Sadut tidak berbohong tentang kelezatan surabi telor yang ibunya buat. Sungguh, itu adalah surabi paling enak yang pernah Yasa makan selama hidupnya.
“Bumbu rahasia surabi ini apa?” Tanya Yasa dengan mulut yang masih sibuk mengunyah.
“Cinta.” Kata Sadut dengan wajah serius.
Jam delapan pagi, perut Yasa terasa hangat dan nyaman setelah diisi dengan tiga surabi telor dan teh manis panas. Tanpa permisi, seekor kucing berbulu hitam yang manja tiba – tiba memutuskan tidur di pangkuan Yasa.
“Di rumah juga memelihara kucing ya?” Tanya Ibu Sadut yang sedang menyapu halaman.
“Iya Bu. Ibu kok tahu? Apakah ibu peramal?”
“Tidak, bukan peramal saya.” Ibu Sadut tertawa. “Ibu tahu kamu bau kucing, makanya Rong Rong tidak malu – malu untuk tidur di sana.”
Yasa mencium bau badannya sendiri. Ia merasa sedikit tersinggung setelah disebut bau kucing. Yasa tidak menyadari tingkahnya itu diperhatikan oleh Amelia yang sudah siap pergi ke tempat kerja.
“Bau kucing itu, hanya bisa dicium oleh kucing lagi Kang.” Kata Amelia yang sudah siap pergi ke pabrik dengan kemeja biru dan celana jin hitam.
Setelah Amelia mencium pipi ibunya berkali – kali ---sepertinya itu adalah kebiasaannya setiap pagi sebelum berangkat bekerja--- dan mencium tangan Sadut sebagai penghormatan terhadap kakak, ia pamit dan mengebut dengan Si Mio, motor matic hitam kesayangannya.
Sebelum berangkat kerja, Ayah Sadut menasehati Yasa agar segera pulang ke rumah dan menceritakan semua yang telah terjadi kemarin malam kepada Ayah.
“Pasti ayahmu akan menceritakan semuanya, tentang sejarah kakekmu dan Mahaguru. Ya, walaupun kamu belum menikah. Oh iya, satu lagi, katakan pada ayahmu, ada salam dari Pak Firman.”
*
Ayah baru pulang ke rumah pada jam setengah enam sore. Biasanya, selesai mengajar pada jam setengah empat sore, Ayah sudah ada di rumah di jam empat tepat. Harus home visit katanya. Ayah yang menjabat sebagai wali kelas X IPS 9 ditugaskan oleh sekolah untuk mencari informasi mengenai seorang anak di kelasnya yang sudah tidak sekolah selama tujuh hari berturut – turut tanpa keterangan. Saat dikunjungi di rumahnya, anak itu sedang bermain game online, saat ditanya ke mana orang tuanya, ia menjawab kedua orang tuanya pergi ke luar kota untuk perjalanan bisnis, saat ditanya apakah orang tuanya masih hidup, anak itu memastikan orang tuanya masih hidup, ketika ditanya mengapa saat ditelepon orang tuanya tidak mengangkat, anak itu menjawab karena ia tidak memberikan nomor asli orang tuanya kepada sekolah, ia memberikan nomor telepon kedua yang ia miliki, saat ditanya mengapa tidak sekolah, ia mengaku tidak punya teman satu pun di kelas, saat ayah bertanya mengapa terjadi seperti itu, Ia tidak tahu jawabannya.
“Akhirnya bagaimana?” Tanya Ibu dengan wajah yang kesal.
“Ia akan sekolah lagi. Ia tidak mau dikeluarkan dari sekolah dan membuat kedua orang tuanya bersedih.”
“Benarkah ia tidak punya teman di kelas? Ada lebih dari dua puluh orang di setiap kelas, tidak mungkin ia tidak kenal satu pun temannya di kelas.”
“Ia tahu nama teman - temannya di kelas Bu. Tapi tidak punya teman. Ya, Ayah mengerti, jadi ia tidak menemukan seseorang yang mau berbagi dengannya dan mendengarkan ceritanya.”
“Apakah banyak anak seperti itu?”
“Di zaman ini? Cukup banyak sepertinya, ini bukan yang pertama kali Ayah bertemu dengan kasus seperti ini.”
Yasa segera menyambut Ayah dengan semangkuk mie ayam dan teh manis hangat. Ini adalah hal yang jarang dilakukan oleh Yasa.
“Yasa? Kok pulang? Bukankah minggu kemarin kamu bilang tidak akan pulang selama dua minggu karena ada acara penting di himpunan?”
“Ada salam dari Pak Firman, Ayah.”
“Pak Firman dari Derwati?” Ayah terlihat kaget.
“Iya.”
*
Ayah yang sudah lelah bekerja selama lebih dari sepuluh jam, malam itu tidak bisa langsung tidur dengan tenang sehabis salat Isya berjamaah di masjid. Ia terpaksa harus menceritakan sejarah yang disembunyikan keluarganya kepada Yasa, yang malam kemarin baru saja diberitahu oleh seseorang bernama Firman, bahwa Yasa diikuti arwah Mahaguru.