Bangsa Indonesia menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan semangat untuk memaafkan. Tapi bagi Yasa, Idul Fitri tahun itu merupakan yang paling penuh dendam, jauh dari kata maaf. Saat hatinya marah, diputar sebuah film yang berdarah – darah di dalam kepalanya.
Semua sedih, kesal, dendam, khawatir dan kegilaan yang tersimpan di dalam kepala Yasa, seperti berbagai macam udara yang memenuhi balon karet, yang membuat balon itu membesar dan membesar dan membesar. Kemudian, Ayah yang selalu tahu apa yang ada di dalam kepala anak - anaknya membawa jarum berbentuk pertanyaan yang membuat balon besar itu meletus dan mengeluarkan suara yang membuat manusia, hewan, dan tumbuhan merasa kaget.
“Ada Apa Sa? Coba ceritakan ke Ayah.”
Yasa menceritakan semuanya kepada Ayah. Tentang konflik Kaum Ganjil dengan Kaum Genap, tentang perjuangan angkatan Yasa untuk menghapus sentimen ganjil dan genap, tentang Jaffar, tentang Kang Rahman, dan tragedi yang terjadi di depan Fakultas.
Setelah mendengar cerita dari Yasa, Ayah menahan tangis. Kemudian beliau berwudhu. Setelah itu Ayah mulai bercerita tentang seorang sahabatnya yang bernama Ade, yang pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, puluhan tahun yang lalu. Ternyata dari dulu himpunan itu memang terkenal memiliki pergaulan yang keras. Presidium sidang salah berbicara, Presidium dibanjur air kopi. Tidak setuju dengan fraksi dari angkatan yang lain, berdebat dari sore sampai shubuh. Mendidik calon anggota himpunan yang baru, maka calon anggota itu diharuskan banyak mengeluarkan darah dan air mata.
“Tapi, Pak Ade ini adalah orang yang paling saleh yang pernah Ayah temui. Ayah sempat bertanya – tanya, mengapa Allah membuat Pak Ade menjadi pemimpin orang – orang yang suka ribut ini? Mungkin sudah menjadi takdir, orang – orang yang baik akan bertemu orang – orang yang jahat agar manusia melihat bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan. Karena, apa lagi hadiah dari Allah yang lebih menyenangkan daripada kemenangan?”
Tapi Yasa belum memahami semuanya malam itu. Ia hanya terdiam dan masih memendam dendam.
Ibu tiba – tiba mengomel. Bau busuk di jaket angkatan Yasa tidak bisa ia hilangkan.
“Yasa! Kamu main di mana!? sampai berbau busuk seperti ini jaketnya!”
“Yasa sempat kecelakaan masuk selokan Bu. Jaketnya disimpan saja. Yasa sudah mencucinya di rumah Ucok sebanyak tiga kali, belum juga hilang baunya.”
Kakak baru pulang setelah hampir semua orang di rumah tertidur. Ayah, sejak selesai salat Isya, telah menunggunya di ruang tamu.
“Adi, Ayah ingin berbicara.”
Setelah semuanya diceritakan. Ayah meminta Kakak untuk membantu Yasa, dengan cara apapun, sesuai dengan janji yang telah ia ucapkan saat pertama kali meminta Yasa masuk himpunan.