Yasa mendengar berbagai cerita mengenai kaderisasi himpunan jurusan dari teman – teman SMA-nya. Agung yang sempat menjadi teman sebangku Yasa selama empat semester, dan bercita – cita jadi dokter tanaman, menceritakan bahwa orang - orang di angkatannya yang tidak ikut kaderisasi himpunan akan dikucilkan. Bejo, teman bermain futsal, juga senada dengan Agung, ia menambahkan, “Yang tidak ikut himpunan biasanya dibully Sa!”. Tapi, dari semua cerita, yang paling seram adalah himpunannya Fikry, teman sekelas Yasa yang suka robot Gundam, begitu mahasiswa baru masuk kuliah, para senior akan menggunduli rambut juniornya, apakah ia mau ikut kaderisasi atau tidak, yang penting junior harus gundul!
Yasa sempat khawatir, di himpunan mahasiswa pendidikan sejarah juga akan ada budaya – budaya yang membuat senior melecehkan junior. Tapi ternyata kaderisasi adalah hal yang menyenangkan dan memperkaya pengetahuan.
Pada pertemuan pertama, Kang Juna dan Kang Wiyoko mengajak para calon anggota himpunan untuk mengetahui sejarah himpunan. Ternyata himpunan didirikan di zaman Ir. Soekarno masih jadi presiden. Kang Juna menyampaikan bahwa sebagian besar dosen, bahkan Prof. Dewi Sartika yang sangat serius itu adalah alumni himpunan. Setelah itu, lima puluh empat calon anggota himpunan yang hadir dibagi menjadi sembilan kelompok dengan cara diundi. Di setiap kelompok, anggota kelas K terpaksa harus bekerja sama dengan anggota kelas L untuk menghabiskan makanan porsi raksasa yang disajikan di atas daun pisang sepanjang satu setengah meter. Yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu hanya kelompok yang memiliki anggota dengan nafsu makan yang tidak normal. Hanya satu kelompok yang berhasil, yaitu kelompok Yasa , Sadut, Hamdan, Ujang, Tomi dan Edo, anggota kelas K, seorang calon tentara yang tidak berhasil masuk TNI, ia memiliki nafsu makan seperti tentara yang jarang mendapatkan jatah makan dan baru saja pulang dari Pertempuran Lima Hari di Semarang. Kelompok yang gagal menjalankan tugas, mendapatkan caci maki dari seorang senior yang memiliki darah Jawa dan Papua, namanya Bima.
“Kalian semua tidak menghargai kerja keras para petani! Dan kalian tidak menghargai kerja keras akang dan teteh yang telah memasak untuk kalian semua!”
Di belakang Kang Bima, ada Teh Upit dan Kang Abeng yang bertanggung jawab atas dihidangkannya makanan porsi raksasa itu. Mereka menangis, sampai terisak – isak, seakan – akan nasi dan semua lauk pauk yang telah disuguhkan kepada calon anggota himpunan didanai langsung oleh mereka, menggunakan uang yang seharusnya dipakai untuk membayar SPP.
Minggu – minggu selanjutnya dipenuhi dengan acara jalan – jalan sejarah. Mengenal sejarah gedung – gedung yang ada di kampus, mengenal sejarah pembentukan Universitas, mengenal gedung – gedung bersejarah yang ada di Kota Bandung. Yang paling berkesan bagi Yasa adalah Museum Konferensi Asia – Afrika, yang pada zaman penjajahan Belanda dikenal sebagai Gedung Societeit Concordia, sejenis tempat berpesta para bangsawan Eropa yang tinggal di Bandung pada tahun 1900-an. Di tempat itu hadir Pak Yadi sebagai pemateri, beliau ternyata dulu sempat menjadi anggota himpunan. Pak Yadi banyak bercerita mengenai sejarah kawasan Braga yang dulu pada Zaman Hindia Belanda merupakan kawasan eksklusif bagi orang – orang Eropa saja.