menambah panas suasana hati Jihan. Lagi-lagi Vano terlambat menjemputnya. Ponsel lelaki itu tidak aktif. Bibir tipisnya tak henti mengomel, berbagai ancaman ia lontarkan dengan satu tangan yang mengepal ke udara. Jihan berjalan, masih di sekitar sekolahan, ia mengutak-atik ponselnya, membuka aplikasi ojek online. Suara motor semakin mendekat dan berjalan tepat di belakang Jihan. Motor si pengganggu itu. Rangga. Jihan tidak menghiraukannya, ia tetap berjalan. Sialnya, tidak ada satupun supir ojek yang muncul di aplikasi tersebut.
Abang ojek lagi demo, mogok kerja, apa gimana, sih?! Kenapa nggak ada yang nyantol daritadi.
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang memperhatikan Jihan dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Rangga. Dia sibuk memandang cewek yang menunduk, menatap layar ponsel itu dengan ekspresi wajah yang kesal. Rangga memang sudah lama menaruh hati kepada Jihan, namun dia memilih tidak mengungkapkan perasaannya itu. Menjalin sebuah hubungan? Ah, Rangga merasa belum saatnya. Dia ingin fokus pada sekolahnya. Ya, Rangga mengakui, ada sedikit rasa takut jika ada cowok lain yang mendahuluinya memenangkan hati Jihan. Tapi, semua itu terkubur dengan sendirinya. Rangga yakin, Jihan memang untuknya.
“Lo nggak dijemput lagi?” Rangga memajukan motornya, mensejajarkan dengan langkah kaki Jihan. “Vania kenapa nggak masuk?” tanyanya lagi. Namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari cewek dengan rambut dikuncir kuda itu.
Mematikan mesin motor. Rangga turun, meraih pergelangan tangan Jihan. “Lo pura-pura budek? Gue nanya baik-baik, Ji.”
Sorot mata galak itu membuat Rangga tersenyum. Setiap hari, tidak pernah ia melihat Jihan menatapnya dengan lembut. Rangga mengakui, ia sering sekali menganggu Jihan. Bukan tanpa alasan pastinya. Menurutnya, Jihan sangat berbeda dengan temannya yang lain. Cewek itu selalu galak, dan selalu menanggapi semua tingkah usilnya. Entah itu marah, memukul lengannya .... apapun reaksi Jihan, Rangga tetap menyukainya. Sangat suka.
Jihan menghempaskan cengkeraman tangan Rangga dengan kasar. Ia sedang tidak ingin berdebat. Lebih tepatnya, ia sedang mengumpulkan tenaga untuk memarahi kakaknya nanti. Jihan hendak kembali berjalan, namun tangan usil Rangga berhasil menahannya. Tali rambutnya ditarik. Menghela napas panjang, tangan Jihan menengadah tepat di depan wajah Rangga—meminta ikat rambutnya.
Alih-alih mengembalikan, Rangga justeru memasukkan ikat rambut itu ke saku celananya sembari tersenyum mengejek. “Ambil sendiri kalau bisa.”
Jihan tidak bisa menahan lagi. Kedua tangannya berada di pinggang. Ancaman ia lontarkan kepada Rangga, mulai dari mengadu ke guru, orangtua, kakaknya, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Tapi, cowok itu tidak menanggapinya dengan serius. Membuat Jihan semakin kesal. Mengatur napas, Jihan berusaha meminta ikat rambutnya dengan suara yang lebih lembut. “Rangga ... tolong—”
“Bye, Jihan!”
Rangga berbalik, memakai helm dan naik ke atas motor, menyalakan mesin lalu memutarnya ke arah yang berlawanan.
Bugghh!
Sepatu melayang, tepat mengenai kepala Rangga. Sepatu siapa lagi jika bukan sepatu milik Jihan. Cewek itu berteriak, meminta ikat rambutnya. Ikat rambut. Ya, barang itu bisa dikatakan sepele. Namun, bagi Jihan, tidak ada yang sepele jika sudah berada di tangan Rangga. Jihan tidak ingin ada satu sesuatu miliknya berada dalam genggaman tangan Rangga. Cowok yang sangat menyebalkan di sekolahnya. Jihan sendiri tidak habis pikir, di rumah ia harus menghadapi kakaknya. Di sekolah, ia juga harus menghadapi Rangga. Sejak menginjakkan kaki di sekolah SMK, ia sudah disuguhi segala hal yang memuakkan dari cowok tersebut. Sebentar lagi akan ujian akhir sekolah, ya ... sebentar lagi, sedikit lagi, ia akan terbebas dari kelakuan menyebalkan Rangga. Jihan bukan cewek dengan kesabaran yang penuh, ia juga sudah pernah meminta dipindahkan ke sekolah lain. Akan tetapi, ia kembali berpikir ... sangat kekanakan sekali jika pindah sekolah hanya karena seorang Rangga.
Senyuman mengembang sempurna dari bibir Rangga, ia berhasil menjahili. Mematikan mesin motor lalu turun, melepas helm dan menatap Jihan yang tengah menyorot tajam kepadanya. “Kali ini gue dapat ikat rambut lo, besok-besok ... gue pastikan dapat hati lo.”
Jihan melengos masam. Dari ikat rambut ke hati, sangat konyol. Bergumam, memaki, Jihan hendak melangkah untuk membuat perhitungan dengan Rangga. Namun, tasnya ditarik oleh seseorang. Ia menoleh dan mendapati sang kakak menatapnya dengan dingin. “Ayo, pulang.” Ajak Vano.