Di hari pertama menjadi ketua himpunan, Yasa hanya ditemani oleh Sadut di sekretariat himpunan. Anggota himpunan yang lain, yang sebagian besar bukan orang Bandung, sedang mudik, pulang ke kampung halaman untuk bersiap – siap menyambut Idul Fitri bersama keluarga tercinta.
“Idul Fitri seminggu lagi Sa, Bandung sudah mulai sepi. Tapi pedagang di dekat kampus masih jualan ya?”
“Iya, beberapa. Nanti juga tiga hari ke depan mereka mudik.” Yasa menjawab sambil membaca Laporan Pertanggung Jawaban Ketua Himpunan yang ditulis oleh Kang Bachtiar, seorang senior dari Kaum Genap.
“Sa, kamu mau makan apa untuk buka puasa? Kalau aku mau beli bento dan thai tea di dekat SD. Semoga masih jualan.”
“Aku ingin makan dengan ayam pedas yang dijual di dekat SD. Minumnya, air putih saja.”
Sekitar setengah jam kemudian Sadut tidak hanya kembali dengan makanan yang Yasa pesan. Ia juga datang bersama seseorang, namanya Kang Rahman. Orang itu lebih tua satu tahun dari Yasa, dia adalah Ketua Adat Suwarnabhumi, Kelompok Pecinta Alam Tingkat Jurusan, selain itu, ia aktif juga di Kelompok Pecinta Alam Tingkat Fakultas.
“Bagaimana sehat Pak Kahim?”
“Alhamdulillah, Kang Rahman. Ada yang bisa saya bantu Kang?”
Lalu Kang Rahman meminta Yasa untuk membaca sebuah proposal kegiatan Suwarnabhumi. Yasa merasa bingung, ia bertanya – tanya, mengapa Kang Rahman harus meminta persetujuan dari Ketua Himpunan? Karena himpunan dan Suwarnabhumi berada di “rumah” yang berbeda dan mempunyai pemimpin dan hukum yang berbeda juga. Ia ragu untuk membaca proposal itu, tapi Kang Rahman berkata, “Cobalah baca dulu Pak Kahim.” Setelah Yasa membaca proposal itu, ia mengetahui bahwa kebanyakan orang yang terlibat di dalam kegiatan ekspedisi yang akan Kang Rahman selenggarakan adalah para alumni jurusan pendidikan sejarah, orang – orang yang telah menjadi alumni himpunan. Hukum di himpunan menyatakan bahwa keanggotaan himpunan akan hilang setelah anggota diwisuda.
“Maaf Kang, saya tidak bisa menandatangani proposal ini. Di dalamnya ada orang – orang yang telah menjadi alumni himpunan. Maaf, saya tidak bisa bertanggung jawab untuk itu.”
Kang Rahman tersenyum setelah mendengar jawaban dari Yasa. Ia kemudian pamit, saat berjalan menjauh dari sekretariat himpunan, Yasa melihat wajah orang itu penuh dengan kemarahan.
Keesokan harinya, selesai salat dzuhur, Sadut yang berwajah penuh ketakutan meminta Yasa menemui Kang Rahman yang kali ini ditemani orang – orang dari Kelompok Pecinta Alam Tingkat Fakultas di sekretariat himpunan.
“Anjing! Maneh cing baleg jadi Kahim teh!” Begitulah kalimat pembuka dari seseorang yang tidak Yasa kenal, tiba – tiba mengumpat penuh kemarahan.