“Yakin maneh teh dek jadi guru sejarah wae?” Mamah tiba – tiba mengganggu Rina yang sedang khusyuk menonton acara Running Man di televisi.
“Yoi.”Jawab Rina cuek.
“Aslina Rin? Nih ya, Mamah tahu, kamu itu kebutuhan jajannya besar. Kalau kamu jadi guru honorer yah, itu gaji kamu pasti habis setelah dua kali jalan – jalan ke Paris Van Java. Yakin dek jadi guru wae?”
“My life my adventure, Mom.”
“Jadi, kamu yakin tidak? jadi guru? Ulah make bahasa inggeris lah geus puguh indung maneh teh teu bisa!”
“Yakin gak yakin sih Mom.”
“Tah ning! Mau pindah jurusan gak tahun depan? Apa gitu jurusan yang lain lah, yang menghasilkan uang, misalnya pariwisata.”
“Ini udah tahun kedua Mah, udah gapapa, kagok.”
“Eh, tapi kan kamu gak yakin jadi guru..Kamu mau gimana?”
“Ya, kumaha we Mom cara mengisi kemerdekaan mah.”
Selama dua tahun kuliah di jurusan pendidikan sejarah, tidak pernah tebersit sekali pun di dalam benak Rina, ia akan serius menjadi guru sejarah. Setelah pembicaraan dengan Mamah itu, Rina mulai bertanya – tanya kepada dirinya sendiri, ia mulai mencari alasan – alasan, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia mau menjadi guru.Tapi, setelah beberapa kali meyakinkan diri sendiri untuk menjadi guru, hatinya selalu berakhir membawa perasaan penuh kebingungan dan bimbang.
“Rin, kamu mau ya jadi bagian dari tim evaluasi?” Kata Boy yang terdengar yakin, Rina akan menerima tawarannya itu.
“Naha urang?”
“Kata istri aku, kamu anak teater, bagus aktingnya.”
“Cieee, nu geus boga istri. Terus urang kudu kumaha?”
Boy meminta Rina untuk datang ke sekretariat himpunan pada jam empat sore, katanya banyak hal yang harus dibicarakan oleh banyak orang nanti. Dari jam satu siang ---setelah kuliah Studi Masyarakat Indonesia--- sampai jam empat sore, Rina menghabiskan waktu di kosan Yuli, menonton drama korea Pinocchio.
“Maneh gak bisa bohong Rin, pasti seneng ya bisa bermain peran lagi?”
“Iya, tapi ini beda Yul, ini gak kaya waktu di Teater Anak Tiri zaman urang SMA. Yang jadi tim evaluasi bakalan berperan kaya Kang Bima kan ya? Jadi bukan hanya berperan, tapi juga membangun mental calon anggota himpunan.”
Di Teater Anak Tiri, Rina sering mendapatkan peran sebagai Ibu Tiri. Teater yang didirikan oleh Bang Kurniawan itu selalu menampilkan drama mengenai anak tiri, ibu tiri, perempuan yang kejam, perempuan – perempuan yang terlalu pintar dan perempuan – perempuan yang protes kepada takdirnya menjadi perempuan. Pertunjukkan Teater Anak Tiri yang paling berkesan bagi Rina, berjudul “Perempuan Penulis yang Penuh Luka”, di dalam drama itu Rina yang berperan sebagai Ibu Tiri, bertugas menyiksa seorang tokoh bernama Dewi secara fisik dan verbal, Dewi adalah seorang penulis muda yang diperankan oleh teman Rina yang bernama Dewi juga, yang kebetulan pernah menang lomba menulis cerita pendek tingkat kota. Drama itu paling berkesan bagi Rina karena dari adegan awal sampai akhir ia bertugas untuk marah – marah dan mengumpat, sungguh menyenangkan baginya, karena bisa meluapkan segala kesal dan marah yang terpendam di dalam dada.
Rina dan Yuli yang datang tepat waktu ke sekretariat himpunan, kemudian merasa kecewa. Karena di tempat itu baru ada Yasa Si Ketua Himpunan yang selalu memakai jaket merah, Mba Marni Sang Kordinator Sekretaris Divisi dan Utami Si Ratu Duit yang sedang menikmati seblak, sepiring bertiga.
“Sabar ya Rin, biasa anak – anak ma suka telat.” Kata Mba Marni.
Setengah jam kemudian, sekretariat himpunan sudah dipenuhi oleh orang – orang yang sudah Boy pilih untuk menjadi anggota tim evaluasi. Mereka adalah Tomi, Marwansyah, Ucok, Salma, teman sekelas Rina yang suaminya guru olahraga dan Srirahayu, anggota kelas K, yang suaminya bekerja sebagai guru di pesantren. Selain itu ada Sadut, Jaffar, Alek, Khadijah, Dali, Silviana dan Azhar yang menjadi ketua pelaksana Kaderisasi Kaum Genap tahun ini.
“Sebenarnya kita masih harus menunggu Latta dan Uzza datang, tapi biarlah mereka datang sesuka hatinya, kita mulai sekarang!” Boy membuka pembicaraan sore itu dengan nada bicara yang penuh dengan perasaan kesal.
“Latta, Uzza? Dewa yang dipuja masyarakat Arab sebelum Zaman Islam? Apa maksudnya Boy?” Sadut tidak paham.
“Maksudnya Kang Juna dan Kang Bima, Dut.” Jaffar menjelaskan.
Sadut tertawa, ia baru mengerti lelucon sejarah itu.
“Saya lanjutkan, ehem, ini sederhananya ya. Dengarkan. Saya mendapatkan kepercayaan dari Pak Kahim untuk menjadi ketua dari tim evaluasi, semoga saya bisa amanah. Ehem. Saya memilih kalian semua, sahabat – sahabat terbaik, untuk membantu saya menjalankan tugas yaitu membangun mental para calon anggota himpunan dan melindungi mereka dari kejailan senior, baik itu dari Kaum Ganjil atau kaum kita sendiri. Ehem, uhuk, ukhhhukkk, nghikkk, oghokkkk.” Boy batuk – batuk, suaranya cukup menyeramkan, seperti babi yang dicekik ketika sedang berteriak, Silviana memberikan beberapa lembar tisu sebelum suaminya berbicara lagi. “Saya sebagai ketua bertugas untuk menyiapkan materi yang akan disampaikan kepada calon anggota himpunan, dan mengatur semua anggota tim evaluasi ketika menjalankan tugas di kelas atau di lapangan, saya mohon teman – teman semua bisa menurut. Saya tidak suka berdebat.” Boy berhenti untuk membersihkan hidungnya. “Para lelaki bertugas untuk mengamankan keadaan, Salma dan Rina memanaskan keadaan, dan Ustadzah Sri yang akan memberikan tausiah di akhir materi. Ya, begitu kira – kira, silahkan ada yang mau bertanya?”
“Jadi saya harus memberikan ceramah yang seperti apa?” Ustadzah Sri bertanya setelah mengangkat tangannya.
“Yang Islami saja Ustadzah Sri, saya sudah cek, mahasiswa baru di jurusan kita tahun ini semuanya beragama Islam.” Alek menjawab.