Kakak

Kemas Nursyamsu Iskandar
Chapter #24

Ayah Sadut

“Kok maneh gak cerita ke urang sih Sa?” Tanya Alek, dengan wajah kesal.

“Lek, aku tahu kemarin itu ulang tahun Ester, adikmu, aku tidak ingin mengganggu acara keluargamu.”

“Tapi kan, himpunan juga penting Sa, apalagi ini masalah krusial di himpunan, aduh, aku juga malu sekali sama Kang Habil. Aku jadi takut ini, kalau ke Rumah Putih.”

“Kenapa takut Lek?” Tiba – tiba Sadut bertanya.

“Diam Sadut! Aku lagi pusing!” Bentak Alek.

Jaffar, Tomi dan Marwansyah yang baru pulang dari kegiatan survei lapangan di Afdeling Ciater, kompak terlihat kaget. Sedangkan, Utami dan Mba Marni merasa gelisah, kesal, dan marah setelah mendengar apa yang telah dialami oleh Yasa kemarin.

“Jadi, Kang Rahman ini didoktrin oleh siapa Sa?” Tanya Tomi, yang masih terlihat kaget.

“Aku tidak tahu Tom. Sebagian besar anggota senior Suwarnabhumi sudah menjadi alumni.”

“Sekarang kita kembali ke agenda rapat pimpinan lagi ya?” Abdul mengingatkan semua orang.

“Baik, dua masalah utama yang belum terpecahkan adalah izin kegiatan pengukuhan anggota baru yang belum ditandatangai oleh Prof. Yono dan menentukan sikap himpunan terhadap ketiga belas calon anggota himpunan yang memilih ikut acara Suwarnabhumi daripada acara pengukuhan. Ada yang mau berpendapat?” Yasa terdengar penuh keraguan saat berbicara.

“Mahasiswa baru yang lebih memilih menjadi anggota Suwarnabhumi daripada menjadi warga himpunan, sebaiknya kita ikhlaskan saja. Menurutku sikap mereka sudah jelas terhadap himpunan.” Jaffar melihat wajah Yasa yang kecewa setelah ia berbicara, “Aku tahu Sa, kamu pasti masih memikirkan perkataan Kang Juna ya? Yang mewajibkan 92% mahasiswa baru harus menjadi warga himpunan?”

“Iya, Jaf.” Yasa tidak bisa berbohong.

“Ini bukan himpunan Si Juna Sa! Kamu pemimpin himpunan sekarang! Jangan sampai terlalu memikirkan 13 orang calon anggota Suwarnabhumi, dan melupakan 67 calon warga himpunan yang semangat mengikuti acara pengukuhan! Pikirkan yang utama sekarang! keselamatan calon anggota himpunan dan kelancaran acara!”

 Untuk pertama kalinya para personalia melihat Jaffar berteriak di tengah rapat pimpinan. Jaffar tak bisa menahannya lagi, ia kecewa dengan Yasa yang sering tidak fokus, terjebak dalam kesedihan, banyak memendam masalah seorang diri dan sudah membuat keputusan tanpa membicarakannya dulu dengan para personalia.

“Aku tahu Sa! Kamu memang tidak siap untuk semua ini, aku tahu, ini salahku juga. Tapi bisakah kau jadi pemimpin yang…” Jaffar tidak menyelesaikan kalimat itu, ia menyesal telah marah – marah.

Abdul segera mendinginkan keadaan yang sempat memanas. Ia menepuk – nepuk pundak Jaffar, meminta lelaki yang kini tertunduk malu itu menenangkan dirinya dulu. Abdul memberikan sebatang rokok, Jaffar tanpa basa – basi segera menyalakan rokok, menghisapnya dengan terburu – buru, kemudian matanya berkedip cepat sekali.

Yasa mencoba tetap tegar, walaupun hatinya kacau dan merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Ia meminta pendapat personalia yang lain mengenai 13 orang calon anggota himpunan yang bermasalah itu. Semuanya setuju dengan pendapat Jaffar, Yasa dengan berat hati menyetujui usulan Jaffar, walaupun kata – kata dari Kang Juna masih menghantui pikirannya.

“Kau sudah datang berapa kali ke kantor ketua jurusan Sa?” Tanya Abdul.

“Tiga kali Dul, proposal acara pengukuhan selalu ditolak dengan alasan yang sama, beliau tidak mau mengizinkan acara perjalanan malam.” Jawab Yasa.

“Kalau begitu, kita berikan saja proposal yang baru, yang tidak tercantum jadwal perjalanan malamnya.” Kata Abdul.

“Jadi kita akan berbohong saja?”

“Nanti juga dimaafkan Sa, Kang Juna seperti itu, Kang Hendro juga.”

“Benarkah?”

“Aku dengar ceritanya sendiri dari Kang Juna dan Kang Salah.”

“Bagaimana dengan para dosen pembimbing kemahasiswaan yang ikut ke acara pengukuhan?”

“Pak Budi dan Pak Pidi, mereka berjanji akan membantu kita di acara pengukuhan, mereka tidak peduli acara itu diizinkan atau tidak diizinkan oleh ketua jurusan. Mereka berdua dulu pernah menjadi ketua himpunan, mereka mengerti apa yang kita lakukan sekarang.”

“Baik. Jadi kita akan berbohong saja?” Yasa menatap satu – satu wajah personalia, tidak ada yang berwajah kaget seperti dirinya, kecuali Mba Marni yang terlihat marah dengan ide Abdul.

“Sudah lah Sa, kita harus bertindak cepat, masih banyak hal yang harus kita pikirkan dan kerjakan secepatnya.” Abdul paham apa yang dirasakan Yasa, “Dengarkan aku Sa, jangan terlalu jujur di dalam dunia politik, orang yang paling menderita di dunia politik adalah orang yang jujur. Lakukan saja, kita membutuhkan izin kegiatan itu.”

Yasa merasa bersalah, takut dan ragu saat melaksanakan saran Abdul. Tapi, saran itu terbukti tepat. Siang itu kegiatan pengukuhan anggota baru diizinkan oleh Prof. Yono.

*

Alek berjanji kepada Yasa, ia tidak akan pernah membiarkan orang dari organisasi mana pun melecehkan Yasa lagi. Alek memerintahkan Edo dan Septian untuk menjadi pengawal Yasa selama ia menjadi ketua himpunan. Sadut yang selalu bersama Yasa tidak dipercaya oleh Alek, karena ia lelaki payah yang tidak bisa bertarung. Edo menerima tugas itu dengan syarat boleh libur saat Maggie ingin jalan – jalan, cinta memang selalu yang utama bagi Edo. Sedangkan Septian, menerima tugas itu dengan bahagia dan penuh semangat saat bekerja. “Sebuah kehormatan bisa menjadi pengawal pribadi Pemimpin Besar Revolusi!” Kata pria yang sudah memiliki cita – cita menjadi TNI sejak duduk di bangku TK itu.

Selama bertugas, Edo dan Septian menemani Yasa kemanapun ia pergi. Mereka berdua selalu ada saat Yasa berada di perpustakaan, di sekretariat himpunan, di kantin fakultas, di masjid, di dekat gerobak bakso Mas Minto, di kosan, dan di depan pintu kamar mandi. Jika ada orang tak dikenal yang mendekati Yasa, dengan sigap Septian akan menahan orang itu dan bertanya, “Siapa anda? Sebutkan maksud dan tujuan anda!” Septian benar – benar menghayati tugas yang diberikan Alek. Sadut yang kagum dengan dedikasi Septian terhadap pekerjaannya, kemudian memberikan nama panggilan baru bagi orang itu, “Kapten Septian”. Setiap kali dipanggil “Kapten Septian”, lelaki itu memberikan hormat.

Jam delapan pagi di perpustakaan kampus, Yasa dan Sadut yang sedang berdiskusi mengenai buku Aera Eropa : Peradaban Eropa Sebagai Penyimpangan Dari Pola Umum karya J.M. Romein, kedatangan tamu tak diundang, yaitu Zahra dan Asri, dua perempuan yang kompak memakai baju putih dan kerudung berwarna hitam. Dengan cepat Septian meminta mereka berdua menjaga jarak dengan Yasa, “Siapa kalian? Sebutkan maksud dan tujuan kalian!” 

“Santai Kapten Septian, mereka ini mahasiswa baru.” Kata Sadut.

“Oh, maaf, saya hanya memastikan keamanan.” Setelah memberikan hormat kepada Yasa dan Sadut, Kapten Septian segera kembali ke mode penyamarannya, pura – pura membaca buku Harry Potter dan Batu Bertuah di dekat Sadut.

Zahra menumpahkan isi hatinya pagi itu, ia ingin sekali menjadi anggota himpunan dan tidak ingin mengecewakan Yasa dan para senior, akan tetapi ibunya mewajibkan Zahra untuk mengikuti ekspedisi dan pelantikan anggota baru Suwarnabhumi di Pulau Bali. Ibu Zahra dulunya adalah sekretaris umum di organisasi Suwarnabhumi, saat organisasi itu masih menguasai himpunan di Zaman Presiden Soeharto. Zahra menyampaikan semuanya sambil bersedih, awalnya matanya berkaca – kaca, kemudian beberapa tetes air mata tak bisa ia tahan, kemudian ia menangis. Asri menepuk – nepuk pundak sahabatnya itu, “Puk puk puk, sabar ya Zahra.”

“Asri kamu kenapa tidak menangis?” Tanya Sadut.

“Saya mah ikut himpunan aja Kang, enggak ikut Suwarnabhumi.” Jawab Asri.

“Oh, iya yah.”

Setelah Zahra selesai menangis. Dengan suara serak dan mata yang masih berkaca – kaca, ia bertanya.

“Kang Yasa, adakah yang bisa saya lakukan untuk tetap menjadi anggota himpunan? Walaupun, saya tidak ikut acara pengukuhan anggota baru?”

Yasa terdiam. Dia tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh Zahra.

“Tidak bisa, Zahra, acara pengukuhan anggota baru itu seperti diwisuda, jadi kalau kamu gak ikut, kamu tidak akan dapat ijazah.” Jawab Sadut, mencoba mewakili Yasa.

“Tapi, Kang, saya sudah mengikuti semua kegiatan kaderisasi, tanpa sekali pun absen. Kalau akang menganalogikan ini dengan kuliah di kampus, saya telah mengikuti perkuliahan dengan baik kang, saya juga sudah mengerjakan tugas - tugas dan disidang oleh para senior. Bukankah datang ke acara wisudaan tidak wajib? Kita bisa mengambil ijazah di waktu yang lain kan? “ Kata Zahra, ia yakin dengan apa yang diucapkannya.

“Aku rasa, di acara pengukuhan juga ada sidang sebelum kamu dinyatakan lulus, dan kamu harus mengikutinya.” Jawab Sadut, sedikit ragu.

Yasa berusaha mencerna semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Yasa sempat berpikir bahwa sebenarnya himpunan dan Suwarnabhumi itu sama saja, yang penting ikut acara pengukuhan atau pelantikan untuk menjadi anggota.

“Oh, begitu Kang. Terimakasih Kang, atas informasinya.” Zahra terdengar putus asa.

Setelah kedua perempuan itu pamit. Yasa merasa bersalah, ia tidak bisa berbuat apa – apa dan hanya bisa diam saja. Yasa ingin menghubungi Jaffar, dan bertanya berbagai hal tentang hukum di himpunan, yang kebanyakan ia tidak paham, namun, kemudian ia merasa berat untuk berdiskusi dengan Jaffar, terutama setelah kejadian Jaffar berteriak di saat rapat pimpinan.

Siang itu pertanyaan – pertanyaan Zahra menghantui pikiran Yasa. Kang Yasa, adakah yang bisa saya lakukan untuk tetap menjadi anggota himpunan? Walaupun, saya tidak ikut acara pengukuhan anggota baru? Saat sedang makan soto bandung di warung langganan, Yasa tidak merasakan apapun, soto favoritnya itu mendadak hambar, setelah tiga sendok ia paksakan masuk ke dalam perutnya, ia merasa pusing, lalu muntah di depan Sadut. Kapten Septian segera meminta maaf pada pemilik warung atas ketidaksopanan yang dilakukan oleh atasannya, lalu dengan cepat ia meminta izin meminjam peralatan bersih – bersih dan mulai membersihkan muntahan Yasa yang mengotori meja dan membuat beberapa pengunjung warung kehilangan nafsu makan.

“Sa? Kamu sakit?”

“Aku tidak apa – apa.” Yasa berbohong. “Dut, menurutmu apa yang harus kita lakukan untuk membuat Zahra dan teman – temannya tetap bisa menjadi anggota himpunan?”

“Kamu kepikiran terus ya Sa?”

“Iya.”

“Bagaimana kalau kita datangi rumah Pak Umar Tantramulya dan memintanya menunda acara pelantikan anggota baru Suwarnabhumi?” Ide spontan itu tiba – tiba muncul di kepala Sadut.

“Boleh dicoba.”

Yasa segera menghubungi Rahmat lewat gawainya. Saat ditanya mengenai alamat lengkap rumah Pak Umar Tantramulya, Rahmat kaget.

“Sa? Kamu mau ngajak debhat Pak Umar?”

“Enggak Mat, aku mau mencoba berbicara saja sama beliau.”

“Saya pribadhi, ghak berani Sa, datang ke rumah beliau. Walaupun saya sudah jadhi anggota Suwarnabhumi.”

Setelah mendapatkan nomor telepon dan alamat rumah Umar Tantramulya yang bisa dilihat jelas lewat google streetview. Sadut tiba – tiba teringat masa kecilnya, setelah melihat rumah besar milik Umar Tantramulya.

“Rumah ini dekat SD aku Sa! Rumah Ini lumayan dekat dengan rumahku, di Derwati.”

Lihat selengkapnya