Untuk meringankan sakit kepala setelah berpikir keras, Jaffar biasanya akan merokok dan mengedipkan matanya dengan cepat. Setelah baru saja sampai di Bandung, siang itu Jaffar langsung mendengar cerita dari Sadut, mengenai kondisi Yasa. Siang itu tiga batang rokok ia habiskan sambil mengedipkan matanya dengan cepat, dua kali lipat lebih cepat dari biasanya.
“Masih ada waktu selama satu minggu sebelum kita melakukan pelantikan pengurus baru, Kita punya waktu untuk belajar Sa! Kita harus belajar dari sejarah ketua himpunan yang sebelumnya, Sa! Mari kita datangi langsung sumber primernya! Di dalam cerita sejarah itu ada obat bagi hati yang sakit Sa! semoga setelah mendengar cerita – cerita dari Kahim sebelumnya, kamu akan merasa baikan, Aminnn!” Jaffar mencoba seceria mungkin demi mengembalikan semangat Yasa yang masih sering terlihat lesu.
Kemudian Jaffar segera menjadwalkan wawancara dengan beberapa ketua himpunan yang telah menjabat di periode sebelumnya.
Wawancara pertama adalah dengan seorang ketua himpunan dari Kaum Genap, Namanya Kang Bachtiar. Wajahnya mirip penyanyi Tulus di video klip lagu “Gajah”. Kalau saja Kang Bachtiar menurunkan berat badan sebanyak sebelas kilogram, ia pasti menjadi kembar identik dengan Tulus. Saat Yasa, Sadut dan Jaffar datang ke kosannya, ia sedang merokok dan memutar lagu “Wait and Bleed” dari Slipknot lewat sebuah pengeras suara unik yang berbentuk helm Valentino Rossi, Sang Legenda Balapan MotoGP.
“Wah, ada Pak Kahim baru dan ajudannya, ayo masuk.”
Di kamar Kang Bachtiar banyak sekali poster musisi, dari yang kalem seperti Chrisye, Ebiet G.Ade, dan Bimbo, sampai yang senang ribut seperti Burgerkill, Metallica, Avenged Sevenfold dan Slipknot. Siang itu Kang Bachtiar menghidangkan es teh dan ranginang untuk para tamu. Sebelum wawancara dimulai, Kang Bachtiar mengganti lagu Slipknot dengan lagu instrumental dari Shigeru Umebayashi, “Yumeji’s Theme”.
Kemudian semua kegundahan Yasa diceritakan oleh Sadut, mulai dari kesulitan memperoleh izin kegiatan di luar kampus dari ketua jurusan, konflik dengan Organisasi Pecinta Alam Tingkat Fakultas, dan keadaan pengurus inti himpunan yang sedang berduka, setelah tragedi yang menimpa Jaffar dan Yasa.
Hampir semua pertanyaan, dijawab oleh Kang Bachtiar dengan kalimat, “Jangan terlalu kuatir, dibawa santai saja.”
Kang Bachtiar terus berpesan agar Yasa, Sadut dan Jaffar bisa menjadi pemimpin yang tidak cepat tersulut emosi. Bahaya. Pemimpin yang tidak tenang bisa menjerumuskan rakyat ke dalam kegelisahan, atau lebih parah lagi, ke sebuah perang yang terjadi karena alasan konyol.
Mantan ketua himpunan yang humoris itu mencoba menghibur Yasa yang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dengan sebuah cerita berjudul “Gara – Gara Britney”. Selama bercerita, Kang Bachtiar terus melihat ke arah galon air mineral yang ada di kosan, dan menahan tawa, seakan – akan di galon itu sedang diputar sebuah film komedi bertema pengukuhan anggota baru himpunan.
“Waktu itu saya mengikuti acara pengukuhan anggota baru. Ada satu senior, sebut saja dia Hamba Allah. Dia iseng sekali, meminta kelompok saya untuk menampilkan sebuah drama sejarah “Perang Diponegoro”. Empat orang jadi pejuang pribumi, dua orang jadi bagian dari tentara Belanda. Saya yang ketua kelompok, jadi Pangeran Diponegoro, pura – pura pakai keris, teman – teman yang jadi Tentara Belanda, pura – pura pakai senapan.” Kang Bachtiar menyimpan rokok yang masih setengah batang di ujung meja belajar, sebelum melanjutkan cerita. “Di tengah – tengah drama itu tiba – tiba para senior marah, ada satu senior perempuan, anggap saja namanya Britney, dia protes : Mana kudanya? Masa di Perang Diponegoro tidak ada penunggang kuda!? Setelah itu kami melanjutkan drama perang sambil berpura – pura sedang menunggang kuda, tapi malah terlihat seperti sambil joget, mirip joget Gangnam Style.”
Kang Bachtiar mereka ulang kejadian sejarah itu sambil berjoget dan menahan tawa. Sadut dan Jaffar terpingkal – pingkal. Namun, Yasa hanya tersenyum.
“Kalian berencana mewawancarai siapa saja?” Kali ini Kang Bachtiar terlihat sangat serius.
“Setelah mewawancarai akang, ada Teh Nissa dan Kang Ari.” Jawab Jaffar.
“Bagus. Kalian harus menghargai juga Kahim Ganjil.” Kang Bachtiar tersenyum puas, kemudian berpesan agar Yasa bisa mempresentasikan program kerja himpunan dengan baik di depan Teh Nissa. “Kalau bisa bawa konsep program kerja yang bagus, yang sudah matang, dan didukung oleh data – data yang akurat. Siap - siap, kalau Nissa mengkritik biasanya menyakitkan.”
Teh Nissa merupakan Ketua Himpunan Perempuan Pertama di Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah. Sekarang sudah bekerja menjadi dosen di sebuah Universitas Katolik. Saat ditemui setelah selesai memberi kuliah di siang hari, Teh Nissa yang memakai blouse batik yang didominasi warna ungu, menyambut tamu dari himpunan dengan senyum ramah, dan mengantar mereka bertiga ke kantornya. Tiga kursi telah ia siapkan sejak pagi hari di depan meja kerja, setelah semua orang duduk dengan nyaman, ia langsung meminta Yasa menjelaskan semua program kerja besar yang akan dilakukan oleh himpunan di tahun ini. Selama Yasa menjelaskan, Teh Nissa mencatat beberapa poin penting di buku catatan yang sampulnya dihiasi gambar Mickey Mouse yang selalu ia bawa kemana - mana.