Latihan sidang yang ekstrim itu berakhir pada jam tujuh pagi. Setelah setiap orang menikmati satu bungkus nasi padang dan sebotol air mineral, para calon anggota himpunan yang lelah dan sudah tidak sabar untuk pulang, dipaksa oleh Azhar untuk berdemokrasi.
“Akang tahu kalian sudah sangat lelah, tapi ada satu hal yang harus kalian lakukan sebelum pulang ke kosan…” Belum selesai Azhar berbicara, nada – nada penuh kekecewaan telah terdengar dari para calon anggota himpunan. “Kalian harus memilih ketua angkatan sebelum menghadapi acara terakhir di dalam kaderisasi, yang Insya Allah diadakan dua minggu lagi, yaitu pengukuhan anggota baru.”
Ini adalah ide Abdul dan Alek, biasanya ketua angkatan dipilih di awal kaderisasi, namun pada masa kepengurusan Yasa, ketua angkatan dipilih sebelum acara pengukuhan anggota baru. Hal ini dilakukan agar para calon anggota himpunan saling mengenal dulu, sebelum menentukan pemimpin diantara mereka. Alek dengan bangga mengatakan, “Kaderisasi kita tidak mencederai demokrasi seperti kaderisasi Si Juna!”
Ada orang – orang yang mencalonkan diri dan ada orang – orang yang diajukan oleh teman – temannya untuk menjadi calon ketua angkatan. Orang – orang narsis yang mencalonkan dirinya sendiri, tidak mendapat dukungan. Proses demokrasi yang berlangsung cukup cepat itu kemudian berakhir pada dua nama, Somad dan Big Somad. Keduanya siap menjadi pemimpin yang amanah, dan keduanya mendapatkan jumlah pendukung yang sama, yaitu masing – masing 40 orang, terkutuklah jumlah genap yang mengganggu demokrasi!
“Karena hasilnya seri, maka saya akan bertanya kepada para calon untuk menentukan pemenang pesta demokrasi kita pagi ini.” Kata Azhar, kemudian ia bertanya pada kedua calon. “Somad dan Big Somad, saya akan bertanya kepada kalian berdua. Kalau kalian memakai hak pilih kalian, kalian akan memilih siapa? Somad, kamu yang lebih kecil dari Big Somad silahkan berbicara duluan!”
“Saya memilih diri saya sendiri Kang.” Jawab Somad.
“Big Somad?” Tanya Azhar pada pria berbadan besar itu.
“Saya memilih Somad Kang.” Jawab Big Somad tegas.
Para calon anggota himpunan bersorak riang, kemudian menyalami Somad yang telah diangkat menjadi ketua angkatan dengan terburu – buru, setelah acara ditutup dengan doa, hampir semua orang segera kembali ke kamar kos. Setelah mandi, mereka segera menenggelamkan diri di kasur kosan yang empuk, hangat, dan aman, jauh dari caci maki senior yang bermulut kotor. Hampir semuanya, kecuali Somad dan Big Somad yang diminta Azhar, Alek dan Yasa untuk tidak pulang dulu.
“Maaf, kami harus menahan kalian. Ada hal yang ingin kami bicarakan dengan kalian berdua.” Alek kemudian meminta Yasa berbicara, “Silahkan Pak Kahim, lanjutkan…”
“Kalian adalah dua orang yang paling dipercaya oleh angkatan kalian. Satu orang telah dipercaya menjabat sebagai ketua angkatan, sedangkan satu orang lagi belum memiliki jabatan. Tapi akang yakin, Big Somad suatu hari nanti akan dipercaya untuk memimpin juga…”
“Big Somad nanti jadi ketua himpunan ya Kang?” Tanya Somad, yang sudah memahami arah pembicaraan pagi itu.
“Iya, kira – kira seperti itu, harus terjadi power-sharing yang baik di angkatan kalian. Bagaimana menurut kamu Big Somad?” Yasa bertanya pada lelaki besar yang murah senyum itu.
“Ya saya mah yang penting diberikan kepercayaan aja Kang. Insya Allah, saya siap.”
“Bagus, Insya Allah, nanti akang akan temani kamu selama menjadi ketua himpunan.”
Yasa ingin menjadi kakak yang lebih baik dari Kang Juna, yang selalu sibuk di sekolah dan tempat les, dan tidak banyak membantu saat adiknya yang menjadi ketua himpunan menderita. ia ingin seperti Kang Ari, sosok kakak yang baik, yang bisa menemani adiknya di setiap suka dan duka.
Sore itu, Kang Ari dan Yasa asyik membahas novel - novel karya Haruki Murakami di meja panjang kantin fakultas. Bagi Kang Ari Kronik Burung Pegas adalah karya yang terbaik, tapi bagi Yasa yang paling indah adalah Norwegian Wood.
“Kamu masih memendam dendam pada Rahman?” Tiba – tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulut Kang Ari.
“Masih, selalu teringat wajahnya yang licik itu setiap malam.”
“Haha, tapi orang itu memang berani sekali. Teman – temanmu sudah tahu kejadian di selokan fakultas itu?”
“Hanya sedikit yang tahu, Aku tidak ingin membebani teman – teman yang lain, Kang.”
“Itu pilihan yang bijak, tapi suatu hari nanti jika orang – orang dari Kelompok Pecinta Alam Tingkat Fakultas melecehkanmu lagi, menurut akang, bersabar bukanlah pilihan yang bijak.”
“Mengapa Rahman begitu berani Kang?”
“Ada dua alasan di Indonesia, yang menyebabkan seseorang menjadi sangat berani. Yang pertama adalah karena ia yakin dilindungi Tuhan, dan yang kedua adalah karena ia yakin dilindungi oleh penguasa. Kau tahu Umar Tantramulya?”
“Pemilik penerbit buku yang besar itu?”
“Iya, itu adalah orang yang membiayai perpolitikan kancil yang Rahman lakukan di kampus.”
Sejak Azhar menjadi ketua pelaksana kaderisasi, Yasa sering menginap dikosannya. Untungnya, pemilik kosan Azhar tidak menghukum penyewa kosan yang membawa teman untuk menginap, sehingga Yasa bisa sesering mungkin menginap di sana. Menemani Azhar yang sering galau, pusing, frustasi, dan setiap minggu turun berat badan satu sampai dua kilo.
Azhar sering menyanyi tiba – tiba untuk menghibur dirinya sendiri. Alek dengan tegas melarang Azhar bernyanyi di depan para calon anggota himpunan, “Awas kau kalau menyanyi di depan mahasiswa baru! Bisa hancur harga dirimu di depan mereka!” Memang suara Azhar sumbang, konyol, dan mengundang tawa, apapun lagu yang ia nyanyikan akan terdengar lucu.
Malam itu Yasa menemani Azhar mengonsep acara pengukuhan anggota baru.
“Bagaimana Pak Kahim? Sudah ada izin untuk acara pengukuhan dari Prof. Yono?”
“Belum Za, Insya Allah diizinkan beliau, sudah kamu fokus saja mengonsep.”
“Okelah kalau begitu…Okelah kalau begitu…” Azhar menyanyikan lagu dari Warteg Boyz, “Okelah Kalau Begitu”.
“Mahasiswa baru yang tidak ikut acara pengukuhan anggota baru berapa orang Za?”
“Ada dua orang, Khadaffi dan Aristo. Dafi ternyata minggu kemarin keluar dari jurusan, katanya dia menyesal masuk jurusan pendidikan sejarah, dan memilih untuk jadi pedagang saja, membantu ayah dan ibunya di pasar. Aristo, dari awal kuliah tidak pernah masuk kelas, kata Sadut, Aristo sering menghabiskan waktu di warnet, bermain game online. Kata Sadut juga, permainan DotA-nya payah, anak itu terlalu banyak melamun karena tidak bisa move on dari mantan pacarnya. Aku mau makan ku ingat kamu, aku mau tidur juga ingat kamu, aku mau pergi ku ingat kamu, oh cintaaa mengapa semua serba kamu.” Kali ini Azhar menyanyikan lagu dari Duo Maya, “Ingat Kamu”.
“Bagus, berarti 97 % mahasiswa baru mau menjadi warga himpunan. Yang tidak mau juga alasannya jelas, yang satu karena keluar dari jurusan dan satu lagi mengalami gangguan jiwa.”
“Tidak bisa move on bukan gangguan jiwa, Pak Kahim, terlalu sadis kata – katamu…” Kali ini Azhar menyanyikan lagu dari Afgan, “Sadis”, dengan sedikit modifikasi pada liriknya.
Alek, tiba – tiba datang, berwajah kesal.
“Welcome to my paradise…” Azhar langsung menyanyikan lagu dari Steven and Coconut Treez untuk menyambut Alek.
Dengan terburu – buru Alek menceritakan sebuah info yang dia dapatkan dari Mehmet, bahwa beberapa calon anggota himpunan diajak oleh Kang Rahman untuk mengikuti acara jalan – jalan sejarah ke Pulau Bali, yang diadakan oleh organisasi Suwarnabhumi. Acara jalan – jalan sejarah ke Pulau Bali itu diadakan bersamaan dengan acara pengukuhan anggota baru himpunan.
“Suwarnabhumi? Organisasi Pecinta Alam yang diikuti oleh Rahmat dan Nurdin?” Tanya Azhar.
“Iya Za, ternyata beberapa anggota muda dari Kelompok Pecinta Alam Tingkat Fakultas menjadi boneka yang ia gunakan untuk membangkitkan kembali kekuasaan Kaum Ganjil di himpunan. Kita berada di tengah – tengah revolusi yang Si Rahman itu sedang perjuangkan. Anjing! Memang kita Kaum Genap selalu kalah di dalam berpolitik dengan Kaum Ganjil!” Alek menyampaikan itu bersungut – sungut.
“Maksudmu membangkitkan kembali kekuasaan Kaum Ganjil apa Lek?” Yasa belum mengerti.