Yasa membuka sebuah pintu di ruang yang gelap, begitu pintu terbuka, ia tiba – tiba berada di dalam kamar yang besar dan terang benderang oleh sinar matahari yang masuk melalui tiga jendela. Yasa melihat sebuah ranjang besar berbentuk hati yang berada di bagian tengah kamar. Di Ranjang yang serba putih, Yasa melihat seorang perempuan sedang tertidur. Perempuan itu memakai gaun pengantin. Saat Yasa mendekat, ia terbangun dan menatap Yasa. Kemudian Yasa terbangun dari tidurnya pada jam tiga dini hari.
Setelah menunggu Ayah menghabiskan bubur ayam dan teh manis hangat, pagi itu Yasa menceritakan mimpi yang ia lihat tadi malam.
“Apakah kamu mengenal perempuan itu?”
“Tidak, Ayah. Tidak kenal.” Yasa berbohong.
“Nah! Ini berarti kamu akan mendapatkan rezeki yang besar sebentar lagi.”
“Alhamdulillah.”
“Tapi, ruang gelap ke ruang yang terang benderang itu dapat ditafsirkan sebagai tanda – tanda kamu akan menuntut suatu ilmu. Untuk ranjang pengantin berbentuk hati yang serba putih itu…” Ayah menggaruk – garuk kepalanya dan membersihkan sisa – sisa bubur yang ada di kumisnya, sebelum berbicara lagi, “Ayah tidak tahu artinya apa.”
“Tidak apa – apa Ayah.”
“Tapi, kalau kamu melihat perempuan yang kamu temui di alam mimpi, mungkin kalian berjodoh.”
“Benarkah?”
“Ya, apalagi kalau Si Perempuan yang kamu temui di alam mimpi itu juga memimpikan kamu, pasti itu berjodoh.”
Yasa tahu bagaimana cara menemukan perempuan yang ia lihat di alam mimpi itu.
Pada jam sembilan pagi di perpustakaan universitas yang dipenuhi oleh para mahasiswa baru yang sedang semangat – semangatnya menuntut ilmu dan mahasiswa – mahasiswa tingkat akhir yang ingin cepat lulus. Azhar dan beberapa perempuan dari kelas L berada di Korean Corner, tujuan awal datang ke tempat itu adalah menulis proposal skripsi bersama, namun berakhir menjadi nonton bareng drama sejarah Jewel in The Palace.
“Nanti Jang-geum ini belajar jadi tabib perempuan…” Kata Iis.
“Diam kamu! Spoiler ih, gak rame!” Devrina kecewa sekali.
“Ini dulu pernah diputar kan di televisi, drama lama ini, tahun 2005 atau 2006 gitu. Kamu belum pernah nonton Dev?” Tanya Azhar.
“Pernah! Tapi lupa lagi.” Devrina tidak mau mengakui bahwa ia baru menonton drama korea sejak duduk di bangku SMA, saat SD sampai SMP ia hanya menonton kartun atau anime di televisi.
“Ehhh, ada Pak Kahim!” Iis menyambut kedatangan Yasa yang tiba – tiba.
“Bagaimana Pak Kahim sehat?” Pertanyaan itu dilontarkan Azhar sambil menggenggam erat tangan Yasa.
“Alhamdulillah, sehat Za. Tidak usah memanggil Pak Kahim, aku sekarang kan sudah demisioner.”
“Ada apa nih Pak Kahim? Jarang – jarang gabung sama kita yang kelas L?” Tanya Devrina sinis.
“Ih, biarin atuh Dev. Kan jadi rame ada Pak Kahim di sini.” Iis sepertinya senang Yasa ikut bergabung.
“Mau ikut nonton Jang-geum aja.” Yasa berbohong.
“Memang Pak Kahim suka drama korea?” Devrina masih sinis.
“Lumayan.”
“Drama korea favorit kamu apa?” Tanya Saphira, yang daritadi diam.