Ternyata Saphira mengalami kesulitan di dalam membuat proposal skripsi yang baik.
“Aku tidak kuat lagi! Ini sudah ditolak dua kali sama Ibu Dosen Pembimbing! Gimana Saaaa?” Kata Saphira dengan nada yang manja.
Setelah Yasa menganalisis proposal skripsi yang Saphira buat, ternyata perempuan itu belum menulis satu pun kutipan dari ahli pendidikan di luar negeri, ia hanya mengutip para ahli pendidikan dalam negeri saja. Sedangkan Ibu Dosen Pembimbing menyarankan agar mengutip pendapat ahli pendidikan dari dalam dan luar negeri. Ternyata Saphira kurang memperhatikan kuliah Ibu Dosen Pembimbing, atau jangan – jangan ia kurang bisa membaca tulisan berbahasa Inggris dan malu untuk mengakuinya.
“Kamu kan membahas active learning, apakah sudah membaca buku karya Melvin Silberman?”
“Belum.”
“Nechama Leibowitz?”
“Belum juga.”
“Pantas, itu para ahli dari luar negeri yang harus kamu pahami pemikirannya. Mereka kan ahli active learning. Kamu sebaiknya mengutip beberapa pendapat ahli – ahli itu.”
“Bantuin dong…” Kali ini nadanya sangat manja.
Akhirnya Yasa turun tangan untuk merevisi proposal skripsi Saphira yang telah ditolak Ibu Dosen Pembimbing sebanyak dua kali itu. Bukan hanya menambahkan kutipan dari para ahli pendidikan yang berasal dari luar negeri, Yasa juga membantu Saphira untuk menentukan indikator keterampilan berbicara siswa pada saat pembelajaran Sejarah Kerajaan Islam yang akan Saphira teliti.
Setelah proposal itu diterima oleh Ibu Dosen Pembimbing, dan Saphira diminta lanjut ke Bab 1. Perempuan itu senang sekali. Yasa juga ikut senang, dia juga merasa bangga bisa bermanfaat bagi kehidupan Saphira.
Hari itu Saphira semangat sekali berjuang untuk bisa cepat – cepat menyelesaikan skripsi. Dari jam sembilan pagi sampai jam setengah enam sore, ia minta ditemani Yasa di perpustakaan. Berjam – jam Saphira habiskan waktu untuk membaca belasan skripsi yang membahas Penelitian Tindakan Kelas. Pada waktu istirahat makan siang, perempuan yang jarang berbicara itu makan sambil mencari beberapa e-journal yang berhubungan dengan penelitiannya. Jurnal – jurnal berbahasa Inggris itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yasa yang setia menemani. Akhirnya Saphira mengakui, ia tidak terlalu paham tulisan berbahasa Inggris. Sore hari, lima belas menit sebelum perpustakaan tutup, Saphira berhasil menyelesaikan Bab 1. Ia terlihat sangat puas dengan hasil kerja kerasnya di hari itu, sedangkan Yasa merasa sangat bahagia karena bisa menemani perjuangan orang yang ia sukai.
“Ini rahasia ya. Jangan bilang ke siapa – siapa. Janji?” Kata Saphira saat berjalan berdua bersama Yasa menuju masjid kampus.
“Oh, iya janji.” Yasa cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Saphira.
“Aku ketemu kamu di alam mimpi. Kamu lagi jalan lurus gitu. Melihat aku…”
Yasa berhenti berjalan. Setelah tujuh langkah, Saphira berhenti berbicara dan berjalan karena baru sadar Yasa tertinggal di belakangnya.
“Kamu kenapa diam Sa?”
“Benarkah mimpi itu?”
“Iya, benar.”
“Maukah kamu jadi pacarku?” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Yasa.
Saphira kaget dan menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia terdiam cukup lama, Yasa dengan tenang menunggu perempuan itu untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku akan memikirkannya dulu Sa, mungkin seminggu.” Setelah Saphira berbicara, adzan magrib terdengar.
Setelah kejadian itu, selama berhari – hari Saphira tidak mau bertemu dengan Yasa. Setiap malam, Saphira merenung di dalam kamarnya sampai tengah malam. Sedangkan Yasa, ia tidur dengan nyenyak setiap malam karena yakin dengan tafsir mimpi dari ayahnya. Kecuali malam itu, setelah mendapatkan pesan singkat dari Saphira.
[20.31] Saphira : Bagaimana kalau Sabtu minggu ini kita ketemuan di McD BIP? Insya Allah aku akan memberikan jawaban di sana.
[20.33] Yasa : Baik, sampai ketemu di McD
Entah apa yang terjadi pada hati Yasa malam itu, tiba – tiba ia gelisah dan takut. Pikirannya kemudian mengantarkan Yasa pada masa SMA, di masa itu Yasa sering ditolak oleh perempuan yang ia sukai. Yasa masih ingat nama – nama yang menolak cintanya itu, yang pertama bernama Intan, berkerudung, berkacamata, jago bahasa Inggris, anak seorang professor di Universitas Swasta, menolak cinta Yasa karena ingin fokus belajar, namun seminggu kemudian menerima cinta seorang kakak kelas. Yang kedua bernama Janet, rambut panjang sepunggung, aktif dan energik, fans SNSD, anak seorang petinggi BUMN, menolak cinta Yasa karena Yasa bukan anak yang nakal. Yang ketiga bernama Lina, berkerudung, kulit putih, tinggi, langsing, anak seorang Mayor, dan ternyata menyukai Agung teman sebangku Yasa. Yang keempat bernama Yui, keturunan Jepang, rambut pendek, sangat jago bermain gitar, tidak ada satu pun lelaki di sekolah yang mampu menandingi skill Yui, ayahnya pemilik 23 toko musik yang tersebar di Pulau Jawa, alasan gadis itu menolak Yasa adalah karena Yasa tidak bisa memainkan lagu “Cliff Of Dover” dari Eric Johnson. Yang kelima, adalah yang paling baik dan pengertian, namanya Mery Annisa Putri Pratiwi, rambut sebahu, senang mendengarkan lagu – lagu Rihanna, menonton film Twilight, dan mudah tertawa. Yasa masih ingat, setelah menolak cintanya dengan cara yang paling lembut dan manis, Mery yang baik menjelaskan kepada Yasa yang polos alasan para perempuan di kelas menolak cintanya.
“Yasa, kamu itu ganteng, asli! Tapi kamu itu miskin, maaf, aku tidak menemukan kata – kata yang lain. Aku harus menjelaskan ini kepada kamu ya, soalnya kamu polos banget. Dengar ya!” Kata Mery sambil tersenyum manis.
“Baik.” Yasa saat itu sedih sekali, tapi ia berusaha tegar.
“Kamu kalau mau pacaran itu minimal punya motor Sa! Cewe di kelas kita gak ada yang mau naik angkutan umum, kenapa? Karena biasanya mereka pakai mobil pribadi yang nyaman. Ya, kamu gak harus punya mobil, tapi minimal punya motor lah.”
Saat Yasa masih duduk di bangku SMA, Ayah tidak sanggup menyicil dua motor, ia hanya sanggup menyicil satu, yaitu motor matic merah Kakak yang diberi nama Si Redi. Saat itu guru – guru senior belum mendapatkan tunjangan sertifikasi, kebanyakan guru yang hanya mengandalkan gaji pokok untuk menjalani kehidupan, masih miskin waktu itu.
Walaupun Yasa sekarang sudah memiliki motor hitam yaitu Si Bleki, namun perasaan pesimis akan ditolak itu masih menghantui hati dan pikirannya. Malam itu Yasa tidak bisa tidur.
*
Yasa dan Saphira tidak datang ke McD berbarengan, Yasa yang naik motor datang lima menit lebih awal dari Saphira yang naik angkutan umum. Mereka janjian untuk bertemu di lantai dua. “Jangan terjun dari lantai dua ya kalau aku tolak.” canda Saphira. Yasa langsung terlihat murung. Setelah mereka berdua duduk dibangku yang paling dekat dengan tempat cuci tangan, Saphira memberikan Yasa kertas berwarna biru yang dilipat – lipat sampai membentuk kotak kecil. Yasa membuka kertas biru itu pelan – pelan. Di kertas itu tertulis :
Of course I will say yes
Yasa tertegun melihat kalimat yang tertulis di kertas biru itu. Saphira tersenyum senang di depan Yasa, namun lelaki itu justru memasang wajah yang kebingungan. Yasa tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah cintanya diterima.
“Kamu seneng gak?” Tanya Saphira.
“Senang.” Yasa mencoba tersenyum dan tertawa. “Biasanya aku ditolak oleh perempuan.”
Atas usul Saphira, hari itu mereka menonton film Minion setelah makan burger bersama. Filmnya lucu, Saphira senang, sedangkan Yasa masih terlihat melamun, hatinya merasa seharusnya ia ditolak.
[19.34] Saphira : Thanks for today! Lucu banget filmnya
[19.39] Yasa : Terima kasih sudah menerima aku.
[19.50] Saphira : Nanti kita nonton film Little Prince ya kalau udah ada di bioskop. Mau kan?
[19.55] Yasa : Aku baru lihat trailer-nya di youtube, sepertinya bagus, iya hayu
Selama berpacaran mereka berdua tidak pernah bersentuhan. Yasa tentunya memiliki keinginan untuk memegang tangan Saphira, namun perempuan itu selalu menolak saat diajak berpegangan tangan. Biasanya Yasa mengajak Saphira untuk berkencan satu minggu sekali, kadang dua minggu sekali kalau Yasa sedang sering merasa kangen Saphira. Mereka sering pergi ke bioskop, kadang lari pagi bersama di Gasibu, dan pernah sekali mengunjungi Museum Geologi. Saphira jarang berbicara, sedangkan Yasa jadi cerewet saat berada di dekat Saphira, ia menceritakan apapun di depan perempuan itu, tentang himpunan, pengalaman – pengalaman lucu bersama Sadut, cerita kenakalan Jaffar saat SD, atau tentang buku – buku yang pernah Yasa baca. Saphira mudah tertawa seperti Mery, dan ia adalah pendengar yang baik. Saphira sering mengajak Yasa untuk masuk ke rumahnya, namun Yasa sering menolak, ia mengaku belum siap bertemu kedua orang tua Saphira, malu karena belum bekerja, ia hanya sanggup mengantar Saphira sampai depan pagar rumahnya. Sedangkan Yasa sering bertanya, “Mengapa kamu mau menerima aku?” dan Saphira selalu menjawab, “Karena kamu baik.”
Kakak menyadari perubahan besar yang terjadi pada Yasa. Ia sadar adiknya kini lebih sering tersenyum dan terlihat selalu semangat dan bahagia.
“Kamu sudah punya pacar Sa?”
“Iya Kak.”
“Senang ya? Jadi lebih semangat ya?”
“Iya.”
Kakak meminta Yasa untuk berdiri tegak dan menghadapkan badan ke cermin besar yang tertempel di lemari baju. Kemudian Kakak memukul kedua paha Yasa dari belakang. Yasa langsung bergoyang dan meringis.
“Kamu lemah! Kamu harus latihan fisik biar bisa menjaga pacar kamu!”
Sore itu Kakak menyarankan agar Yasa rajin lari pagi, push up, sit up, dan belajar mengangkat beban. Yasa dengan semangat langsung mengikuti saran yang diberikan Kakak.
“Ingat Sa, di dalam hubungan itu yang paling utama adalah kejujuran dan keterbukaan. Kalau kamu merasa cemburu, bilang, kalau kamu merasa tidak nyaman, bilang, jangan ditahan – tahan!”
“Siap Kak!” Kata Yasa yang sedang push up.
“Dan satu lagi.” Kakak meminta adiknya itu untuk berhenti melakukan push up. “Jadilah diri sendiri. Cintai dia dengan caramu sendiri.”
*
Rabu sore itu Saphira merasa jenuh setelah mengutak – atik Bab 3 skripsinya yang sudah direvisi sebanyak tiga kali. Yasa memutuskan untuk menghibur Saphira dengan mengajaknya menonton film Jungle Book di bioskop. Film itu menceritakan petualangan Mowgli, seorang anak yang hidup di hutan bersama kawanan serigala, dan perjuangannya melawan harimau yang bengis bernama Shere Khan. Untuk pertama kalinya Saphira menjadi cerewet setelah menonton film itu.
“Aku dulu waktu SMA ikut ekskul pramuka lho Sa. Dan, nama kelompok pramuka di angkatan aku itu Mowgli! Jadi inget SMA dan masa – masa aktif di pramuka.” Kata Saphira yang tiba – tiba ceria.
“Ada berapa orang di kelompok Mowgli itu? Ada lelakinya?”
“Iya ada atuh.” Saphira segera memencet – mencet gawainya dengan cepat dan memperlihatkan sebuah foto pada Yasa.
“Ini kebanyakan lelaki ya, perempuannya cuma bertiga.” Kata Yasa, setelah memperhatikan foto itu dalam waktu yang singkat.
“Iya, walaupun bertiga tapi kami yang paling kuat. Ketua kelompoknya juga perempuan, namanya Marnah, yang ini!” Kata Saphira sambil menunjuk seorang perempuan paling tinggi yang ada di foto. “Di foto ini aku jelek ya? Dekil ya?”
“Enggak, tetep cantik kok.”
“Bohong!”
“Baiklah, aku jujur, di foto ini muka kamu sedikit kotor.”
“Iya, itu bekas dijailin sama kakak pembina, sempat dicorat – coret sama areng mukanya. Waktu itu juga kita sempat bikin mie instan sambil dimarahi kakak pembina, berguling – guling di lumpur dan meneriakan yel - yel sampai habis suara. Seru lah waktu itu!”
“Masih ingat yel - yel nya?”
“Masih.”
“Coba gimana yel - yel nya? Aku mau dengar.”