Kakak

Kemas Nursyamsu Iskandar
Chapter #1

Guru Sejarah

Ayah tidak pernah mempunyai berat badan lebih dari lima puluh empat kilogram. Sejak remaja beliau memakai kacamata dengan bingkai berbentuk huruf D berwarna hitam yang tipis dan keras. Ayah bertugas sebagai guru matematika di SMA. Pekerjaannya itu membuat beliau selalu hati – hati dan sabar menghadapi setiap kejadian yang tidak terduga.

Siang itu Ayah mengantar Yasa untuk melakukan registrasi sebagai mahasiswa di Universitas yang dulu salah satu gedungnya sering dipakai oleh bangsawan dari Italia untuk mengadakan pesta dansa. Itu dulu sekali saat Indonesia belum merdeka dan Bandung masih dikuasai oleh para bangsawan dari Eropa.

“Ini merupakan amplop coklat paling gendut yang pernah Ayah pegang.” Ayah tersenyum senang sambil membolak balik amplop berisi uang sebesar lima belas juta rupiah.

“Ayah, bagaimana kalau Yasa mengundurkan diri hari ini?” Yasa berusaha selembut mungkin mengutarakan pertanyaan itu.

“Jangan berpikiran seperti itu. Berkeinginan menjadi guru merupakan niat yang mulia.” Ayah berusaha mempertahankan senyum di wajahnya.

“Bagaimana kalau Ayah memberikan beberapa juta saja uang itu untuk Yasa berdagang? Berdagang seperti saudara – saudara Ibu. Yasa tidak mau memberatkan Ayah. Lebih baik Ayah fokus saja membiayai kuliah Kakak, dan, sebentar lagi kan Bayu mau masuk SMP.”

“Apakah kamu takut dengan yang diceritakan oleh Ibu tadi malam? Tentang anak teman mengajinya yang bekerja sebagai guru di SD itu?”

Yasa tidak bisa berbohong. Cerita Ibu tadi malam sungguh membuatnya sadar akan kenyataan profesi guru di Indonesia.

“Mengapa harus jurusan pendidikan!? Jadi guru di Indonesia itu sulit! Lihat ayahmu! Dia kurus terus karena banyak memikirkan hutang kita di bank! Pendidikan sejarah lagi! Dan kamu tidak belajar dari sejarah Yasa! Kamu telah mengulang kesalahan yang dilakukan oleh ayahmu di dalam memilih profesi!” Suara Ibu keras sekali, itu delapan puluh lima persen volume suaranya.

“Kamu harus tahu Yasa…Ada teman Ibu di pengajian yang anaknya menjadi guru honorer di SD dan gajinya hanya lima ratus ribu perbulan. Dengan pendapatan segitu bagaimana kamu bisa punya rumah!?” Tiba – tiba volume suara ibu jadi sangat kecil, saat menyebutkan nominal gaji anak temannya bahkan tidak bersuara, hanya menggerakan bibir saja.

Kemarin malam Ayah habis – habisan membela niat Yasa yang mulia yaitu menjadi guru sejarah seperti Pak Yadi, guru sejarah Yasa di SMA. Pak Yadi seorang pencerita yang luar biasa, saat menjelaskan tentang Perang Troya, dengan bantuan jari – jarinya yang ia pukulkan ke meja, ia bawa suara kuda – kuda perang zaman Yunani Kuno ke kelas. Sejarah tragedi kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki disampaikan sampai mengundang tangis. Pukulan tangan penuh kemarahan yang diarahkan ke meja kayu sampai membuat bunyi seperti petasan adalah bom atom Little Boy yang dijatuhkan di Hiroshima, suaranya yang menggelegar menggetarkan hati seisi kelas, dan diakhir penjelasan Pak Yadi bermain biola, sambil membaca puisi tentang hujan – hujan hitam yang turun di Hiroshima dan Nagasaki karena dampak bom atom yang sangat dahsyat bagi kerusakan lingkungan. 

“Yasa! Jangan takut untuk berbuat baik! Saat niat kamu lurus, Allah akan memberikan pertolongan!”

Setelah Ayah meninggikan volume suaranya, Ibu mengalah. Ibu tiba – tiba ingat ceramah Ustadzah Elin yang mengatakan bahwa isteri harus menurut kepada suami. Ibu bilang semuanya terserah kepada keputusan Ayah.

“Ayah sudah memimpikan ini Yasa.”

Jika sudah berhubungan dengan mimpi Ayah, maka Yasa sudah paham bahwa apapun alasan yang diutarakan Yasa akan ditolak Ayah. Seperti saat Ayah masih tinggal di Yogyakarta dan bermimpi dikejar oleh raksasa hitam menyeramkan yang akan membunuhnya. Setelah mimpi itu, seminggu kemudian Ayah mengajak Ibu untuk kembali ke kota kelahirannya di Bandung. Setelah kami sekeluarga tinggal di Bandung selama dua bulan, ternyata Yogyakarta terkena gempa bumi, rumah – rumah di kelurahan tempat dulu kami tinggal mengalami kerusakan yang parah, dan rumah kontrakan kami ambruk. Menurut Pak Hadi pemilik kontrakan, rubuhnya tepat pada tengah malam, secara tiba – tiba, padahal setelah gempa terjadi kontrakan kosong itu tampak baik – baik saja.

Ibu sering berdebat dengan Ayah karena pola pikir mereka sangat berbeda. Namun, jika Ayah sudah bawa – bawa mimpi yang ia anggap sebagai pertanda, Ibu pasti akan diam dan menurut. Hal ini Ibu yakini karena Ayah sering sekali benar dengan berbagai pertanda yang ia lihat di alam mimpi.

Pernah Ayah bermimpi tangannya dililit oleh ular dan melihat ikan – ikan dengan berbagai warna datang menghampirinya. Tiga hari kemudian Ayah meminta Kakak berhenti bekerja di restoran yang menyajikan sosis dengan berbagai macam saus dan berjanji akan membantu Kakak mewujudkan impiannya untuk menjadi insinyur. Ibu protes keras dengan keputusan Ayah yang tiba – tiba itu.

Lihat selengkapnya