Ros adalah ahli ayam goreng. Itulah yang sering dikatakan Sadut. Ros tahu baik dan buruk semua ayam goreng yang dijual di sekitar kampus. Ia tahu di mana warung makan yang menjual ayam goreng yang keasinan, ayam goreng yang tulangnya pahit, ayam goreng yang matangnya tidak merata dan ayam goreng yang dimasak memakai bahan kimia. Setiap kali ditanya mengenai ayam goreng terbaik di sekitar kampus, Ros pasti akan menyebutkan dua tempat itu.
“Kalau kalian ingin merasakan ayam goreng terbaik di sekitar kampus, yang pertama ada di Gang Cempaka, warung yang berada dekat kosan Pak Ajon, di depan Laundry Tak Kenal Maka Tak Gendong, ayam goreng di tempat itu merupakan ayam goreng paling gurih se-Kota Bandung! Percaya padaku! Yang kedua, ayam goreng penyet di Jalan Hajah Arum, rasanya perfect! Sambalnya maknyus!”
Ros, yang tomboy dan memiliki potongan rambut seperti Dolores O’Riordan di video klip “Ode To My Family” itu, selain dikenal sebagai kritikus ayam goreng, ia juga dikenal oleh orang – orang di angkatan sebagai perempuan yang berperan penting dibalik suksesnya pentas seni yang diadakan oleh himpunan. Perjuangan Ros menjadi penanggung jawab acara pentas seni di himpunan dimulai setelah Marwansyah dan Tama (anak kelas L, berasal dari Bangka Belitung, Negeri Laskar Pelangi, ia mengaku pernah menjadi penanggung jawab acara pentas seni saat menjabat sebagai ketua OSIS di SMP) bertengkar.
“Kau gila boi! Kau pikir dengan uang dua juta kita bisa mengadakan pentas seni tingkat universitas!? Kau sebaiknya berpikir sehat boi!”
“Ini uang yang himpunan punya sekarang, kau tahu kan pentas seni ini bukan yang utama di dalam Istoria Expo, yang utama adalah olimpiade sejarah se-Jawa Barat, jadi terimalah kenyataan ini, Insya Allah kita bisa usahakan tambahan uangnya nanti.” Marwansyah berhenti sejenak untuk mengatur volume suaranya, ia merasa sudah menggunakan volume suara yang cukup tinggi karena emosi. “ Aku kan dua bulan kemarin bertanya, kau sanggup atau tidak jadi penanggung jawab acara pentas seni? Kau kan menyanggupinya waktu itu. Bukankah kamu ini punya semangat Sang Pemimpi seperti Andrea Hirata?” Marwansyah bertanya sambil menahan marah.
“Tapi ini tidak realistis boi! Andrea Hirata bisa mewujudkan impiannya untuk kuliah di Sorbonne, Prancis karena mendapatkan beasiswa! Impian itu diwujudkan dengan bantuan modal boi! Maaf, aku tidak sanggup.” Tama kemudian pamit.
Marwansyah segera memiliki wajah orang yang putus asa, ia terlihat lemas, matanya menatap kosong ke langit – langit sekretariat himpunan, dan terdiam penuh kecewa. Pentas Seni akan dilaksanakan tiga minggu lagi, namun penanggung jawab acara baru saja mengundurkan diri.
Teh Julaeha yang bertugas menjadi sekretaris Divisi Minat Bakat dan Ros yang kebetulan sedang makan ayam goreng di sekretariat himpunan hanya bisa terdiam setelah menyaksikan pertengkaran itu. Pertengkaran yang baru saja terjadi membuat Ros tiba – tiba kehilangan nafsu makannya, ia tiba – tiba merasa bersalah, tidak bisa memberikan bantuan kepada Marwansyah.
“Marwan, kamu punya rencana darurat tidak?” Tanya Ros.
“Tidak ada.” Jawabnya datar.
“Hmmm, jadi mau bagaimana?”
“Kau mau tidak jadi penanggung jawab acara pentas seni?” Tiba – tiba ide itu muncul di kepala Marwansyah.
“Apa!? Aku!? Tidak salah!?” Ros terkejut.
“Kamu pasti bisa Ros!” Teh Julaeha menyemangati.
Didasari oleh semangat untuk membantu teman yang sedang mendapatkan masalah, Ros akhirnya menerima tawaran Marwansyah. Hal pertama yang Ros lakukan setelah itu adalah stress eating, siang itu tiga ayam goreng penyet dan dua bungkus nasi ia habiskan, ia makan banyak karena stres, ia langsung merasa bodoh, mengapa mau maunya menjadi penanggung jawab pentas seni, padahal ia sama sekali tidak punya pengalaman mengadakan acara sebesar itu.
“Jadi Teh, pensi (pentas seni) yang diadakan oleh anak SMA atau himpunan mahasiswa di Kota Bandung itu biasanya mengundang band – band indie, kaya Rocket Rockers, The S.I.G.I.T, Mocca. Gitu lah.” Kata Kiki, sahabat Ros, seorang junior dari Kaum Ganjil yang juga bekerja sebagai pembawa acara berita di stasiun televisi lokal.
“Sekarang himpunan gak punya uang banyak Ki, untuk ngundang artis – artis terkenal kaya gitu. Waktunya mepet Ki, ini cuma ada sisa waktu dua puluh hari lagi. Ada ide gak? Oh iya, Bulan dan Kawanan Musang lagi sibuk gak?”
“Bulan dan Kawanan Musang katanya mau bubar Teh, soalnya Ariella hijrah dan gak mau ngeband lagi. Punya uang berapa Teh?”
“Dua juta.”
“Anjir, mau ngadain pensi kaya gimana dengan uang segitu? Nyewa sound system juga gak cukup itu.”
“Nanti bakalan ada uang tambahan kata Marwansyah. Mungkin bakalan ada… Jadi menurut maneh sebaiknya gimana ya?”
Untuk beberapa saat Ros dan Kiki hanya terdiam di depan gelas – gelas panjang yang setengah jam lalu terisi oleh jus mangga. Kiki mencoba berpikir untuk mencari solusi sambil sesekali menjitak meja kayu yang ada di depannya dengan jari telunjuk, sedangkan Ros mulai merasa kesal dan memecut gelas – gelas itu dengan sedotan plastik.
“Kenapa Teh Ros kesel gitu? Hilang handphone lagi Teh?” Kata Kayra, pacar Kiki yang baru datang.
Setelah Kiki menjelaskan masalah yang sedang mereka pikirkan solusinya, Kayra segera membuka gawainya dan mencari kontak seorang teman lama. Setelah kontak itu ditemukan, Kayra tersenyum dan memperlihatkan kepada Ros sebuah foto kontak seorang lelaki yang gondrong sebahu, memakai kupluk berwarna merah dan memiliki sorot mata yang tajam.
“Kenal orang ini Teh?”
“Perasaan, sering lihat ya di kampus…”
“Ini ketua himpunan mahasiswa seni musik Teh, dia juga temen sekelas aku waktu SMA. Namanya Ivan, Mungkin Teteh bisa minta bantuan sama dia. Orangnya baik, suka menolong dia mah.”
Ide yang cukup bagus, pikir Ros. Setelah makan sampai perut kenyang di Kedai Tam Tam, Ros segera menyampaikan ide untuk bekerjasama dengan anak – anak dari himpunan seni musik kepada Marwansyah. Setelah mendengar ide itu, Marwansyah segera mengobrol dengan Abdul dan Jaffar.
“Ros, besok kau ikut dengan Abdul dan Jaffar untuk berbicara dengan ketua himpunan mahasiswa seni musik itu ya.” Kata Marwansyah.