Baru saja Yasa membuka pintu rumah, Ibu sudah bertanya dengan nada yang penuh kegelisahan.
“Bagaimana? Jadi masuk jurusan Pendidikan sejarah?”
Yasa mengangguk. Ibu terdiam. Yasa melihat marah dan kecewa di wajah Ibu. Sore itu beliau tidak menyiapkan teh hangat untuk Ayah. Ibu menutup diri di kamar. Tidak berbicara kepada Ayah dan Yasa sampai malam tiba.
Setelah pulang dari masjid,Ayah mengajak Yasa untuk melihat kumpulan foto di sebuah album kotor berwarna biru yang belum dibersihkan. Debu di album biru itu sempat mengotori sarung Ayah, namun beliau tidak peduli dan ingin segera bercerita.
“Kemari, Ayah ingin memperlihatkan foto Kakek.”
Yasa sudah pernah melihat foto – foto di album kotor itu saat ia masih duduk di bangku SMP. Di dalamnya ada foto – foto Ayah sebelum beliau menikah. Ada foto Ayah saat masih kecil, sedang tertawa sambil memegang sepiring nasi dengan satu lauk saja yaitu tempe. Ada foto Uwak Perempuan sebelum menjadi dokter, foto Uwak Lelaki sedang bermain gitar, foto Nenek, Kakek dan Ayah yang kira – kira berumur tujuh tahun sedang jalan – jalan di dekat Gedung Sate.
“Lihat foto ini.” Matanya berkaca – kaca saat meminta Yasa memperhatikan sebuah foto.